Masyarakat minoritas sering mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah terkait keyakinan agamanya. Padahal, konsep negara kita adalah Pancasila yang memberikan kebebasan masyarakat dalam beragama.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini mengatakan, Syiah dan Ahmadiyah, misalnya, masuk ke Indonesia sejak lama, namun tidak pernah ada pertentangan yang muncul seperti hari ini. Pertentangan itu menyebabkan pengusiran, pembakaran, dan pembunuhan.
“Syiah dan Ahmadiyah sudah lama di Indonesia, tapi tidak ada pertentangan seperti hari ini,” kata Sekjen PBNU Helmy dalam seminar “Kebebasan Agama, Gerakan Takfiri dan Deradikalisasi sebagai Tantangan Kerukunan Umat Beragama” di kantor PBNU Jakarta, Senin (22/2).
Di Jerman, misalnya, orang-orang Ahmadiyah memiliki hak yang setara dengan orang-orang Sunni dan Syiah, meskipun kalangan “mainstream” tidak bisa menerima sepenuh hati. Tapi, Helmy menambahkan, Jerman adalah milik seluruh warga negara, bukan milik sebagian kelompok. Apa pun keyakinan dan seberapa pun jumlah anggotanya, keyakinan mereka tetap dilindungi.
Jerman telah meminggirkan pasal-pasal penghinaan terhadap keyakinan dan agama dalam konsitutisi mereka. Di sini, konstitusi negara mengatasi seluruh warga agama. Di Inggris, orang-orang Hizbut Tahrir memiliki hak yang sama dengan orang-orang Ahmadiyah. Begitu juga orang Wahabi maupun Kristen punya hak yang sama dalam mengepskresikan keagamaan mereka.
Sementara itu, Sekretaris Umum PP Muhamadiayah Abdul Mu’ti mengatakan, kasus intoleransi semakin meningkat di Indonesia. Hampir 100 kasus intoleransi beragama terjadi pada 2015 yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.
“Indonesia merupakan negara Pancasila yang menjunjung kebebasan, termasuk beragama. Indonesia bukan negara agama tertentu. Jadi, negara seharusnya tidak menentang ketentuan agama yang sudah ada,” kata Abdul.
Dia menambahkan agama itu membutuhkan ruang dan negara dapat mendukung. Sokongan itu dapat ditunjukkan lewat pendirian rumah ibadah, pengaturan keamanan, kebutuhan, dan lainnya. Akan tetapi, pemerintah tidak seharusnya mengatur atau melarang kelompok tertentu dalam menjalankan kegiatan keagamaan.
Negara, menurut Abdul, harus dapat menjadi wadah untuk menampung perbedaan dan permasalahan agama. “Jika ada persoalan agama di satu daerah, negara harus hadir.”