Praktisi industri pengguna gas Achmad Widjaja menilai joint committee antara PT Pertamina Gas (Pertagas) dengan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) tidak bisa mengatasi tumpang tindih pembangunan pipa dan penyaluran gas di Indonesia.
“Join committe dibubarkan saja. Sebab, Ibu (Menteri ) BUMN-nya saja selalu menyatakan mau bikin holding sekian, tapi kenapa energi tidak dibikin holding. Pertamina jadi holding, semua menjadi anak perusahaannya, selesai masalah,” kata Achmad dalam diskusi publik “Pengembangan Infrastruktur Gas, Siapa yang Harus Memegang Kendali?” di Hotel Akmani, Jakarta, Rabu (10/2).
Dia menambahkan joint committe itu bahasa politik. Kalau memang bersungguh-sungguh menyelesaikan atau memberantas mafia migas seperti dalam kampanye sebelum pemilihan presiden, maka pemerintah harus membuat holding.
“Pupuk sudah holding, semen sudah holding, perkebunan sudah holding. Tapi, kenapa gas tidak dibuat holding,” kata Achmad. Dia menjelaskan, ketika Pertamina menjadi holding dan menguasai dari hulu ke hilir, maka antara PGN dan Pertagas sudah damai. Kalau tidak, kedua perusahaan milik negara tersebut selalu tumpang tindih dalam pembangunan infrastruktur pipanisasi, terutama di Jawa Timur.
Dengan kondisi tumpang tindih itu, dia menambahkan, industri dan usaha kecil dan menengah (UKM) tidak akan mampu bersaing dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Padahal, kata dia, MEA itu adalah penggerak ekonomi UKM. “UKM itu harus benar-benar diberi energi. Contohnya masih banyak UKM yang menggunakan liquefied petroleum gas (LPG), tapi compressed natural gas (CNG) untuk UKM tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah,” katanya.
CNG untuk industri saja harganya bisa berbeda-beda, padahal CNG-nya datang dari satu sumber yang sama. Berdasarkan data Kementerian ESDM, Pupuk Sriwidjaja1 membeli gas dengan harga US$ 6,31 per mmbtu. Sedangkan Pupuk Sriwidjaja2 dengan harga US$ 6,55 per mmbtu. Karena itu, pipanisasi di berbagai daerah Indonesia untuk mengurangi perbedaan harga tersebut perlu dikumandangkan.
Dia juga menilai PGN harus open access dan segera diterapkan untuk pemakaian pipa secara bersama-sama atau open access dengan (Pertagas). Namun, ia mengaku heran berkali-kali didesak untuk menerapkan open access, PGN tak kunjung melaksanakan.
“Komitmen PGN tidak ada, tapi pemerintah diam saja. Pemerintah takut sama investor, padahal saham mayoritas PGN (53%) milik pemerintah tapi pemerintah tidak tegas,” kata Achmad.
Sementara itu, Naryanto Wagimin bekas Direktur Pembinaan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM mengatakan, pihaknya menginginkan open access agar harga gas menurun. Karena itu, perlu revisi Peraturan Menteri ESDM No. 19 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa. Pihaknya mengakui bahwa revisi permen tersebut belum selesai.