Tahun 2025 akan dikenang sebagai era ketika kekuatan politik global bergeser ke jalanan, dipimpin oleh generasi yang paling terhubung dan vokal: Generasi Z (Gen Z). Gelombang energi aktivis yang tak terbendung ini telah menyapu benua, tidak hanya menantang status quo tetapi juga secara langsung merobohkan pemerintahan. Di Asia dan Afrika, gejolak yang dipimpin kaum muda telah memaksa perubahan rezim dramatis di negara-negara seperti Nepal dan Madagaskar.
Kini, momentum revolusioner tersebut telah mencapai jantung Eropa. Korban kontinental pertamanya adalah pemerintahan Bulgaria, yang secara resmi mengajukan pengunduran diri kemarin, menyudahi berminggu-minggu pergolakan jalanan yang tak terhenti.
Krisis di Bulgaria tidak terjadi dalam ruang hampa. Sebagai negara termiskin di Uni Eropa, warganya sudah bergulat dengan lonjakan biaya hidup yang menekan dan erosi tajam dalam kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara. Ketidakpuasan yang memendam ini membutuhkan percikan, dan percikan itu datang dalam bentuk rancangan anggaran.
Anggaran baru yang diusulkan—yang secara efektif menaikkan pajak bagi masyarakat umum—bukanlah sekadar kebijakan fiskal; itu adalah pemicu terakhir yang meledakkan kemarahan publik. Menanggapi kenaikan beban ini, Gen Z tumpah ruah ke jalanan, memobilisasi massa dengan kecepatan luar biasa. Mereka tidak hanya menyuarakan keluhan; mereka menuduh pemerintah dengan lantang atas kelalaian, korupsi endemik, dan tata kelola yang buruk yang telah menghambat kemajuan negara. Tekanan jalanan meningkat setiap hari, mengumpulkan momentum yang tak dapat dihentikan oleh pemerintah, hingga memaksa Perdana Menteri untuk akhirnya menyerah.
Bulgaria kini berada di ambang transisi politik yang genting. Pengunduran diri pemerintahan adalah hasil langsung dari protes berbulan-bulan yang secara cepat berevolusi dari penentangan terhadap satu isu spesifik menjadi gerakan nasional yang komprehensif.
Titik didihnya dimulai pada akhir November, ketika pemerintah mengumumkan draf Anggaran 2026. Rencana tersebut mencakup kenaikan pajak yang signifikan dan peningkatan kontribusi jaminan sosial—tindakan yang bertujuan untuk memperluas belanja negara guna mendanai layanan vital seperti perawatan kesehatan dan pensiun.
Namun, narasi resmi ini gagal. Bagi banyak warga Bulgaria, rencana itu datang pada saat yang paling tidak tepat. Dengan inflasi yang sudah mencekik biaya hidup dan kepercayaan publik terhadap pemerintah yang mencapai titik terendah, masyarakat menafsirkan anggaran tersebut sebagai beban yang tidak adil. Inti dari frustrasi mereka adalah pandangan bahwa mereka diminta untuk membayar lebih banyak tanpa melihat adanya imbalan reformasi nyata atau perbaikan dalam kualitas layanan publik. Ini adalah janji yang hilang dan pengorbanan yang tidak setara, yang dengan cepat mengubah ketidakpuasan menjadi aksi jalanan yang masif.
Ketidakpuasan yang memanas dengan cepat mencapai titik kritis, mengalir dari media sosial dan ruang diskusi langsung ke jalanan ibu kota. Sofia, jantung politik Bulgaria, menjadi pusat gempa, di mana protes-protes awal dengan cepat berkobar dan menyebar, mengirimkan gelombang demonstrasi yang mengguncang seluruh negeri.
Pemerintah mencoba meredakan gejolak dengan cepat—mereka menarik kembali rancangan undang-undang anggaran yang kontroversial itu—namun langkah itu terbukti terlambat dan tidak memadai. Alih-alih mereda, protes justru semakin menguat, menunjukkan bahwa tuntutan rakyat telah melampaui masalah fiskal tunggal.
Memasuki awal Desember, alun-alun pusat mulai dipenuhi oleh lautan manusia yang terus bertambah setiap malam. Gerakan ini melampaui batas kelas dan usia: Mahasiswa yang bersemangat, guru yang berdemonstrasi, pekerja keras, dan pensiunan—semua berbaris bersama. Di tengah kegelapan malam, mereka menciptakan lautan cahaya yang bersatu, membawa bendera nasional, mengacungkan lampu ponsel, dan membentangkan spanduk-spanduk tajam yang hanya memiliki satu pesan yang jelas: Pengunduran diri segera dari pemerintah.
Intensitas demonstrasi disaksikan oleh dunia. Para penyelenggara mengklaim bahwa lebih dari 50.000 jiwa berkumpul pada minggu lalu. Namun, citra yang diambil dari ketinggian oleh drone minggu ini mengungkapkan skala yang jauh lebih besar, menunjukkan kerumunan masif yang melampaui 100.000 orang di Sofia saja.
Seiring bertambahnya jumlah massa, lingkup demonstrasi pun meluas dan mendalam. Para pengunjuk rasa dengan jelas menyatakan bahwa kemarahan mereka bukan hanya tentang pajak baru, melainkan tentang frustrasi kronis dan mendalam selama bertahun-tahun terhadap korupsi sistemik. Pusat kemarahan mereka bergeser dari kebijakan menjadi cara fundamental Bulgaria dijalankan.
Mereka menyoroti pengaruh tersembunyi dari tokoh-tokoh politik yang kuat yang diduga membentuk kebijakan vital dari balik layar, jauh dari pengawasan publik. Sebuah nama mencuat di tengah kerumunan: Delyan Peevski. Sosok pengusaha dan politisi ini, yang partainya merupakan pendukung koalisi yang berkuasa, menjadi simbol konkret dari konsentrasi kekuasaan gelap yang ingin dihancurkan oleh para demonstran. Bagi massa, mengatasi pengaruh Peevski adalah kunci untuk mencapai akuntabilitas sejati.
Dalam gerakan ini, kaum muda memainkan peran yang sangat sentral dan transformatif. Banyak dari mereka turun ke jalan untuk pertama kalinya, menunjukkan kesadaran politik yang tajam dan tak kenal takut. Mereka membawa serta tuntutan yang tinggi: bukan hanya sekadar akuntabilitas dan janji palsu, tetapi perubahan nyata dan struktural yang akan mendefinisikan kembali masa depan Bulgaria. Mereka adalah wajah dari gerakan yang menolak untuk bernegosiasi dan hanya menuntut pembaruan total.
Pada hari Jumat yang menentukan, Parlemen Bulgaria mengesahkan pengunduran diri pemerintah di tengah sorakan dan kekhawatiran yang bercampur. Konfirmasi ini segera melemparkan negara tersebut ke dalam turbulensi politik dengan waktu yang sangat sensitif, menimbulkan tantangan institusional yang mendalam.
Bulgaria berada di persimpangan jalan krusial: negara itu sedang dalam persiapan akhir untuk bergabung dengan Zona Euro pada 1 Januari—sebuah langkah ekonomi monumental. Namun, penarikan diri pemerintahan menciptakan kekosongan kekuasaan tepat ketika stabilitas dan kepemimpinan yang kuat sangat dibutuhkan. Situasinya diperparah oleh kenyataan bahwa Bulgaria adalah negara anggota termiskin di Uni Eropa, dan sistem politiknya tampak rapuh. Sejak gelombang protes 2020, negara tersebut telah dipaksa untuk mengadakan tujuh kali pemilihan cepat—sebuah indikasi yang jelas tentang ketidakmampuan kronis dalam membentuk pemerintahan yang stabil dan bertahan lama.
Sekarang, bola berada di tangan Presiden. Beliau dihadapkan pada tugas berat: memberikan kesempatan kepada partai-partai politik untuk mencoba membentuk kabinet baru dan mengembalikan ketertiban. Jika upaya ini gagal, sesuai dengan pola kegagalan sebelumnya, pemerintahan sementara akan mengambil alih, memimpin Bulgaria melewati momen-momen sulit ini hingga pemilihan baru dapat diselenggarakan. Ketidakpastian ini menahan negara tersebut dalam kondisi limbo yang berbahaya.
Namun, gejolak di Sofia bukan hanya kisah domestik. Pengalaman Bulgaria berfungsi sebagai cerminan yang jelas dari pola global yang lebih luas. Tahun ini telah menyaksikan kebangkitan gerakan Gen Z di seluruh dunia yang semakin berani dan efektif.
Generasi muda telah membuktikan kemampuan mereka untuk menjadi katalis perubahan politik yang serius. Di tempat-tempat yang jauh seperti Nepal dan Madagaskar, pengunjuk rasa muda telah berhasil memaksa pengunduran diri para pemimpin negara. Semangat aktivisme ini meluas, dengan pawai terorganisir yang menyebar di Maroko, Indonesia, Kenya, dan Filipina.
Kekuatan mereka terletak pada penguasaan teknologi. Mereka telah menggunakan media sosial sebagai alat koordinasi yang ampuh, mengubah platform digital menjadi ruang mobilisasi massal, menyebarkan tuntutan mereka dengan kecepatan dan jangkauan yang tak tertandingi. Momentum digital dan fisik ini kini telah mendarat dengan kuat di Sofia.
Untuk saat ini, masa depan politik Bulgaria diselimuti oleh kabut ketidakpastian. Warga Bulgaria yang telah lelah berdemonstrasi kini menahan napas, menanti dua hal krusial: siapa yang akan mengambil kendali pemerintahan selanjutnya, dan seberapa cepat reformasi mendalam yang mereka tuntut selama berminggu-minggu protes akan terwujud. Nasib negara tergantung pada kemampuan para elit politik untuk merespons—atau menghadapi gelombang Gen Z berikutnya.
