Jumat, Desember 19, 2025

Pengaruh Islam dalam Politik Pemerintahan di Timur Tengah

Muhammad Raffi Rasya
Muhammad Raffi Rasya
saya adalah seorang mahasiswa prodi Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Sriwijaya
- Advertisement -

Ketika mata dunia memandang dinamika Timur Tengah sebuah pertanyaan muncul yakni mengapa agama Islam menjadi tidak sekadar fondasi spiritual, tetapi juga pilar utama yang membentuk arsitektur pemerintahan di wilayah ini?

Pengaruh Islam dalam konteks politik dan pemerintahan Timur Tengah bukanlah fenomena kebetulan, melainkan hasil dari kedalaman sejarah, kompleksitas doktrin keagamaan, dan perbedaan aliran yang terus membentuk kompetisi kekuasaan.

Penulis menilai bahwa pemahaman mendalam tentang tiga dimensi ini (sejarah, agama, dan aliran) adalah kunci untuk memahami mengapa Islam tidak hanya bertahan, tetapi malah berkembang sebagai legitimasi utama kekuasaan di Timur Tengah. Untuk itu, akan dipusatkan fokus pada dua argumen utama: pertama, warisan sejarah panjang Islam sebagai sistem pemerintahan sejak awal abad ke-7; dan kedua, konstitusi teologis Islam yang mengintegrasikan dimensi spiritual dan temporal.

Pertama, untuk memahami pengaruh Islam dalam pemerintahan Timur Tengah hari ini, kita harus melacak akarnya ke sebuah momen revolusioner pada abad ke-7 Masehi. Ketika Nabi Muhammad SAW menetapkan negara-kota (city-state) di Madinah, beliau tidak sekadar mendirikan komunitas religius, tetapi menciptakan sistem pemerintahan di mana hukum agama menjadi hukum negara. Model ini yang kemudian menjadi referensi dalam khilafah Islam menyisir abad-abad setelahnya dengan pengaruh yang berkelanjutan.

Dinasti-dinasti Islam yang silih berganti dari Khulafaur Rasyidin (632-661 M), Dinasti Umayyah (661-750 M), dan Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) tidak menganggap pemerintahan sebagai fungsi administratif semata, melainkan sebagai tanggung jawab religius. Penguasa adalah khalifah, wakil dari Allah di bumi, dan legitimasi kekuasaan mereka bersumber dari konformitas terhadap ajaran Islam.

Signifikansi historis ini menciptakan tradisi yang sangat berbeda dari pengalaman Barat. Di Eropa, proses sekularisasi yang dimulai sejak era Renaissance dan diperkuat oleh Revolusi Prancis menyebabkan pemisahan tajam antara gereja dan negara. Sebaliknya, di Timur Tengah, warisan sejarah membuat Islam tetap menjadi bahasa politis yang paling powerful, bisa dikatakan juga sebagai sebuah “bahasa Islam”.

Ketika pendudukan Mongol menghancurkan Baghdad pada 1258 dan mengakhiri Dinasti Abbasiyah, impera itu tidak menghancurkan konsep bahwa pemerintahan harus berdasarkan Islam. Sebaliknya, pemimpin-pemimpin baru termasuk Dinasti Mamluk di Mesir dan Dinasti Ottoman yang berkembang di Turki justru memanfaatkan legitimasi Islam untuk memperkuat kekuasaan mereka. Setelah runtuhnya Kesultanan Ottoman pada 1923, banyak negara Timur Tengah modern terus menggunakan Islam sebagai fondasi konstitusional mereka, baik secara eksplisit maupun implisit.

Warisan sejarah ini bukan sekadar nostalgia melainkan pemahaman kolektif yang tertanam dalam jangka panjang bahwa Islam dan pemerintahan adalah dua elemen yang saling terkait. Ketika negara-negara Timur Tengah modern didirikan di abad ke-20, mereka tidak dapat mengabaikan akar sejarah ini. Konstitusi mereka, sistem hukum mereka, bahkan identitas nasional mereka semuanya terinspirasi atau paling tidak dipengaruhi oleh warisan sejarah Islam sebagai sistem pemerintahan.

Pada level teologis, konsep ini berakar pada pemahaman bahwa Alquran dan Hadis menyediakan guidance untuk semua aspek kehidupan, termasuk pemerintahan dan administrasi publik. Istilah “din wa dunya” atau “agama dan dunia” dalam wacana Islam tradisional mengandung makna yang berbeda dari yang Barat pahami. Tidak ada ranah kehidupan yang sepenuhnya terpisah dari dimensi religiusitas. Oleh karena itu, ketika seorang pemimpin Islam berbicara tentang pemerintahan, dia tidak sekadar berbicara tentang teknis administratif, melainkan tentang implementasi kehendak Ilahi.

Integrasi ini menciptakan legitimasi yang sangat kuat dimana pemimpin yang dapat menunjukkan bahwa kebijakannya sejalan dengan nilai-nilai Islam akan mendapatkan legitimasi yang tidak hanya didukung oleh institusi sekuler seperti militer atau birokrasi, tetapi juga oleh basis sosial yang luas melalui institusi religius seperti masjid, ulama, dan organisasi Islam. Inilah mengapa di Timur Tengah, tokoh-tokoh yang menginginkan perubahan politik seringkali berbicara dalam bahasa Islam, bukan bahasa sekuler.

- Advertisement -

Gerakan Arab Spring, meski dimotori oleh aktivis muda yang modern dan terhubung dengan teknologi, juga menampilkan elemen-elemen Islamic symbolism. Mereka tahu bahwa untuk memiliki dampak sosial yang luas, mereka harus berbicara dalam bahasa yang memiliki resonansi budaya, dan bahasa itu adalah Islam.

Konstitusi teologis ini juga memberikan fleksibilitas. Konsep ijtihad dan qiyas memungkinkan muslimin untuk mengadaptasi prinsip-prinsip Islam terhadap konteks modern. Inilah mengapa Turki dapat menerapkan sistem pemerintahan yang lebih sekuler sambil tetap mempertahankan legitimasi Islam, dan mengapa Iran dapat membangun teokrasi modern berdasarkan konsep Wilayat al-Faqih.

Keduanya menggunakan bahasa Islam, tetapi dengan interpretasi yang sangat berbeda. Namun, poin penting adalah bahwa keduanya merasa perlu untuk berbicara dalam bahasa Islam untuk membangun kekuatan mereka. Ini menunjukkan bagaimana konstitusi teologis Islam yang mengintegrasikan dimensi spiritual dan temporal menjadi framework utama dalam mana semua pertentangan politik dan pemerintahan di Timur Tengah terjadi.

Kedua argumen di atas (warisan sejarah panjang Islam sebagai sistem pemerintahan, dan konstitusi teologis Islam yang mengintegrasikan dimensi spiritual dan temporal) menunjukkan mengapa Islam memiliki pengaruh besar dalam konteks politik dan pemerintahan di Timur Tengah. Pengaruh ini bukan sekadar fakta budaya atau tradisional, melainkan struktur yang mendalam yang membentuk perilaku aktor-aktor politik, pilihan kebijakan negara, dan dinamika geopolitik regional.

Memahami Islam bukan sebagai agama semata, tetapi sebagai sistem pemerintahan yang kompleks dengan sejarah yang panjang, fondasi teologis yang luas, dan persaingan internal yang sengit, adalah kunci untuk memahami Timur Tengah kontemporer. Ketika kita melihat berita tentang konflik di Timur Tengah, revolusi atau reformasi yang terjadi, atau aliansi geopolitik yang terbentuk, kita tidak hanya melihat pertentangan kepentingan ekonomi atau geostrategi kita juga melihat pertentangan tentang bagaimana Islam sebagai sistem pemerintahan harus dipahami, ditafsirkan, dan diimplementasikan.

Muhammad Raffi Rasya
Muhammad Raffi Rasya
saya adalah seorang mahasiswa prodi Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Sriwijaya
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.