Kamis, Desember 4, 2025

Epistemologi Pemodelan Systems Thinking dan Strategic Foresight dalam Perhubungan Udara

Dr. Afen Sena, M.Si. IAP, FRAeS
Dr. Afen Sena, M.Si. IAP, FRAeS
Profesional dan akademis dengan sejarah kerja, pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan dan bisnis kedirgantaraan. Alumni PLP/ STPI/ PPI Curug, Doktor Manajemen Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, International Airport Professional (IAP) dari ICAO-ACI AMPAP dan Fellow Royal Aeronautical Society (FRAeS).
- Advertisement -

Pendahuluan

Transportasi udara adalah denyut nadi Indonesia sebagai negara kepulauan. Ia menyatukan wilayah luas yang tidak dapat dijangkau moda lain, menggerakkan perdagangan, pariwisata, logistik, dan integrasi nasional. Namun sektor ini kini memasuki babak baru yang ditandai dengan kompleksitas tak pernah terjadi sebelumnya.

Tekanan harga avtur, fluktuasi nilai tukar, biaya bandara yang terus meningkat, dan kebutuhan investasi infrastruktur bernilai besar membayangi kemampuan operator dalam menjaga layanan yang terjangkau. Di sisi lain, masyarakat menuntut layanan yang aman, nyaman, dan adil. Perspektif global pun berubah drastis: penerbangan harus lebih hijau, lebih efisien, lebih digital, dan lebih aman dari ancaman non-tradisional.

Di tengah itu semua, Pemerintah berperan ganda: menjaga keselamatan dan keamanan, memastikan keadilan akses, mengatur struktur pasar, mengembangkan infrastruktur, hingga memodernisasi sistem manajemen ruang udara bersama stakholders. Pemerintah tidak lagi sekadar regulator teknis; ia berada di pusat gravitasi ekosistem penerbangan nasional sebagai Regulator – Integrator – Orkestrator.

Untuk melihat gambaran besar secara lebih jernih, tulisan ini memadukan systems thinking—yang membaca hubungan antarsektor—dengan strategic foresight—yang memproyeksikan masa depan. Pendekatan ini menghasilkan kerangka kebijakan yang lebih holistik dan strategis untuk menghadapi tantangan dekade mendatang.

 

Empat Sistem Besar Penerbangan Indonesia: Sebuah Lanskap Strategis

Sistem penerbangan Indonesia tidak dapat dipahami sebagai kumpulan teknis bandara dan pesawat. Ia adalah ekosistem sosial-teknis dengan empat subsistem utama yang saling bergantung.

Sistem Politik dan Tata Kelola: Dimensi ini mencakup harmonisasi regulasi nasional dengan ICAO, stabilitas kebijakan, efektivitas koordinasi lintas kementerian, serta legitimasi publik terhadap layanan penerbangan. Fragmentasi regulasi dan tumpang-tindih mandat institusi sering menjadi sumber inefisiensi dan ketidakpastian.

Kebijakan perhubungan udara membutuhkan sebuah national single aviation policy yang konsisten dan adaptif.

- Advertisement -

Sistem Ekonomi dan Konektivitas: Biaya operasional maskapai berada dalam tekanan berat. Pada saat yang sama, keterbatasan APBN dalam membiayai bandara baru mendorong kebutuhan model pembiayaan alternatif seperti KPBU. Tantangan lain adalah dilema klasik: menjaga tarif tetap terjangkau tanpa mengurangi keberlangsungan bisnis.

Indonesia membutuhkan tata kelola ekonomi penerbangan yang lebih cerdas, berbasis data, dan berorientasi konektivitas nasional.

Sistem Sosial–Budaya dan Keadilan Akses: Di wilayah 3T, penerbangan bukan sekadar moda transportasi, tetapi aspek fundamental layanan dasar: evakuasi medis, pasokan pangan, logistik, pendidikan, dan mobilitas pemerintahan daerah.

Perspektif kultur dan karakteristik lokal harus diintegrasikan dalam penyediaan layanan udara. Pendekatan community-based air services memungkinkan desain layanan yang lebih relevan.

Sistem Pertahanan–Keamanan dan Kedaulatan Udara: Ruang udara adalah wilayah kedaulatan negara. Tantangan keamanan berkembang menjadi ancaman hybrid: serangan siber, spoofing GPS, drone, ancaman teror, hingga ketegangan geopolitik. Perhubungan Udara harus memperkuat integrasi sipil–militer, intelijen AVSEC, dan arsitektur resilience infrastruktur vital.

 

Tiga Matriks Strategis untuk Menjawab Tantangan 2025–2035

Tulisan ini menawarkan tiga matriks strategis untuk mengurai tantangan dan mengidentifikasi arah respon kebijakan.

Matriks 1: Cross-Domain Strategic Thinking Matrix

Dimensi Tantangan Tantangan 2025–2035 Respon Strategis Perhubungan Udara Keluaran Sistemik
Politik & Pemerintahan Fragmentasi kebijakan, harmonisasi SARPs Modernisasi regulasi, digital oversight Tata kelola adaptif, legitimasi publik
Ekonomi & Konektivitas Biaya tinggi, investasi besar Hybrid financing, efisiensi operasi Tarif stabil, konektivitas merata
Sosial–Budaya Kesenjangan 3T, sensitivitas budaya Layanan udara inklusif, PSO adaptif Akses universal
Lingkungan (SAF–CORSIA) Emisi tinggi, pasokan SAF minim SAF roadmap, MRV nasional, green airport Penerbangan net-zero
Keamanan & Pertahanan Ancaman hybrid, ruang udara padat Digital AVSEC, harmonisasi sipil–militer Ruang udara aman, resilient

Matriks 2: Mandate–Capability Alignment Matrix (MCA-Matrix)

Mandat Perhubungan Udara Kapasitas Sekarang Gap Arah Transformasi
Regulasi & Pengawasan USAP/USOAP, SQC Data terfragmentasi Digital oversight, sandbox regulasi
Pelayanan Publik Udara Bandara UPBU, rute sosial Kualitas tidak merata Standardisasi layanan
Infrastruktur Bandara daerah, KPBU Pendanaan terbatas Hybrid financing, PPP cluster
Keamanan–Keselamatan Annex 17/19 compliant Cyber & hybrid gap Security ecosystem
SDM ATC/AVSEC training Skill mismatch SASI (Sustainable Aviation Skills Initiative)

Matriks 3: Interdependensi Ekosistem Penerbangan

Aktor Ketergantungan Risiko Ketidakseimbangan Strategi Intervensi
Perhubungan Udara Regulasi, koordinasi Overload mandat Re-arsitektur tata kelola
Maskapai Tarif, biaya operasional Tarif tak stabil Efisiensi, ATFM, tarif adaptif
Pengelola Bandara Kapasitas, biaya Kongesti, layanan turun A-CDM, green airport
Kemenhan Ruang udara Bottleneck Harmonisasi ruang udara
Pemda Layanan publik Infrastruktur idle Regional air strategy
Industri SAF Transisi energi Transisi gagal SAF roadmap nasional

 

Lima Lapisan Sistem Penerbangan

Layer 1. Infrastruktur Fisik: Bandara, navigasi udara, apron, fasilitas AVSEC, dan ruang udara adalah komponen dasar. Namun modernisasi fisik tidak cukup. Tanpa integrasi digital dan tata kelola, infrastruktur fisik tidak menghasilkan efisiensi yang optimal.

Layer 2. Infrastruktur Digital: Transformasi digital mencakup: surveillance digital, data interoperability lintas lembaga,
teknologi navigasi modern, digital oversight tools, AVSEC intelligence. Integrasi digital menjadi jantung transformasi sistem penerbangan modern.

Layer 3. Regulasi dan Governansi: Regulasi adalah “Operating System” ekosistem penerbangan. Ia mengatur standar keselamatan, mekanisme pelayanan publik, penataan ruang udara, skema pembiayaan, hingga daya saing nasional. Harmonisasi SARPs dan penguatan tata kelola menjadi kunci stabilitas sistem.

Layer 4. Ekonomi dan Konektivitas: Lapisan ini adalah jembatan antara kepentingan pasar dan kepentingan publik. Struktur biaya, tarif, intermoda, dan pariwisata terhubung erat dalam lapisan ini. Jika tidak dikelola, lapisan ini bisa menciptakan ketimpangan layanan dan ketidakstabilan ekonomi maskapai.

Layer 5. People and Societal Value: Pada akhirnya, penerbangan adalah tentang manusia: keselamatan, akses, pelayanan, dan nilai sosial. Lapisan ini sering kali terabaikan, padahal merupakan kunci legitimasi publik.

Kelima lapisan ini harus bergerak serempak, tak boleh ada yang tertinggal.

 

Grand Strategic Thinking Model (GST)

GST menjadi kerangka orkestrasional untuk membangun kebijakan yang kuat, adaptif, dan berkelanjutan.

Sense – Memahami Tantangan: Analisis risiko politik, tekanan ekonomi, disparitas akses sosial, keragaman budaya pelayanan, ancaman keamanan, dan tuntutan keberlanjutan global.

Frame – Mendefinisikan Akar Masalah: Membaca masalah sebagai bagian dari jejaring ketergantungan. Fokus pada problem struktural: fragmentasi informasi, kapasitas daerah, beban regulasi, dan keterbatasan fiskal.

Shape – Merumuskan Opsi Kebijakan: Meliputi hybrid airport financing, digital AVSEC system, civil–military airspace protocol, SAF ecosystem, ATFM modern, serta universal air mobility untuk wilayah terpencil.

Orchestrate – Mengimplementasi: Perhubungan Udara harus memimpin koordinasi nasional melalui: Aviation 2035 roadmap, Regulatory sandbox, KPBU cluster model, National Aviation Skills & Innovation Academy, dan Green Airport Transformation

GST menjadikan transformasi bukan proyek sektoral, melainkan gerakan sistemik.

 

Lima Pilar Transformasi Nasional

Seluruh analisis, matriks, dan model strategis sebelumnya mengerucut pada lima pilar transformasi besar. Pilar-pilar ini tidak berdiri sendiri, tetapi membentuk satu arsitektur kebijakan yang utuh, saling menguatkan, dan dirancang untuk menjawab tantangan 10 tahun ke depan.

Kelima pilar ini menjadi fondasi Blueprint Strategis Perhubungan Udara, yang fokus pada keselamatan & keamanan, kesetaraan, keberlanjutan, efisiensi, dan kompetensi SDM. Inilah kerangka untuk memastikan Indonesia bukan hanya mengikuti perkembangan global, tetapi juga memimpin inovasi regional.

Pilar 1-Aviation Safety & Security Excellence: Keselamatan dan keamanan adalah ruh penerbangan. Tanpa keduanya, industri tidak mungkin berkembang, investasi tidak akan masuk, dan kepercayaan publik runtuh. Transformasi pada pilar ini mencakup lima langkah besar:

Pertama, modernisasi regulasi Annex 17 dan Annex 19 secara menyeluruh. Pembaruan regulasi harus berbasis risiko dan adaptif terhadap perkembangan teknologi, termasuk penggunaan drone, robotika bandara, dan sistem navigasi digital.

Kedua, digitalisasi total rantai pengawasan keselamatan dan keamanan. Dengan digital oversight, setiap bandara, maskapai, fasilitas navigasi, dan operator ground handling dapat dipantau dalam satu dashboard nasional. Data menjadi dasar keputusan, bukan sekadar laporan manual.

Ketiga, integrasi sistem intelijen AVSEC dengan lembaga pertahanan dan keamanan. Ancaman modern tidak bersifat linier; serangan siber terhadap radar, gangguan GPS, insiden hybrid, dan infiltrasi bandara menjadi ancaman nyata. Intelijen AVSEC harus diperkuat sebagai fungsi strategis, bukan administratif.

Keempat, modernisasi investigasi kejadian keselamatan melalui penggunaan data analytics dan real-time incident monitoring. Analitik prediktif memungkinkan risiko teridentifikasi sebelum menjadi kecelakaan.

Kelima, arsitektur resilience untuk menghadapi krisis. Bandara dan ATC harus memiliki sistem duplikasi, redundansi data, dan rencana pemulihan bencana yang dapat aktif dalam hitungan menit.

Pilar ini memastikan Indonesia tetap berada dalam jalur peningkatan skor USOAP dan USAP, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai negara dengan sistem keselamatan dan keamanan udara yang modern, responsif, dan terpercaya internasional.

Pilar 2- Air Connectivity: Konektivitas udara adalah kunci pemerataan pembangunan nasional. Namun layanan penerbangan di Indonesia tidak merata—masih ada daerah yang hanya dilayani beberapa kali seminggu atau bahkan tidak terlayani sama sekali.

Blueprint ini seyogyanya menawarkan pendekatan baru:

Pertama, redesain rute PSO (Public Service Obligation) berbasis analisis permintaan dan kebutuhan masyarakat. Tidak semua rute harus disubsidi dengan model yang sama; beberapa rute membutuhkan integrasi logistik, sementara yang lain memerlukan model layanan komunitas.

Kedua, integrasi layanan perintis dan kargo kecil. Penerbangan perintis harus menjadi bagian dari strategi ketahanan pangan dan logistik daerah, bukan sekadar moda transportasi penumpang.

Ketiga, pengembangan bandara 3T berbasis kebutuhan regional. Tidak semua daerah membutuhkan bandara besar; beberapa cukup dengan airstrip modular, heliport, atau seaplane base. Desain infrastruktur harus adaptif.

Keempat, penggunaan konsep Universal Air Mobility sebagai solusi masa depan. Teknologi eVTOL, pesawat listrik regional, dan drone logistik dapat mengurangi biaya operasional dan memperluas akses.

Kelima, kemitraan dengan pemerintah daerah. Tanpa koordinasi strategis, pembangunan bandara berpotensi menjadi infrastruktur idle yang menganggur.

Pilar ini menguatkan misi negara untuk menghadirkan keadilan akses dan memperkuat integrasi nasional.

Pilar 3- Sustainable Aviation Future: Keberlanjutan bukan lagi sekadar kewajiban global, tetapi juga kunci daya saing industri. Blueprint ini menekankan tiga area transformasi besar.

Pertama, pembangunan ekosistem Sustainable Aviation Fuel (SAF). Indonesia memiliki sumber daya besar untuk memproduksi SAF berbasis biofuel, seperti kelapa sawit, alga, atau limbah pertanian. Namun industri ini tidak akan tumbuh tanpa regulasi yang jelas dan insentif fiskal.

Kedua, transformasi bandara hijau. Green airport guidelines harus menjadi standar nasional, mencakup efisiensi energi, manajemen emisi, sistem limbah, kendaraan listrik, dan integrasi energi terbarukan. Bandara besar harus menjadi role model dan laboratorium inovasi hijau.

Ketiga, sistem MRV (Monitoring, Reporting, Verification) nasional untuk CORSIA. Sistem MRV yang akurat akan memastikan maskapai memenuhi kewajiban internasional dan menghindari sanksi global.

Keempat, integrasi Green ATM dalam pengelolaan ruang udara. Pengurangan waktu terbang, optimalisasi rute, dan manajemen climb–cruise–descent dapat mengurangi emisi secara signifikan.

Kelima, inovasi teknologi pesawat rendah karbon, termasuk hydrogen-ready dan electric propulsion. Dunia menuju era baru penerbangan, dan Indonesia tidak boleh tertinggal.

Pilar keberlanjutan memastikan Indonesia menjadi pemain penting dalam transisi energi penerbangan global.

Pilar 4- Aviation Economic Governance & PPP: Daya saing dan ketahanan industri penerbangan bergantung pada kemampuan negara mengelola struktur biaya serta menarik investasi. Transformasi pilar ini mencakup beberapa langkah penting.

Pertama, reformulasi struktur tarif dan biaya penerbangan. Tarif harus adil bagi masyarakat, namun tetap mempertimbangkan keberlangsungan bisnis maskapai. Pendekatan adaptive fare mechanism dapat memberikan ruang fleksibilitas.

Kedua, pemanfaatan model pembiayaan hybrid dan cluster PPP. Dengan menggabungkan bandara komersial dan non-komersial dalam satu paket investasi, minat investor dapat meningkat tanpa mengorbankan misi pelayanan publik.

Ketiga, modernisasi pengelolaan kapasitas bandara. Kota-kota besar seperti Jakarta, Makassar, dan Bali memerlukan konsep multi-airport system untuk mengurangi tekanan permintaan.

Keempat, efisiensi operasional bandara melalui A-CDM, slot optimization, dan digitalisasi manajemen apron. Efisiensi ini berpengaruh langsung terhadap biaya maskapai dan kualitas layanan penumpang.

Kelima, modernisasi ATFM nasional. Tanpa pengelolaan arus lalu lintas udara yang canggih, kapasitas ruang udara akan menjadi hambatan pertumbuhan.

Pilar ini membangun fondasi ekonomi penerbangan yang sehat, efisien, dan berkelanjutan.

Pilar 5- National Aviation Human Capital Transformation: SDM adalah jantung industri penerbangan. Transformasi kompetensi sangat mendesak, terutama menghadapi teknologi digital dan tuntutan keberlanjutan global.

Blueprint ini menekankan lima langkah penting:

Pertama, pembentukan National Aviation Skills & Innovation Academy yang berfokus pada kompetensi masa depan: digital ATS, AVSEC cybersecurity, green aviation, data analytics, dan teknologi bandara pintar.

Kedua, penyesuaian kurikulum dengan standar ICAO TRAINAIR Plus, FAA, EASA, CANSO, ACI, dan IATA. Setiap pelatihan harus berbasis kompetensi nyata, bukan sekadar pemenuhan formalitas.

Ketiga, penggunaan sistem evaluasi berbasis data untuk menilai efektivitas pelatihan.

Keempat, kerja sama global dengan ICAO, FAA, EASA, CANSO, ACI, dan IATA untuk memfasilitasi transfer teknologi dan standardisasi kompetensi.

Kelima, pengembangan program kepemimpinan dan manajemen risiko bagi pengambil keputusan, memastikan setiap pemimpin di lingkungan perhubungan udara memiliki kapasitas strategis yang memadai.

Dengan fondasi SDM yang kuat, sistem penerbangan nasional akan mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi dan geopolitik.

Penutup

Penerbangan nasional tidak lagi dapat dikelola dengan perspektif sektoral. Ia adalah sistem besar yang kompleks, saling terkait, dan sangat menentukan masa depan Indonesia sebagai negara kepulauan. Dengan pendekatan sistemik dan foresight, kita dapat mengubah tantangan menjadi peluang untuk membangun sistem penerbangan yang modern, inklusif, hijau, aman, dan kompetitif.

Blueprint perhubungan udara bukan sekadar arah regulasi, tetapi bentuk investasi strategis bangsa. Ia memastikan bahwa langit Indonesia tidak hanya aman dan teratur, tetapi juga menjadi instrumen pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan simbol kedaulatan negara.

Penerbangan adalah jembatan masa depan. Menatanya hari ini adalah syarat agar Indonesia melangkah mantap menuju 2045.

Daftar Pustaka

ICAO. Annex 17 Security: Safeguarding International Civil Aviation Against Acts of Unlawful Interference.
ICAO. Annex 19 Safety Management.
ICAO. Global Air Navigation Plan (GANP) 2023.
ICAO. Assembly Resolutions on CORSIA and Environmental Protection.
IATA. Future of Aviation Report 2024.
ACI World. Airport Economics Report.
World Bank. Connectivity and Logistics in Archipelagic Nations.
European Union Aviation Safety Agency (EASA). Digital ATM & Cybersecurity Architecture.
McKinsey & Company. The Future of Sustainable Aviation Fuel.
OECD. Infrastructure Investment and PPP Framework for Emerging Economies.

Dr. Afen Sena, M.Si. IAP, FRAeS
Dr. Afen Sena, M.Si. IAP, FRAeS
Profesional dan akademis dengan sejarah kerja, pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan dan bisnis kedirgantaraan. Alumni PLP/ STPI/ PPI Curug, Doktor Manajemen Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, International Airport Professional (IAP) dari ICAO-ACI AMPAP dan Fellow Royal Aeronautical Society (FRAeS).
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.