‘’Dari kamus yang bengal, aku kirim puisi ini untukmu
Agar dapat kau lunasi rindumu pada kekata
Di lugu mata majasmu, ada sebuah dunia
yang telah kubentangkan untukmu, hanya untukmu
Masuklah! Tapi jangan berharap menyaksikan wajahku
Sebab aku tak tergambar di dalamnya
Segala yang tak terduga
akan mendatangimu, serupa langit menemui bumi
Ketika hujan menguapkan buih lautan. Hikmati bunyi
Tik-tik pada jantung larik yang bergema dalam aortamu
Peraslah rasa ingin tahumu
yang menyelubungi tepian-tepian makna
Karena darah dari desir puisiku
tak menyodorkan warna peristiwa
Masuklah! Aku menunggumu
di balik pintu bahasa
Masih dengan debar yang sama.’’
(Bara Pattyradja, Masuklah, 2022)
Puisi yang menjadi epigraf prosa ini, bukan sekadar gugusan larik metaforik bernada imperatif—tetapi, sebuah ketukan puitik di pintu bahasa untuk menengok kembali biografi kebahasaan yang “mengikat lidah“ kita. Masuklah—adalah sebuah panggilan epik kepada setiap pembaca untuk mengenal huruf mengenal nama, agar dapat melunasi rindunya pada kekata.
Bahasa, di tangan para penuturnya bukan benda mati yang diarsipkan. Ia adalah kamus yang bengal, organisme yang hidup—diskursus yang tak pernah usai, antara masa lalu dan masa kini. Bahasa menyerap aroma zaman serupa tanah menyerap air. Bahasa bukan hanya soal tata kata, tetapi, juga tata rasa. Setiap diksi yang terlontar, setiap frasa yang tergelincir di ujung bibir, adalah jejak percakapan panjang antara sejarah dan ingatan kolektif.
Kita tahu bersama, bahasa Indonesia pernah gamang di hadapan cermin sejarah. Dilamuri bayang-bayang lingua franca Melayu Kuno, dirasuki hawa Sansekerta, retak oleh serapan bahasa asing; Arab, Cina, Portugis, Nederlands dan Inggris. Namun, wajah bahasa Indonesia itu tak pernah benar-benar koyak apalagi sirna. Ia lahir sebagai ‘’bayi kebudayaan’’ yang merangkak di atas kedua kakinya untuk belajar dan tumbuh menemui kematangan. Ia menyusuri lorong verbal di tengah keragaman bahasa lokal bukan hanya sebagai perkakas komunikasi—tetapi, sebagai basis nilai yang membingkai harmoni.
Perlahan ia menyentuh jutaan bibir untuk diucapkan, menggapai beribu jemari untuk ditulis. Tak henti ia membangun rumah budayanya sendiri, kamusnya sendiri, maknanya sendiri—sehingga ia menjadi milik seluruh bangsa di negeri ini.
Mozaik Kongres Bahasa Indonesia
Ketika kaki tangan kolonialisme menari dan mencengkram jantung Nusantara, geneologi kebahasaan kita berdenyut di antara dua tanjung harapan; masa lampau dan hari esok. Melalui Balai Pustaka (1920), kita meraba detak Melayu Riau, naskah lama, hikayat, dan pantun. Sementara di tanjung yang lain, kita menyelami degup modernitas, sastra cetak dan urat nadi pendidikan.
Semenjak Sumpah Pemuda didengungkan pada tanggal 28 Oktober 1928, tandaslah kegelisahan linguistik yang merambah rimba darah pemuda-pemudi di era kebangkitan nasional. Pertanyaan paling fundamental yang mengaduk-aduk isi dada mereka mengenai bahasa manakah yang akan mempersatukan kita sebagai sebuah negara-bangsa pun luruh dan terjawab sudah. Bahasa Indonesia didapuk menjadi lambang persatuan. Ikrar sunyi itu menjelma bunyi yang bergema kian riuh ke seluruh pelosok tanah air; ‘’Kami poetra dan poetri Indonesia, mendjoenjoeng bahasa persatuan, bahasa Indonesia.“
Babak sejarah tersebut menandai berdirinya sebuah bangunan kesadaran baru, bukan lagi tentang varian bahasa Melayu, tetapi, tentang jiwa sebuah bangsa. Manifesto liris itu seketika menjadi api spirit yang menyinari kandil gagasan untuk menjembatani sekat kultural, segregasi idiologis bahkan politik identitas. Segala perbedaan terminologis dan daya ucap dari ratusan bahasa daerah yang unikum, melebur secara gradual ke dalam satu simpul entititas bahasa baru bernama; Bahasa Indonesia.
Solo, 1938—menjadi tonggak penting bagi babak sejarah kebahasaan kita. Kongres bahasa Indonesia pertama (KBI I) itu dihelat untuk menentukan arah dan masa depan bahasa Indonesia, menempatkan bahasa sebagai alat perjuangan.
Setelah era kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 28 Oktober hingga 2 November 1954 (KBI II) digelar. Diktum-diktum kebahasaan mulai ditanam menjadi nafas konstitusi. Secara de jure, langkah ini mengokohkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara di dalam sistem nasional. Sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945 Pasal 36.
KBI III (1978) dan seterusnya 1983, 1988, 1993, 1998, 2003, 2008, 2013, 2018, 2023—merupakan medan pergulatan yang terorganisir dan sistemik untuk meninjau, mengevaluasi, serta merumuskan kebijakan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.
KBI selalu menyisakan pertanyaan, sebentuk kegelisahan laten—dapatkah bahasa Indonesia tetap hidup tanpa kehilangan kedalaman? Apakah ia sanggup menjadi bahasa sains, hukum, diplomasi, sekaligus tetap mengakar di jiwa para penuturnya?
Di balik setiap kongres, kita menyaksikan cermin bahasa itu retak, menyatu, retak lagi, menyatu lagi—seperti seraut wajah yang belum selesai dilukis di atas kanvas sejarah.
Dalam berbagai kongres yang bersifat periodik tersebut, ejaan-ejaan terus disempurnakan. Kata dan istilah diperbaharui. Kamus-kamus dibakukan menjadi kajian ilmiah.
Bahasa Indonesia pun berkembang melampaui asal-usulnya. Mengambil peran dan fungsi lebih dari sekadar alat percakapan sehari-hari. Ia terbentur dan terbentuk. Berdiri menjadi pagar kultural, di tengah gempuran imperialisme bahasa yang kian menderas. Ia menarik batas demarkasi diksional yang tegas, untuk mengukuhkan identitasnya yang kuat dalam kancah pergaulan literer global.
Bahasa Indonesia di Pentas Dunia
Bukan sebuah mitos yang terbit dari ruang kosong mimpi, ketika bahasa Indonesia menembus gelanggang dunia. Beberapa pencapaian krusial merupakan penanda membuminya bahasa Indonesia ke negeri-negeri jauh sebagai jembatan kemanusiaan.
UNESCO telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ke-10 dalam Sidang Umum UNESCO (20 November 2023). Tak sebatas itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti menyampaikan pidato nasional dalam bahasa Indonesia pada Sidang Umum UNESCO ke-43 (4 November 2025) di Samarkand, Uzbekistan.
Sontak suara Indonesia menggema di forum dunia. Bahasa Indonesia menjadi salah satu kanal pengetahuan antar-negara.
Kerja sama internasional, seperti pembukaan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Al‑Azhar, Kairo, Mesir (6 November 2025) adalah representasi paling aktual bahwa bahasa Indonesia juga “menjalar” ke Afrika dan Timur Tengah sebagai bahasa pengajaran internasional.
Program Indonesia Global, diplomasi bahasa, hingga upaya memperluas rekognisi global adalah jalan yang membanggakan.
Bahasa ibu kita, yang dahulu dianggap “rendah” oleh kolonialisme, kini mendunia.
Pulang ke Bahasa Ibu
Apakah bahasa Indonesia telah sampai ke titik puncak pencapaiannya? Apakah bahasa Indonesia sudah selesai bermetamorfosa di ruang-ruang domestik, di rumah kebudayaannya sendiri?
Lihat anak-anak kita di zaman virtual ini, dalam pergaulan lisannya, kerap masih tak percaya diri jika belum mengutip “mantra” Inggris agar supaya terkesan modern. Kosakata di ujung lidah mereka, separuhnya terpapar impresi bahasa asing.
Secara moral, “bahasa mencerminkan keadaban bangsa.” Akan tetapi, kata “anjay” lebih populis menggantikan cinta di bibir generasi android. Inilah masalah kita yang sebenarnya. Bahasa tak bisa dibelenggu secara tertib oleh hukum dan kaidah akademik. Ia berloncatan bagai anai-anai kapas. Bahasa menggelepar menemui nasibnya seiring nafas zaman. Ia bisa tertib tapi tak bisa dikerangkeng oleh makna tertentu. Ia pejas namun adaptatif. Pada kenyataannya, bahasa adalah rumah sekaligus jalan.
Patut direnungkan, sejarah panjang kebahasaan yang telah kita lewati ini, meski dibaca kembali sebagai gerbang awal, bukan akhir dari perjuangan kata-kata.
Inilah pintu menuju babak baru, era baru—yang menuntut perumusan ulang makna “pemajuan bahasa” dalam konteks global dan digital. Dan pintu bahasa itu belum ditutup. Justru baru saja dibuka. Masuklah!
Aku menunggumu, di balik pintu bahasa, masih dengan debar yang sama.
