Kadang saya heran, hidup di Indonesia yang ngeri-ngeri sedap ini saja rasanya sudah cukup riuh, tapi entah kenapa saya tetap harus mendengar keributan dari orang-orang kita yang, sepertinya, sudah hidup nyaman di negeri orang.
Diaspora kita itu unik. Ada yang tenang, rajin meneliti, menikmati ketenangan perpustakaan musim gugur, dan tak pernah merasa perlu memamerkan dirinya di media sosial. Tapi ada juga yang setiap hari seperti petasan bantingan, meledak di mana-mana, mengkritik apa pun yang lewat.
Orang-orang jenis ini sering digambarkan sebagai pejuang moral, padahal kalau dilihat lebih dekat, motifnya kadang cuma seperti seseorang yang menggedor pintu rumah lama sambil berteriak, “Ingat aku! Aku masih ada!”
Saya bukan psikiater, cuma pensiunan yang bertahun-tahun memperhatikan manusia dan segala kecemasan kecilnya. Tapi saya bisa bilang begini: sebagian diaspora mengira hidup di luar negeri itu tiket ke kehidupan akademik yang mulus, tenang, dan penuh wibawa.
Nah, begitu sampai sana, fasilitas memang beres, sistem jalan, udara bersih, tapi mereka juga menghadapi kenyataan bahwa menjadi dosen atau peneliti di negeri orang itu bukan sekadar ngajar seminggu sekali lalu duduk manis.
Ada tekanan publikasi, kompetisi kejam, pertarungan modal simbolik seperti kata Bourdieu. Kalau tidak punya “amunisi,” ya posisi akan mandek. Dan stagnasi itu adalah racun pelan-pelan bagi ego manusia.
Di titik itu, media sosial jadi panggung darurat. Mirip panggung wayang kecil yang dibuka dadakan supaya orang merasa terlihat lagi. Goffman menyebut hidup ini teater, dan manusia kadang perlu panggung agar identitasnya terasa sah. Kata anak sekarang, orang butuh validasi.
Apa yang lebih murah dari membuka X lalu bikin utas panjang tentang betapa rusaknya negeri sendiri?
Di sana, tidak ada editor, tidak ada reviewer jurnal. Semuanya gratis. Validasi datang instan. Retweet lebih hangat daripada sistem kepangkatan akademik yang dingin. Apalagi kalau mulai merasa punya “posisi moral” yang lebih tinggi hanya karena memandang Indonesia dari kejauhan sambil menyeruput kopi hangat di apartemennya yang sempit dan penuh barang.
Saya tidak bilang semua diaspora yang kritis begitu. Ada yang sungguh peduli, ada yang ahli betulan, ada yang kritiknya bergizi. Tetapi ada pula yang sekadar haus pengakuan, berharap ada undangan pulang dengan jabatan empuk: staf ahli, komisaris, atau apa pun yang terdengar terhormat.
Itu sebabnya sebagian orang menduga kritik keras ke tanah air bukan selalu soal moralitas, tapi lebih mirip sinyal: “Halo Indonesia, lihat aku… aku siap dipanggil kapan saja.”
Kadang tragis, kadang lucu, tapi lebih sering terasa seperti upaya kabur dari akademia luar negeri yang tidak memberi ruang cukup bagi mimpi mereka.
Di sisi lain, diaspora yang benar-benar ahli biasanya justru diam. Mereka tidak pamer, tidak ribut, tidak menunggu panggilan pulang sebagai pengakuan. Mereka tenggelam dalam riset di laboratorium, berkolaborasi, dan kehidupan akademik yang memang menuntut kerja nyata.
Dalam teori motivasi Deci dan Ryan, mereka ini hidup dengan dorongan intrinsik. Hidupnya sudah penuh, jadi tidak butuh panggung tambahan untuk merasa relevan. Orang-orang begini justru sering baru kita dengar namanya setelah ada artikel jurnal yang dikutip puluhan institusi. Atau mendapat penghargaan global atas riset akademisnya. Sunyi tapi bekerja.
Sebagai orang yang sudah lama memerhatikan tingkah manusia, saya jadi menyimpulkan begini: orang yang paling keras bicara sering kali sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Bukan selalu begitu, tapi pola itu terlalu sering muncul untuk diabaikan.
Diaspora yang ribut mungkin bukan kurang kerjaan. Mungkin mereka sedang mencari jalan dan tempat pulang, atau panggung yang bisa menutupi frustrasi akademik yang tidak pernah mereka akui. Mungkin mereka hanya ingin merasa penting di dunia yang tidak selalu memberi ruang pada orang asing.
Dan saya, yang hidup di Indonesia dengan mengelus kucing liar yang suka mampir di beranda atau tikus got yang kadang lewat di atap, hanya bisa tersenyum hambar setiap kali mendengar teriakan mereka di linimasa media sosial dan ruang podcast.
Dari jauh, saya melihat ironi yang sama: mereka yang benar-benar bekerja biasanya tidak punya waktu untuk koar-koar, sementara yang paling ribut umumnya memang tidak punya tempat lain untuk merasa hidup.
Begitulah manusia. Rumit dengan cara yang sederhana.
