Di tengah derasnya arus informasi digital, masyarakat kita menghadapi paradoks menarik: akses terhadap informasi makin mudah, tetapi kemampuan memahami dan menyaringnya justru menurun. Literasi, yang seharusnya menjadi pondasi berpikir bangsa, kini sering terpinggirkan di tengah budaya instan. Di sinilah peran mahasiswa diuji, apakah kita hanya menjadi penikmat informasi, atau justru penggerak literasi di tengah masyarakat?
Mahasiswa dan Tanggung Jawab Intelektual
Mahasiswa dikenal sebagai kaum intelektual muda yang idealis dan penuh semangat perubahan. Sejarah mencatat, banyak gerakan besar lahir dari mahasiswa. Kini, perjuangan itu tidak lagi harus turun ke jalan, melainkan bisa diwujudkan lewat gerakan literasi medan baru yang tak kalah penting.
Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis. Ia mencakup kemampuan memahami konteks, berpikir kritis, dan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang benar. Sayangnya, budaya membaca mendalam kini makin jarang. Banyak orang hanya membaca sekilas, bahkan ikut menyebar hoaks tanpa verifikasi.
Sebagai mahasiswa, kita memiliki tanggung jawab moral untuk ikut membenahi hal itu. Dengan akses pendidikan dan kemampuan analisis yang lebih baik, sudah seharusnya mahasiswa berperan aktif mengangkat literasi masyarakat.
Menghidupkan Literasi di Lingkungan Sekitar
Tantangan utama membangun budaya literasi adalah membuatnya terasa relevan. Banyak orang menganggap membaca itu membosankan. Padahal, mahasiswa bisa membuatnya menarik dengan kreativitas: mendirikan taman baca di kampung, membuat pojok baca di kafe kampus, atau mengadakan diskusi film dan buku di lingkungan sekitar.
Bahkan di era media sosial, gerakan literasi bisa dilakukan secara digital. Banyak komunitas mahasiswa kini menggunakan podcast, YouTube, atau TikTok untuk membahas isu sosial dan budaya dengan cara yang ringan. Literasi tidak harus kaku; ia bisa lahir dari tempat nongkrong, media sosial, atau bahkan warung kopi.
Literasi Digital: Medan Baru
Saat ini, literasi digital menjadi kunci agar masyarakat tidak mudah terjebak hoaks. Mahasiswa yang akrab dengan teknologi seharusnya menjadi garda depan. Langkah kecil seperti memverifikasi berita sebelum membagikannya atau membuat konten edukatif di media sosial bisa menjadi bentuk nyata partisipasi.
Gerakan literasi digital penting, terutama bagi masyarakat di luar kota besar yang lebih rentan terhadap informasi palsu. Dengan pendekatan yang ramah dan kontekstual, mahasiswa dapat membantu masyarakat menjadi lebih kritis terhadap informasi.
Kolaborasi dan Dampak Nyata
Kekuatan mahasiswa bukan hanya pada pengetahuan, tetapi juga kemampuan berkolaborasi. Gerakan literasi akan lebih kuat bila melibatkan sekolah, komunitas, pemerintah daerah, dan media lokal. Mahasiswa bisa menjadi penghubung antara dunia akademik dan masyarakat — misalnya mahasiswa pendidikan melatih anak-anak membaca, mahasiswa komunikasi membuat kampanye literasi, atau mahasiswa ekonomi membantu mengelola perpustakaan komunitas.
Menjadikan Literasi Sebagai Gaya Hidup
Pada akhirnya, literasi harus menjadi gaya hidup, bukan sekadar proyek. Mahasiswa bisa mulai dari diri sendiri: membaca satu artikel reflektif per hari, menulis opini, atau membagikan ringkasan buku di media sosial. Langkah kecil ini, bila dilakukan banyak orang, akan menciptakan dampak besar bagi bangsa.
Mahasiswa adalah agen perubahan. Ketika kita tidak hanya menuntut perubahan, tetapi juga menjadi bagian dari perubahan itu, maka literasi akan tumbuh bukan karena paksaan, melainkan karena kesadaran.
