Byung-Chul Han lahir di Seoul, Korea Selatan, pada tahun 1959. Ia kemudian pindah ke Jerman dan menjadi salah satu filsuf kontemporer paling berpengaruh di bidang teori budaya. Han mengajar di Universität der Künste Berlin, dan dikenal lewat gaya tulisannya yang padat, kontemplatif, serta menggugah. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah The Burnout Society (2010), yang menguliti wajah baru dunia modern: manusia yang kelelahan oleh tuntutan menjadi sempurna.
Dalam pandangan Han, masyarakat modern bukan lagi masyarakat disiplin seperti yang dikritik oleh Michel Foucault, melainkan masyarakat prestasi (achievement society). Jika dulu manusia ditekan oleh larangan dan hukuman, kini manusia menindas dirinya sendiri melalui dorongan untuk terus produktif. “Kata kunci zaman ini bukan lagi ‘harus patuh’, melainkan ‘harus bisa’,” tulis Han (2010). Manusia modern tidak diperintah, melainkan dimotivasi, dan dari motivasi itulah lahir kelelahan kolektif yang tak berujung.
Dari Disiplin ke Performa: Umat di Era Lelah Digital
Kita hidup di zaman di mana media sosial menjadi arena performa tanpa henti. Setiap unggahan, setiap story, dan setiap komentar merupakan bentuk baru dari “pekerjaan batin” yang tak terlihat. Dalam budaya digital, umat berlomba-lomba menunjukkan versi terbaik dirinya; baik sebagai profesional, pelajar, maupun seorang muslim yang taat.
Budaya “show your faith” muncul dalam berbagai bentuk, seperti: unggahan tilawah, status hijrah, hingga konten dakwah pribadi. Semua tampak positif, namun di balik itu semua, tersimpan beban ekspektasi spiritual: harus tampak istiqamah, harus tampak beriman, serta harus selalu bahagia dan produktif. Han menyebut fenomena ini sebagai bentuk positivity violence; kekerasan yang muncul dari obsesi terhadap hal-hal positif, yang pada akhirnya justru melelahkan jiwa.
Dalam masyarakat yang selalu menuntut performa, bahkan ibadah bisa tergelincir menjadi proyek personal branding. Orang tidak lagi diam untuk menyembah, melainkan sibuk memastikan bahwa kesalehannya terlihat. Seperti ditulis Han, “Manusia kini bukan lagi budak yang diperintah, melainkan wirausahawan bagi dirinya sendiri.” Maka, tanpa disadari, umat digital menjadi budak bagi algoritma yang terus menuntut: unggah lagi, tampil lagi, jadi lebih baik lagi.
Fenomena ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad saw., “Sesungguhnya agama ini mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama, melainkan ia akan dikalahkan olehnya.” (HR. Bukhari). Hadis ini seolah menjadi teguran lembut bagi umat yang menukar kedamaian iman dengan kelelahan eksistensial karena ingin selalu tampak sempurna di mata publik.
Kelelahan Spiritual dan Krisis Makna
Byung-Chul Han melihat kelelahan modern bukan hanya sekadar fisik, melainkan spiritual dan eksistensial. Ia menulis, “Manusia modern tenggelam dalam lautan kebebasan semu. Ia boleh memilih apa saja, namun kehilangan arah untuk siapa dan untuk apa ia hidup.” Dalam konteks keislaman, fenomena ini tampak dalam meningkatnya kecemasan religius: kegelisahan menjadi “kurang saleh”, rasa bersalah karena tidak produktif dalam dakwah, atau ketakutan tidak sesuai dengan citra “muslim ideal” di media sosial.
Budaya digital menumbuhkan ilusi bahwa iman harus selalu tampak kuat, padahal spiritualitas sejati justru tumbuh dalam ruang diam, refleksi, dan keterbatasan. Dalam The Burnout Society, Han menulis bahwa manusia modern kehilangan seni “berhenti” (the art of rest). Segala sesuatu harus diubah menjadi performa, bahkan waktu istirahat pun diubah menjadi konten produktif.
Ketika kondisi kelelahan telah berubah menjadi gaya hidup, maka yang lenyap bukan hanya energi, namun makna. Kita menjadi sibuk tanpa arah, aktif tanpa tujuan. Iman yang semula menenangkan berubah menjadi daftar tugas. Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan antara kerja dan istirahat, antara dunia dan akhirat. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari serta usahamu mencari sebagian karunia-Nya.” (QS. Ar-Rum: 23). Ayat ini menegaskan bahwa istirahat merupakan bagian dari ibadah, bukan tanda kelemahan.
Dari Burnout Menuju Tazkiyah: Islam sebagai Ruang Pemulihan
Bagaimana cara keluar dari jebakan burnout? Byung-Chul Han mengusulkan kembalinya manusia pada kontemplasi dan keheningan. Ia menulis dalam The Scent of Time (2017) bahwa manusia perlu memulihkan “waktu yang beraroma”, yakni waktu yang dirasakan secara penuh, bukan waktu yang terukur oleh produktivitas.
Dalam Islam, konsep ini selaras dengan tazkiyah al-Nafs (penyucian jiwa). Spirit tazkiyah bukan tentang menjadi lebih sibuk atau lebih hebat, melainkan tentang membersihkan hati dari kerak ambisi dan membebaskan diri dari tirani ekspektasi sosial. Dalam konteks digital, tazkiyah berarti berani tidak selalu tampil, berani diam, dan berani memilih jeda.
Pada akhirnya, kelelahan kolektif umat hari ini bukanlah takdir, melainkan sinyal bahwa kita perlu menata ulang makna kerja, ibadah, dan eksistensi. Teori Byung-Chul Han mengingatkan kita bahwa di balik layar ponsel yang berkilau, manusia modern sering kali hidup dalam keletihan yang sunyi. Dan mungkin, salah satu bentuk jihad di era ini adalah menolak untuk terus berlomba tanpa arah dan kembali pada keseimbangan, yakni pada diam yang menumbuhkan iman.
Sebab, seperti sabda Rasulullah saw., “Sungguh, yang paling dicintai oleh Allah adalah amal yang sedikit tetapi dilakukan terus-menerus.” (HR. Bukhari). Oleh karena itu, di dunia yang sangat memuja produktivitas, kesederhanaan dan ketulusan justru dapat menjadi bentuk perlawanan yang paling suci.
