Senin, November 10, 2025

Boba, Manis di Mulut, Pahit di Balik Cangkir

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Saya ingin menyelami fenomena minuman yang telah menaklukkan setiap sudut jalan di planet ini. Kita bicara tentang minuman yang daya tariknya tak tertahankan—penuh dengan warna-warni ceria, rasa yang sangat manis, dan tekstur unik yang membuatnya langsung dikenali oleh siapa pun: Bubble Tea, atau lebih akrab disapa Boba.

Apa yang bermula sebagai kreasi sederhana di Taiwan telah bertransformasi menjadi gelombang global, sebuah obsesi massal yang melintasi benua dan budaya. Hari ini, minuman signature dengan mutiara kenyal di dasarnya ini telah menduduki posisi yang sejajar dengan minuman klasik seperti kopi, menghiasi papan nama kafe-kafe di jalan-jalan utama kota metropolitan mana pun. Jauh melampaui sekadar pelepas dahaga, Boba telah menjelma menjadi sebuah pernyataan gaya—aksesori wajib yang dipajang dan dipuja di feed media sosial, membuktikan statusnya sebagai ikon budaya pop modern.

Namun, di tengah hiruk pikuk popularitas yang terus melonjak tinggi ini, muncul bisikan kekhawatiran yang kian keras. Seiring semakin banyaknya cangkir yang terjual, semakin banyak pula pertanyaan kritis yang diajukan tentang substansi yang sebenarnya terkandung di dalamnya. Serangkaian tes kesehatan yang dilakukan baru-baru ini telah memicu alarm. Hasilnya mengejutkan: mereka menemukan jejak timbal dalam komponennya, mencatat kadar gula yang sangat tinggi, dan bahkan—dalam kasus-kasus paling ekstrem—mengaitkannya dengan pembentukan batu ginjal.

Singkatnya, gambaran yang mulai terkuak tentang minuman favorit ini jauh lebih kompleks dan jauh kurang manis daripada rasa minuman itu sendiri.

Kita akan melihat lebih dekat minuman yang manis, sangat trendi, dan benar-benar ada di mana-mana. Bubble tea telah bertransformasi dari minuman lokal Taiwan yang bersahaja menjadi kegilaan global yang tak terbendung. Lahir dari perpaduan inovatif di era 1980-an, Boba adalah mahakarya komposisi: perpaduan sempurna antara teh yang lembut, susu yang creamy, sentuhan gula, dan—tentu saja—mutiara tapioka kenyal yang menjadi ciri khasnya. Pertanyaannya: Apakah minuman Bubble Tea Anda benar-benar seaman kelihatannya?

Bubble tea kini telah melampaui definisinya sebagai sekadar minuman. Ia telah menjadi artefak budaya kontemporer—sebuah tren gaya hidup yang wajib diikuti, makanan pokok estetika yang merajai feed media sosial, dan aksesori visual yang tak terpisahkan dari generasi online saat ini.

Di jantung metropolis global, mulai dari jalanan sibuk London, kawasan belanja elit Singapura, hingga sudut-sudut trendy di New York, kedai-kedai berlomba-lomba dengan sengit. Kompetisi mereka berpusat pada satu tujuan: menyempurnakan dan menyajikan cangkir boba yang paling inovatif dan sempurna. Kombinasi memikat dari warna-warna cerah, spektrum rasa yang luas, dan sensasi tekstur kenyal telah membuatnya menjadi favorit viral yang tak terbantahkan di dunia maya. Dan tak ada tanda-tanda kegilaan ini akan melambat. Faktanya, skala fenomena ini sangat besar; pasar bubble tea global, menurut laporan terbaru, diperkirakan akan menyentuh angka fantastis $4,78 miliar US pada tahun 2032.

Singkatnya, apa yang dimulai sebagai eksperimen sederhana di gerobak pinggir jalan di Taiwan telah berevolusi menjadi sebuah industri global bernilai miliaran dolar, memantapkan posisinya sebagai elemen tak terpisahkan dari budaya pop abad ke-21.

Namun, seiring dengan kilau branding yang lucu dan daya pikatnya yang manis, muncul kerutan di dahi—suara-suara yang menyuarakan kekhawatiran serius. Ada pertanyaan yang terus membesar mengenai substansi dan keamanan dari apa yang sebenarnya kita telan.

Kekhawatiran tersebut bukan tanpa dasar. Tes keamanan konsumen yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan sesuatu yang meresahkan: terdeteksi kadar timbal dalam jumlah kecil yang bersembunyi di dalam mutiara tapioka yang kenyal. Mutiara tersebut, yang berasal dari singkong, adalah akar yang secara alami dapat menyerap logam berat dari tanah tempat ia tumbuh. Yang lebih mengkhawatirkan adalah temuan bahwa setiap sampel mutiara tapioka yang diuji terbukti mengandung sejumlah timbal.

- Advertisement -

Meskipun kadar yang ditemukan mungkin tidak menimbulkan bahaya akut atau instan, temuan ini telah memicu alarm di kalangan otoritas kesehatan. Para ahli memperingatkan bahwa paparan berulang, meskipun hanya dalam dosis yang sangat kecil, dapat menumpuk dalam sistem tubuh seiring berjalannya waktu dan menimbulkan risiko jangka panjang. Sebagai respons terhadap temuan ini, beberapa perusahaan boba besar telah mengambil langkah proaktif, menarik produk tertentu dari peredaran atau secara signifikan memperketat protokol pemeriksaan keselamatan mereka.

Selain masalah kontaminasi logam berat, bahaya lain mengintai dari praktik konsumsi yang berlebihan. Mutiara tapioka yang kita gemari itu, pada dasarnya, sebagian besar adalah pati murni. Menelan terlalu banyak dapat membebani sistem pencernaan, memperlambat kerjanya, dan dalam skenario yang jarang—namun serius—berpotensi memicu penyumbatan usus.

Lalu, ada kisah peringatan yang datang dari Taiwan. Kisah ini menjadi bukti nyata dampak ekstrem dari ketergantungan pada minuman manis ini: seorang wanita muda berusia 20 tahun didiagnosis menderita lebih dari 300 batu ginjal setelah ia secara teratur mengganti air minum sehari-harinya dengan bubble tea. Para dokter mengaitkan kondisi mengerikan ini langsung dengan tingkat gula dan oksalat yang sangat tinggi yang dikonsumsi wanita tersebut.

Namun, dari semua risiko yang mengancam kesehatan, gula tetap menjadi ‘tersangka utama’ yang paling berbahaya. Bayangkan ini: satu cangkir bubble tea standar dapat memuat antara 20 hingga 50 gram gula—jumlah yang jauh melebihi kadar gula dalam sekaleng penuh minuman bersoda. Asupan gula yang melambung tinggi ini secara langsung meningkatkan risiko obesitas, diabetes, dan masalah gigi yang serius, terutama di kalangan konsumen muda. Meskipun otoritas kesehatan gencar menyarankan pembatasan asupan gula harian, upaya konsumen untuk memilih versi “rendah gula” pun mungkin sia-sia. Mengapa? Karena mutiara kenyal itu sendiri sering kali telah direndam dan dimaniskan dengan sirup sebelum disajikan.

Di luar ancaman internal, ada juga risiko keamanan fisik yang serius: bahaya tersedak. Para dokter secara tegas memperingatkan bahwa mutiara tapioka berukuran kecil dapat menjadi bahaya tersedak yang signifikan, terutama bagi anak-anak. Namun, bahaya ini tidak hanya terbatas pada si kecil. Laporan mengejutkan dari Tiongkok mencatat kasus tragis di mana seorang wanita berusia 19 tahun meninggal setelah secara tidak sengaja menghirup tiga mutiara saat ia mencoba menyedot lebih keras melalui sedotan yang tersumbat sebagian.

Maka, kita kembali pada pertanyaan mendasar: Apakah bubble tea aman untuk dinikmati? Jawabannya, menurut para pakar kesehatan, adalah sebuah jawaban yang bernuansa: Dalam jumlah sedang, ya. Namun, sebagai kebiasaan sehari-hari atau minuman utama, jawabannya adalah tidak.

Para ahli merekomendasikan penyesuaian gaya hidup sederhana: memilih cangkir yang lebih kecil, mengurangi atau menghilangkan topping tambahan, dan secara ketat meminta tingkat gula yang jauh lebih rendah. Dan untuk memadamkan rasa haus yang sebenarnya, saran yang paling bijak dan paling sehat tetaplah memilih air putih biasa daripada boba.

Minuman yang berhasil menaklukkan hati dan feed internet di seluruh dunia ini memang lezat dan memanjakan mata. Tetapi, sama seperti semua suguhan manis lainnya, bubble tea paling baik dinikmati sebagai indulgensi sesekali, bukan sebagai asupan yang terus-menerus.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.