Ada ironi yang selalu menghantui perpustakaan di negeri ini. Semakin lantang pejabat berpidato tentang pentingnya literasi, semakin sunyi suara pustakawan dalam pengambilan keputusan. Perpustakaan dipuja-puji sebagai “jantung pengetahuan”, tapi jantung itu sering dipaksa berdetak sesuai irama atasan yang bahkan tak tahu bedanya katalogisasi dengan katalog belanja.
Inilah realitas pahit, tata kelola perpustakaan lebih banyak ditentukan oleh selera pencitraan ketimbang standar profesional. Ruang baca dipoles secantik mungkin bila ada tamu, rak dipindah sesuka hati agar terlihat megah, koleksi ditata ulang bukan berdasarkan klasifikasi, melainkan agar lensa kamera puas. Sementara itu, usulan perbaikan sistem layanan yang jelas-jelas vital, terbengkalai entah di meja siapa.
Pustakawan: Ilmu Dibuang, Pencitraan Diutamakan
Sebagai pustakawan, kami belajar tentang standar nasional, praktik preservasi, hingga tata kelola digital. Kami menghafal teori, menekuni metode, dan memahami bahwa pengelolaan pengetahuan bukan sekadar menumpuk buku di rak. Tetapi apa gunanya semua itu jika diabaikan mentah-mentah?
Atasan yang kadang bahkan tidak pernah menginjak lantai perpustakaan selain untuk berfoto, merasa lebih tahu. Mereka dengan gagah memberi instruksi, “Tolong rapikan sesuai konsep ini.” Konsep? Apa yang dimaksud tentu bukan standar pengelolaan, melainkan standar estetika ala ruang tamu rumah dinas.
Lucunya, ketika asesor datang, tiba-tiba semua orang bersalin rupa. Pustakawan dipaksa jadi aktor dadakan, menjelaskan seolah semua berjalan sempurna tanpa cela. Padahal setelah acara selesai, “perpustakaan ideal” itu kembali ke wajah aslinya, sistemnya masih compang-camping, koleksi terbatas, dan pustakawan jelas semakin letih menahan amarah. Citra adalah yang utama dibandingkan realita.
Emosi yang Tidak Pernah Dicatat
Di tengah situasi ini, ada beban emosional yang sering diabaikan. Kami frustrasi bukan karena perpustakaan miskin anggaran, itu bisa dipahami. Yang menghancurkan adalah ketika profesi ini direduksi sebatas ornamen pencitraan. Kami punya ilmu, tapi dianggap tidak relevan. Kami punya standar, tapi diabaikan. Kami bicara data, tapi yang lebih dipercaya adalah intuisi atasan yang berpatokan pada “yang penting kelihatan bagus”.
Coba tanyakan pada pustakawan, berapa kali mereka harus menahan napas ketika rak dipindah semata demi keindahan sesaat? Berapa kali koleksi harus ditata ulang agar tampak penuh, padahal jumlahnya tak seberapa? Berapa kali usulan logis, seperti sistem otomasi layanan ditolak dengan alasan klasik, “tidak ada dana”, sambil di saat bersamaan dana seremonial jalan dengan mulus?
Tidak ada instrumen evaluasi yang mengukur seberapa dalam frustrasi pustakawan. Tidak ada laporan kinerja yang mencatat berapa liter energi emosional terkuras untuk membungkam diri. Padahal, di situlah kerusakan sesungguhnya dimulai, ketika profesi dipaksa bungkam oleh kepentingan pencitraan.
Panggung Sandiwara Perpustakaan
Mari kita akui dengan jujur, banyak perpustakaan kita lebih mirip panggung sandiwara ketimbang pusat pengetahuan. Ia hanya ramai saat tamu datang, sibuk saat asesor hadir, dan kembali sepi setelah itu.
Pustakawan dipaksa menjadi figuran. Rak buku menjadi properti. Koleksi jadi dekorasi. Dan atasan, tentu saja, berperan sebagai sutradara yang paling tahu segalanya, meski naskahnya tidak pernah ia baca.
Inilah sandiwara yang terus diulang. Dan publik, ironisnya, hanya melihat hasil akhir, betapa indahnya perpustakaan dalam potret resmi, tanpa pernah tahu drama di balik layar.
Antara Diam dan Melawan
Sebagian pustakawan memilih diam. Bukan karena tidak peduli, melainkan karena sadar posisi mereka lemah. Bicara terlalu keras bisa dianggap pembangkangan. Mengingatkan dengan data bisa dituduh menggurui. Akhirnya, strategi yang paling aman adalah menelan frustrasi sambil berharap keadaan berubah.
Namun sampai kapan kita akan bertahan dengan sikap seperti itu? Apakah profesi pustakawan hanya akan terus dicatat dalam sejarah sebagai pelayan pencitraan? Apakah perpustakaan akan selamanya jadi ruang pamer sesaat, bukan ruang belajar yang sebenarnya?
Mengembalikan Martabat Perpustakaan
Saatnya bicara tegas. Perpustakaan tidak boleh dikelola dengan logika panggung sandiwara. Jika institusi masih menjadikan perpustakaan sebagai etalase semu, maka ia sedang membunuh fungsinya sendiri. Pustakawan bukan tukang geser rak, bukan tukang pajang buku, apalagi tukang poles citra. Kami profesional dengan ilmu yang seharusnya jadi dasar kebijakan.
Dibutuhkan keberanian kolektif untuk menolak logika pencitraan instan. Pustakawan perlu mengingatkan pada pemangku kebijakan bahwa perpustakaan bukan milik atasan, melainkan milik publik. Tugas pustakawan tidak untuk memuaskan tamu dalam hitungan menit. Melainkan bergerak membangun pengetahuan dalam hitungan generasi.
Apabila suara pustakawan terus dibiarkan tenggelam, kelak sejarah akan menuliskan bahwa kehancuran perpustakaan bukan disebabkan oleh kurangnya koleksi atau lambannya inovasi, melainkan hilangnya apresiasi yang diberikan oleh instansi. Dan saya menulis ini bukan sekadar curhat emosional, melainkan sebagai pengingat bahwa frustasi pustakawan adalah cerminan dari rusaknya tata kelola.
Jika kelak suatu hari generasi selanjutnya bertanya, “Mengapa perpustakaan sering mangkrak?”, mungkin jawaban paling jujur ialah karena kita terlalu sibuk menjaga citra, atau dijawab saja, “Ya namanya juga proyek pemerintah”. Ups.
