Pemberian gelar pahlawan merupakan bentuk penghormatan tertinggi dari negara kepada individu yang dianggap memiliki kontribusi luar biasa terhadap bangsa dan negara, baik melalui gagasan, perjuangan, maupun tindakan nyata. Gelar ini bukan sekadar simbol kehormatan, melainkan juga pengakuan atas dedikasi dan pengorbanan seseorang dalam membangun negeri. Setiap tahun, menjelang Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November, wacana ini selalu menjadi topik yang menarik diperbincangkan, terlebih ketika muncul nama-nama tokoh besar yang mengundang perdebatan publik.
Tahun 2025, Kementerian Sosial kembali mengajukan sebanyak 40 nama tokoh kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Dari deretan nama itu, muncul sosok-sosok yang sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia mulai dari mantan Presiden Soeharto, Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur), hingga aktivis buruh perempuan Marsinah, serta sejumlah tokoh lainnya. Nama-nama tersebut tentu memiliki rekam jejak panjang dalam perjalanan bangsa, baik dari sisi positif maupun kontroversial.
Namun, yang menjadi sorotan publik setiap kali pembahasan tentang gelar pahlawan muncul adalah nama Soeharto. Mantan presiden ke-2 Republik Indonesia ini selalu menghadirkan polemik. Sebagian kalangan, termasuk aktivis dan partai politik tertentu, menolak keras usulan pemberian gelar pahlawan kepadanya. Alasannya jelas, masih banyak catatan kelam selama masa kepemimpinannya mulai dari pelanggaran hak asasi manusia hingga praktik otoritarianisme yang mengekang kebebasan berpendapat. Banyak pihak menilai bahwa pemberian gelar pahlawan kepada figur yang meninggalkan luka sejarah hanya akan mencederai nilai keadilan dan moral bangsa.
Soeharto memang menjabat selama 32 tahun sebuah rentang kekuasaan yang sangat panjang dalam sejarah republik ini. Di bawah pemerintahannya, pembangunan berjalan pesat, tetapi kebebasan rakyat ditekan. Peristiwa 1998 menjadi bukti bahwa kekuasaan sebesar apa pun bisa runtuh ketika rakyat kehilangan kepercayaan. Luka masa itu masih membekas, dan hingga kini banyak keluarga korban pelanggaran HAM belum benar-benar mendapatkan keadilan. Karena itu, masyarakat wajar mempertanyakan apakah pantas seseorang dengan rekam jejak seperti itu diberi gelar pahlawan?
Negara perlu berhati-hati dalam memberikan gelar kehormatan. Gelar pahlawan seharusnya diberikan kepada mereka yang benar-benar berjuang tanpa pamrih, bukan kepada tokoh yang mungkin masih menyisakan luka dalam memori kolektif bangsa. Jangan sampai penghargaan itu tercederai oleh kepentingan politik. Pahlawan sejati tidak diukur dari kekuasaan atau popularitas, melainkan dari ketulusan perjuangan untuk kemanusiaan dan keadilan.
Guru Pahlawan Tanpa Gelar
Di tengah hiruk-pikuk perdebatan mengenai siapa yang pantas diberi gelar pahlawan, negara seolah lupa bahwa ada sosok-sosok yang setiap hari berjuang membangun bangsa tanpa sorotan kamera, tanpa piagam penghargaan, bahkan sering tanpa penghargaan yang layak. Mereka adalah para guru manusia-manusia sederhana yang menyalakan cahaya pengetahuan di tengah keterbatasan. Mereka mungkin tak memiliki gelar kehormatan, tetapi setiap hari mereka melahirkan para pahlawan masa depan.
Ketika pemerintah sibuk memperdebatkan gelar pahlawan bagi tokoh politik, para guru sedang berjuang menghadapi realitas yang jauh dari kata layak. Banyak guru honorer dan guru madrasah swasta yang harus bertahan hidup dengan gaji minim, bahkan di bawah upah layak. Baru-baru ini, sejumlah guru madrasah menggelar aksi demonstrasi menuntut kesetaraan dan pengangkatan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Tuntutan mereka sederhana ingin dihargai dan diakui sebagai bagian dari perjuangan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ironisnya, semboyan “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” yang sering dikumandangkan di setiap upacara atau peringatan Hari Guru, seolah hanya menjadi jargon yang kehilangan makna. Sebab, bagaimana mungkin seseorang yang disebut pahlawan hidup dalam ketidakpastian ekonomi? Bagaimana mungkin sosok yang disebut “pewaris peradaban” masih harus mencari pekerjaan tambahan demi memenuhi kebutuhan hidupnya?
Banyak guru di pelosok negeri mengajar di sekolah yang jauh dari fasilitas layak. Mereka berjalan kaki berjam-jam, melintasi sungai, mendaki bukit, hanya untuk memastikan anak-anak di desa terpencil tetap bisa belajar. Tidak sedikit pula guru yang menggunakan uang pribadi untuk membeli alat tulis atau memperbaiki kelas karena dana sekolah terbatas. Mereka tak pernah menuntut gelar kehormatan, apalagi penghargaan megah yang mereka harapkan hanyalah keadilan dan perhatian dari negara.
Guru sejati tidak pernah berhenti mengajar, bahkan ketika dunia berubah. Mereka tetap menjadi obor yang menerangi generasi muda dalam kegelapan kebodohan dan ketidakpedulian. Di tangan mereka, nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan empati diajarkan, bukan hanya rumus dan teori. Maka, jika kita bicara tentang siapa yang layak disebut pahlawan, seharusnya tidak perlu mencari jauh-jauh ke masa lalu cukup tengok ruang kelas kecil di sudut kampung, di mana seorang guru sedang menulis masa depan di papan tulis sederhana.
Negeri ini tidak kekurangan pahlawan, hanya saja sering lupa menghargai mereka yang berjuang dalam senyap. Guru tidak butuh gelar “pahlawan nasional”, karena mereka telah menjadi pahlawan sesungguhnya pahlawan yang setiap hari berperang melawan kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial. Mereka mungkin tidak dikenal oleh publik, tetapi di hati murid-muridnya, nama mereka akan selalu dikenang.
Jadi, ketika kita bertanya “siapa yang layak disebut pahlawan?”, mungkin jawabannya sederhana mereka yang tetap berjuang, meski tak pernah diberi gelar.
