Di era modern yang menjunjung tinggi kesetaraan gender, pendidikan untuk perempuan seharusnya bukan lagi sebuah perdebatan. Tetapi di balik kemajuan yang ada, masih tersimpan sebuah paradoks yang kompleks dan seringkali terabaikan, yaitu semakin tinggi pendidikan yang dimiliki perempuan maka semakin besar pula tantangan sosial, budaya, bahkan personal yang harus mereka hadapi.
Perempuan yang berpendidikan tinggi sering dianggap terlalu mandiri, keras kepala, atau bahkan menyaingi laki-laki. Mereka dianggap menyalahi kodrat ketika menolak peran ibu semata.
Di sinilah letak paradoksnya, yaitu masyarakat mendorong perempuan untuk belajar dan maju, tetapi juga menuntut mereka tetap tunduk pada norma lama yang membatasi. Membahas paradoks ini tentu membutuhkan perubahan paradigma yang bukan hanya dari perempuan, tetapi juga dari seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan harus dilihat sebagai hak dasar yang tidak meniadakan pilihan hidup lainnya.
Perempuan terdidik bukan ancaman, melainkan aset bangsa dan keluarga yang dapat membangun peradaban lebih adil dan beradab. Di satu sisi, perempuan didorong untuk mengejar pendidikan tinggi, menjadi cerdas, mandiri, dan berdaya.
Di sisi lain, mereka masih dibelenggu oleh ekspektasi sosial yang mengakar, yaitu harus tetap tahu diri, dan tidak melebihi laki-laki. Inilah paradoks yang dihadapi banyak perempuan terdidik sekarang. Banyak yang menyambut baik perempuan yang sukses secara akademik, tapi tak sedikit pula yang mencibir jika mereka bersuara terlalu lantang, terlalu ambisius, atau yang paling menyakitkan yaitu terlalu pintar untuk dinikahi.
Padahal, pendidikan bukan hanya soal ijazah atau pekerjaan, tapi tentang memperluas cara pandang dan memberi ruang untuk memilih jalan hidup sendiri. Ironisnya, pilihan itu justru seringkali disempitkan oleh tekanan sosial yang tidak berubah seiring waktu.
Sudah saatnya berhenti menyuruh perempuan memilih antara otak dan hati, karier dan keluarga, atau antara mimpi dan norma. Pendidikan perempuan bukan suatu ancaman, ia adalah kekuatan yang jika diberi ruang akan membawa perubahan besar bagi semua.
Pendidikan sering kali dianggap hanya berguna untuk gelar dan pekerjaan bergengsi, padahal esensi sejatinya adalah membangun pola pikir, integritas, dan cara pandang hidup yang lebih baik. Orang yang benar-benar berpendidikan tidak malu bekerja ditempat yang dianggap “biasa”, karena ia tahu nilai manusia diukur dari cara menjalani hidup dengan penuh makna, bukan dari status pekerjaannya.
