Jumat, Oktober 31, 2025

Krisis Konstitusi: Saat Donald Trump Menggunakan Militer di Tanah Amerika

Privatisasi Masalah

Renungan Lagu Kebangsaan

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Dalam lanskap politik Amerika Serikat, ada norma yang tidak tertulis namun sangat dijunjung tinggi: tentara AS tidak boleh dikerahkan ke kota-kota AS. Namun, Presiden Donald Trump dengan berani melanggar konvensi ini. Dengan dalih memerangi kejahatan, ia memerintahkan pengerahan tentara ke kota-kota yang dikuasai Demokrat, seperti Chicago dan Portland.

Langkah ini telah memicu kegemparan dan memecah belah opini publik Amerika, sebuah negara yang sejarahnya dibangun di atas prinsip perlawanan terhadap tirani. Ide untuk mengerahkan tentara ke tanah sendiri, di tengah-tengah rakyatnya sendiri, adalah hal yang sangat tabu. Jadi, mengapa Trump mengambil tindakan drastis ini dan apa dampaknya?

Angkatan Darat AS, yang terbiasa bertempur di medan perang global, dari parit Perang Dunia I dan Perang Dunia II hingga gurun tandus Irak dan Afghanistan, kini memiliki misi yang sama sekali baru: memerangi kejahatan di jalanan Amerika. Ini adalah peran yang belum pernah mereka emban sebelumnya. Ini memunculkan pertanyaan: apakah pasukan yang dilatih untuk perang dapat dikerahkan untuk menjaga ketertiban sipil? Apakah ini adalah langkah pertama menuju otoritarianisme?

Inti dari strategi baru Donald Trump adalah Garda Nasional, pasukan cadangan yang biasanya bertugas di negara bagian masing-masing. Walaupun secara tradisi mereka diaktifkan untuk misi federal atas permintaan negara bagian, Trump menyatakan dia membutuhkan mereka sekarang. Ia telah mengirim pasukan ini ke empat kota besar yang dikuasai Demokrat—Washington, D.C., Los Angeles, Memphis, dan Portland—dengan klaim bahwa kota-kota tersebut dibanjiri oleh kejahatan. Target berikutnya yang diincar adalah Chicago.

Di Chicago, langkah Trump memicu badai protes. Pengerahan pasukan itu terjadi hanya beberapa jam setelah seorang wanita bersenjata menabrakkan mobilnya ke agen imigrasi, yang dijadikan alasan oleh Trump untuk mengirim 300 tentara. Pejabat Demokrat di Illinois langsung menolak keras, menuduh Gedung Putih sengaja menciptakan kekacauan. Hingga saat ini, mereka telah melayangkan sekitar 40 tuntutan hukum terhadap pemerintahan Trump. Gubernur negara bagian bahkan menyebut tindakan ini sebagai upaya untuk menyebarkan kekacauan, yang nantinya bisa digunakan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan Trump.

Para pejabat Demokrat tidak tinggal diam. Gubernur negara bagian Illinois secara tegas menolak tindakan ini, menyebutnya sebagai “pawai menuju otokrasi.” Ia menuduh Donald Trump, bersama dengan tokoh-tokoh seperti Kristi Noem dan Gregory Abbott, sengaja menciptakan kekacauan di kota-kota untuk kemudian menggunakan situasi tersebut sebagai dalih untuk memperkuat kekuasaannya sendiri. Pernyataan ini menunjukkan betapa seriusnya mereka melihat ancaman terhadap demokrasi dan kedaulatan negara bagian.

Tindakan Trump segera memicu pertempuran hukum. Di Chicago, seorang hakim menolak permintaan untuk memblokir pengerahan pasukan, namun memberi peringatan tegas. Hakim tersebut meminta Gedung Putih memberikan penjelasan rinci dan kuat atas keputusannya pada Rabu malam, memperingatkan bahwa jika alasannya dianggap lemah atau tidak berdasar, pengerahan itu bisa saja dibatalkan. Di sisi lain, di Portland, pengadilan berhasil menggagalkan rencana Trump. Seorang hakim di sana menyatakan bahwa klaim Trump tentang kejahatan “tidak didasarkan pada fakta” dan menekankan pentingnya menjaga kedaulatan negara bagian. Akibatnya, pengerahan pasukan ke Portland diblokir.

Namun, Trump tidak menyerah begitu saja. Ia berencana untuk mengajukan banding atas putusan tersebut dan bahkan mengancam akan menggunakan “opsi nuklir”: mengaktifkan Undang-Undang Pemberontakan. Ini adalah langkah ekstrem yang dapat memberinya wewenang untuk mengerahkan pasukan militer kapan pun ia mau, sebuah tindakan yang berpotensi memicu krisis konstitusional yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Ketika ditanya tentang potensi penggunaan Undang-Undang Pemberontakan, Trump memberikan respons yang mengancam: “Jika saya harus memberlakukannya, saya akan melakukannya.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa ia melihat undang-undang yang berasal dari abad ke-19 ini sebagai alat yang sah untuk mengatasi situasi domestik. Undang-undang ini memungkinkan seorang presiden mengerahkan militer di dalam negeri untuk meredam pemberontakan atau kerusuhan, sebuah langkah yang secara luas dianggap sebagai “ladang ranjau hukum dan politik”.

Namun, ancaman Trump tidak berhenti di sana. Ia telah memberikan petunjuk lain yang lebih mengerikan tentang niatnya. Dalam pidatonya di hadapan para jenderal di Virginia, ia menyampaikan gagasan yang mengejutkan: menggunakan kota-kota Amerika sebagai “tempat pelatihan” bagi militer. Ia bahkan secara spesifik menyebut Chicago, kota yang dikuasai Demokrat, dan mengkritik gubernurnya dengan kata-kata kasar: “Itu adalah kota besar dengan gubernur yang tidak kompeten. Gubernur bodoh. Bodoh.” Pernyataan-pernyataan ini tidak hanya menunjukkan eskalasi retorika, tetapi juga mengindikasikan bahwa Trump serius mempertimbangkan penggunaan militer untuk mengontrol situasi di dalam negeri, sebuah ide yang sangat berlawanan dengan prinsip-prinsip pendirian Amerika.

- Advertisement -

Pernyataan Donald Trump ini sangat menyakitkan bagi banyak warga Amerika. Sebagai sebuah bangsa yang didirikan di atas nilai-nilai revolusioner, budaya politik AS selalu menempatkan perlawanan terhadap tirani dan otoritas sebagai prinsip utama. Itulah sebabnya gagasan pengerahan pasukan di tanah airnya sendiri dianggap sebagai “larangan keras”. Tindakan ini menentang fondasi negara itu sendiri.

Meskipun presiden-presiden sebelumnya pernah mengerahkan militer di dalam negeri, mereka melakukannya dalam keadaan khusus—misalnya untuk menenangkan kerusuhan dan biasanya atas permintaan pemerintah negara bagian. Namun, Trump mengambil langkah ini secara sepihak, tanpa persetujuan para pemimpin lokal. Dengan melakukan ini, ia tidak hanya melanggar norma-norma politik, tetapi juga telah memicu krisis hukum dan konstitusional yang berpotensi memiliki dampak jangka panjang pada masa depan demokrasi Amerika.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.