Jumat, Oktober 31, 2025

Privatisasi Masalah

Nasruddin Leu Ata
Nasruddin Leu Ata
Jurnalis, Editor, dan Content Writing.
- Advertisement -

Di zaman ini, barangkali tak ada kata yang lebih sering disamarkan maknanya daripada “tanggung jawab.” Negara, yang dahulu berdiri di atas prinsip kesejahteraan bersama, kini tampak lihai mengubah beban publik menjadi urusan privat. Kemiskinan, pengangguran, akses pendidikan, dan kesehatan.

Semuanya kini didefinisikan bukan lagi sebagai masalah struktural, melainkan sebagai kegagalan individu. Seolah-olah setiap orang lahir dengan peluang yang sama, dan kegagalan seseorang hanya cerminan kurangnya kerja keras.

Kita dibuat percaya bahwa semua masalah bisa diselesaikan di level individu. Kalau kamu stres, berarti kamu kurang bersyukur. Kalau kamu miskin, berarti kamu malas. Kalau kamu tidak bahagia di pekerjaanmu, berarti kamu tidak cukup tangguh. Tak ada yang bertanya, kenapa kita semua begitu lelah? Siapa yang menciptakan sistem kerja yang membuat waktu tidur jadi kemewahan dan hari libur jadi mitos?

Beberapa Catatan Penting

Pertama, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 5,86% pada 2023 dengan kelompok usia muda (15-24 tahun) menyumbang 17,66% dari total pengangguran (BPS, 2023). Studi menunjukkan bahwa pengangguran jangka panjang (>12 bulan) meningkatkan risiko kemiskinan sebesar 3 kali lipat, terutama di daerah perkotaan (Suryahadi et al., 2022).

Kedua, bahwa di Indonesia, 11,2% anak usia 15-18 tahun putus sekolah menengah, dengan disparitas tertinggi terjadi di daerah pedesaan dan kelompok ekonomi bawah (BPS, 2022). Studi menunjukkan bahwa putus sekolah meningkatkan risiko masuk ke pekerjaan informal dengan upah 40% lebih rendah dibandingkan lulusan SMA (Suryadarma et al., 2021).

Ketiga, 35% penduduk Indonesia Timur kesulitan menjangkau fasilitas kesehatan dasar dalam waktu 2 jam, berbanding dengan 15% di Jawa (Kemenkes RI, 2022). Sistem BPJS Kesehatan justru memperlebar ketimpangan karena 25% peserta kelas III kesulitan membayar iuran dan mengakses layanan sekunder (Mahendradhata et al., 2021). Padahal, daerah dengan cakupan BPJS rendah memiliki angka kematian ibu 3 kali lebih tinggi (Dinkes NTB, 2021).

Keempat, survei Komisi Nasional HAM menunjukkan 67% masyarakat miskin perkotaan tidak pernah mengakses bantuan hukum, bahkan dalam kasus penggusuran paksa (Komnas HAM, 2021). Konflik agraria di Sumatera dan Kalimantan memperlihatkan bagaimana ketiadaan legal aid menyebabkan 82% kasus dimenangkan oleh korporasi (Hertanto, 2020).

Membaca ulang situasi semacam ini saya meminjam bahasanya Derrida tentang “il n’y a pas de hors-texte” bahwa tidak ada konteks yang di luar teks, atau tidak ada persoalan sosial di luar stuktural. Maksudnya, tidak ada pemahaman yang bebas dari struktur makna yang membentuknya.

Maka, ketika kita bicara tentang permasalahan sosial—kemiskinan, ketimpangan, atau privatisasi kita sesungguhnya tidak sedang membicarakan sesuatu yang “alami” atau “netral”. Kita sedang menafsirkan realitas yang sudah terlebih dahulu disusun oleh sistem tanda, bahasa kebijakan, dan struktur kekuasaan yang menamai serta mengaturnya.

Michel Foucault pernah menyebut hal ini sebagai biopolitics cara negara dan pasar mengatur kehidupan manusia, bukan dengan paksaan langsung, melainkan dengan menginternalisasi rasa tanggung jawab pribadi. Kita diatur untuk mengatur diri sendiri. Kita diajari untuk berpikir bahwa kebahagiaan dan penderitaan adalah urusan moral, bukan sosial.

- Advertisement -

Negara mundur selangkah, dan pasar masuk untuk menjual solusi dari seminar motivasi, paket mindfulness, hingga aplikasi self care berlangganan. Dengan begitu, orang tak lagi bertanya kenapa tak ada lapangan kerja, tapi justru menyalahkan diri sendiri karena belum cukup “kompetitif.”

Dan ketika orang-orang akhirnya depresi, burnout, atau bahkan memilih mengakhiri hidupnya, reaksi kita selalu sama, “perbanyak olahraga, jalan-jalan, dan perkuat iman.” Tak ada refleksi sosial, tak ada evaluasi struktural. dan inilah bentuk paling telanjang dari privatisasi masalah ketika negara mengubah penderitaan sosial menjadi tanggung jawab pribadi. Ketika sistem yang rusak disembunyikan di balik nasihat-nasihat moral. Ketika rakyat diminta mengobati luka struktural dengan vitamin dan motivasi.

Narasi Neoliberalisme dan Kesadaran

Neoliberalisme tidak hanya menjual barang, ia menjual kesadaran. Ia membuat kita lupa bahwa hidup seharusnya tidak dikelola seperti perusahaan, dan manusia bukan sekadar “sumber daya.” Kelelahan yang kita rasakan hari ini bukanlah kelemahan pribadi, melainkan tanda bahwa kita hidup dalam sistem yang memeras terlalu banyak dari tubuh dan jiwa manusia.

Mungkin, saat seseorang berkata “semua masalah, kembalikan ke hidup anda masing-masing,” kita harus berani menjawab bahwa tidak semua masalah lahir dari diri saya. Sebab sebagian besar justru lahir dari sistem yang tak lagi berpihak pada manusia. Dan selama itu belum diubah, tak ada air putih, liburan, atau afirmasi positif yang bisa benar-benar menyembuhkan kita.

Negara tidak lagi memandang pekerjaan sebagai hak warga, melainkan sebagai hasil “upaya pribadi” di pasar tenaga kerja. Padahal, sebagaimana dikatakan Karl Polanyi dalam The Great Transformation, ketika kerja manusia diperlakukan sebagai komoditas pasar, maka yang rusak bukan hanya ekonomi, tapi juga tatanan sosial.

Hal serupa terjadi di bidang pendidikan. Di bawah logika neoliberal, pendidikan bukan lagi instrumen pemerataan sosial, melainkan investasi individu. Orang tua dipaksa membayar mahal demi “masa depan anaknya,” sementara negara bersembunyi di balik jargon “otonomi kampus” dan “efisiensi anggaran.”

Kesehatan pun diprivatisasi secara halus, melalui sistem asuransi, subsidi silang, dan biaya rumah sakit yang dikemas dalam bahasa “layanan premium.” Ketika seseorang sakit dan tak mampu membayar, narasi yang muncul bukan “negara gagal menjamin kesejahteraan,” tapi “dia tak cukup bijak mengatur keuangannya.”

Inilah paradoks besar neoliberalisme. ketika negara mundur dari tanggung jawab sosial, individu dipaksa menjadi “entrepreneur of the self.” Semua harus dijual: waktu, tenaga, bahkan kesehatan mental. Sistem ini melahirkan generasi yang terus berjuang tapi merasa bersalah karena tak pernah cukup berhasil. Seperti yang dikatakan Byung-Chul Han, masyarakat neoliberal adalah masyarakat “kelelahan,” karena setiap individu menjadi sekaligus buruh dan majikan bagi dirinya sendiri.

Privatisasi masalah sosial ini bukan hanya kebijakan ekonomi, ia adalah proyek ideologis. Ia bekerja dengan cara membentuk kesadaran kita agar berhenti menuntut perubahan struktural. Maka, ketika pengangguran meningkat, kita tak lagi menyoal kebijakan industri, tapi sibuk mencari “motivasi diri.” Ketika biaya kuliah melambung, kita tak menuntut pembiayaan publik, tapi berusaha “lebih adaptif.” Itulah kemenangan terbesar neoliberalisme, ia membuat rakyat berpikir bahwa kegagalan kolektif adalah aib pribadi.

Nasruddin Leu Ata
Nasruddin Leu Ata
Jurnalis, Editor, dan Content Writing.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.