Jam 2 pagi, mata udah perih, tapi tangan masih aja geser layar TikTok sambil bilang, “satu video lagi, deh.” Pernah ngalamin? Selamat datang di fenomena doom scrolling. Dan kalau ditelusuri lebih dalam, biang keroknya sering kali adalah FOMO atau fear of missing out.
Doom scrolling adalah kebiasaan menggulir media sosial atau berita tanpa henti, terutama berita buruk atau informasi negatif, meskipun menimbulkan rasa cemas, stres, bahkan tertekan. Istilah ini populer sejak pandemi COVID-19, ketika orang-orang habiskan waktu berjam-jam menatap layar, membaca update kasus, bencana, atau konflik global.
Awalnya terdengar sepele, hanya sekadar “baca berita” atau “lihat TikTok.” Tapi lama-lama, kita sadar kalau dampaknya nyata yaitu tidur jadi berantakan, pikiran makin penuh, bahkan suasana hati bisa drop tanpa alasan jelas.
Fenomena ini tidak hanya soal rasa ingin tahu, tapi juga didorong oleh algoritma platform digital. Media sosial didesain untuk membuat kita betah berlama-lama. Notifikasi merah yang menyala, video yang autoplay, atau rekomendasi konten “buat kamu” bukan kebetulan. Itu strategi agar kita terus scroll, terus stay, terus terjebak.
The FOMO Trap: Takut Ketinggalan Apa Aja
FOMO awalnya diartikan sebagai ketakutan ketinggalan trend. Tapi sekarang lebih luas yaitu rasa cemas kalau ada sesuatu yang penting sedang terjadi di dunia digital tanpa kita tahu.
Siklusnya sederhana tapi berbahaya. Kita lihat notifikasi → muncul rasa khawatir ketinggalan → buka aplikasi “sebentar” → ujung-ujungnya malah marathon scroll. Satu video bikin penasaran ke video lain, karena kita takut kalau berhenti, justru video berikutnya adalah the one. Tau-tau, jam tidur sudah hancur, pekerjaan atau tugas terbengkalai, dan kita terjebak dalam perasaan kosong.
Otak manusia memang punya kecenderungan alami mencari hal baru, yang disebut novelty bias. Sesuatu yang baru otomatis terasa lebih menarik, meskipun kualitasnya belum tentu lebih baik. Setiap kali scroll, otak dapat “hadiah” kecil berupa dopamin. Sensasi ini bikin kita berharap, “mungkin postingan berikutnya lebih menarik.” Rasanya seperti main tombol refresh berulang kali: menunggu kejutan, padahal seringnya buang waktu.
Trigger FOMO bisa macam-macam: takut ketinggalan berita politik terbaru, penasaran apakah gebetan update story, ingin tahu gosip seleb, atau ikut tren biar gak dibilang out of the loop. Tapi semakin sibuk mengejar semua itu, kita justru kehilangan hal-hal penting di dunia nyata: tidur berkualitas, produktivitas, waktu bersama keluarga, bahkan ketenangan mental.
Dampak Nyata Doom Scrolling pada Gen Z
Fenomena ini semakin serius kalau kita lihat datanya. Menurut laporan We Are Social & Meltwater 2025, orang Indonesia rata-rata menghabiskan 3 jam 6 menit per hari di media sosial salah satu yang tertinggi di dunia. Angka ini meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Penelitian dari American Psychological Association (2023) menemukan bahwa penggunaan media sosial berlebihan berhubungan dengan meningkatnya gejala kecemasan, depresi, dan rasa kesepian, terutama di kalangan remaja dan mahasiswa. Gen Z termasuk kelompok paling rentan, karena media sosial bukan sekadar hiburan, tapi bagian dari identitas sosial.
Survei McKinsey (2022) menunjukkan lebih dari 60% Gen Z merasa perlu selalu “up-to-date” dengan tren agar tidak ketinggalan. Tekanan ini membuat FOMO bukan cuma masalah pribadi, tapi jadi fenomena sosial: ada ketakutan kalau tidak eksis, maka kita dianggap “tidak relevan.”
Kalau dibiarkan, doom scrolling bisa menggerus kualitas hidup. Tidur yang kurang, produktivitas menurun, konsentrasi buyar, bahkan hubungan personal terganggu. Semua itu berdampak domino pada kesehatan mental jangka panjang.
Di sinilah JOMO, joy of missing out, jadi penyelamat. Lawan dari FOMO, JOMO mengajarkan bahwa kita bisa menemukan kebahagiaan justru dengan tidak tahu semua hal. Mindset JOMO sederhana tapi kuat, bukan soal “gue ketinggalan apa ya?,” tapi “apa yang gue dapat kalau berhenti scroll?” Bahkan pertanyaan kecil seperti, “apa penting banget tahu semua orang lagi makan siang apa?” bisa jadi titik balik.
JOMO bukan anti teknologi. Ini tentang menggunakan media sosial dengan sadar, bukan sekadar ikut arus. Kamu masih bisa stay connected, tapi dengan kontrol penuh, bukan karena ketakutan.
Strategi Praktis: Dari Doom ke JOMO
1. Notification Detox: Matikan notifikasi yang tidak penting. Jangan biarkan setiap bunyi HP menguasai pikiran.
2. Pause Before Scroll: Sebelum buka aplikasi, tanya diri sendiri: “saya mau cari apa di sini?” Kalau gak bisa jawab, mungkin tidak perlu buka.
3. Kurasi Feed: Unfollow akun yang bikin insecure atau bad mood. Isi feed dengan konten yang menginspirasi, mendidik, atau bikin bahagia beneran.
4. Batasan Sehat: Stop scroll satu jam sebelum tidur, jangan main HP saat makan, atau tentukan waktu khusus untuk media sosial.
5. Cari Aktivitas Pengganti: Alihkan waktu scrolling ke kegiatan yang lebih bermakna seperti baca buku, olahraga, ngobrol dengan orang terdekat, atau coba hobi baru.
Balance is the Key
Penerapan JOMO bukan berarti harus jadi “hermit digital” yang putus total dari dunia maya. Intinya adalah conscious consumption yaitu menggunakan teknologi dengan niat, bukan refleks. Red flags yang harus diwaspadai termasuk scroll tanpa tujuan jelas, panik kalau gak buka medsos, sering membandingkan hidup dengan unggahan orang lain, begadang demi konten random, atau menunda kerjaan karena asyik di feed. Sebaliknya, tanda JOMO berhasil antara lain bisa menikmati momen tanpa harus posting, tidur lebih nyenyak, fokus pada tujuan pribadi, hubungan lebih hangat, dan mental lebih stabil.
FOMO vs JOMO bukan sekadar istilah keren, tapi pertarungan nyata buat kesejahteraan kita. Setiap kali kamu memilih JOMO, artinya kamu memilih ketenangan dibanding kecemasan, kesadaran dibanding kebiasaan otomatis.
Kamu tidak akan benar-benar kehilangan hal penting. Tapi kamu bisa kehilangan hidupmu sendiri kalau terus tenggelam di layar. So, next time kalo jari gatal mau scroll tanpa henti, berhenti sejenak. Tarik napas, Tanyakan ke diri sendiri “Apakah ini benar-benar bermanfaat, atau saya cuma jadi budak algoritma?” Letakkan ponsel satu jam saja, dan rasakan bedanya. You might surprise yourself.
Penulis adalah mahasiswa Universitas Airlangga yang peduli pada isu kesehatan digital di kalangan Gen Z.
Daftar Pustaka
• American Psychological Association. (2023). Social media and mental health: Understanding the impact on teens. Diakses dari: https://www.apa.org
• McKinsey & Company. (2022). True Gen: Generation Z and its implications for companies.
• We Are Social & Meltwater. (2025). Digital 2025: Global Overview Report. Diakses dari: https://datareportal.com
• Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo). (2023). Literasi Digital Nasional