Rabu, Oktober 1, 2025

Gizi, Pendidikan, dan Masa Depan Anak Bangsa

Lukis Alam
Lukis Alam
Merampungkan kuliah, dari jenjang Sarjana hingga Doktoral. Sesekali mengikuti shortcourse di luar negeri. Tulisan, pemikiran dan hasil riset sebagian dipublikasikan dalam berbagai jurnal dan media.
- Advertisement -

Pendidikan dan Kehadiran Negara

Pendidikan sejak lama dipandang sebagai fondasi utama pembangunan bangsa. Ia tidak hanya dimaknai sebagai ruang untuk mentransfer pengetahuan, melainkan sebagai proses membentuk manusia yang utuh: individu yang kritis, peka terhadap realitas sosial, dan berpegang pada nilai integritas. Melalui pendidikan, bangsa membangun karakter, menumbuhkan daya saing, serta menyiapkan generasi menghadapi tantangan global. Namun, cita-cita itu masih jauh dari sempurna. Di Indonesia, akses dan kualitas pendidikan sering kali terhambat oleh kesenjangan sosial-ekonomi, sehingga tidak semua anak memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang.

Dalam lanskap inilah Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi relevan, bukan sebagai kebijakan yang lahir dari janji politik semata, melainkan sebagai jawaban atas kebutuhan mendasar yang sering diabaikan. Anak-anak yang datang ke sekolah dengan perut lapar mustahil dapat belajar secara optimal. Karena itu, MBG seharusnya dilihat sebagai intervensi struktural untuk memperkecil jurang ketimpangan, bukan sekadar program karitatif. Nilai pentingnya terletak pada upaya menjadikan ruang kelas sebagai tempat yang lebih adil: di sana, anak dari latar belakang mana pun bisa mengawali hari dengan tubuh sehat dan pikiran siap belajar. Dengan begitu, pendidikan tidak hanya berbicara tentang kurikulum, metode, atau infrastruktur, melainkan tentang kondisi dasar yang menjamin keberhasilan proses belajar itu sendiri.

Gizi dan Akses Pendidikan yang Adil

Hubungan gizi, tubuh, dan pikiran adalah fondasi yang tidak dapat dipisahkan. Anak yang datang ke sekolah dalam kondisi lapar sulit berkonsentrasi, cepat lelah, dan berisiko tertinggal dalam pelajaran. Tubuh yang rapuh tidak hanya menurunkan kemampuan menyerap pengetahuan, tetapi juga mengikis semangat belajar serta menghambat perkembangan potensi jangka panjang.

Sejumlah penelitian internasional menegaskan bahwa intervensi gizi di sekolah berpengaruh langsung terhadap kehadiran, partisipasi, dan pencapaian akademik. Anak-anak yang mendapatkan makanan bergizi cenderung lebih termotivasi, jarang absen, serta memiliki kesehatan lebih stabil. Artinya, gizi bukanlah faktor tambahan, melainkan syarat mendasar agar pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana pencerdasan.

Di Indonesia, perbaikan mulai terlihat meski masalah belum sepenuhnya teratasi. UNICEF bersama Kementerian Kesehatan RI melalui Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 mencatat prevalensi stunting balita turun menjadi 19,8 persen, atau berkurang 1,7 poin dibandingkan tahun sebelumnya (21,5 persen pada 2023). Capaian ini memberi harapan, namun juga menjadi pengingat bahwa hampir satu dari lima anak masih mengalami hambatan pertumbuhan yang berpengaruh terhadap kemampuan belajar mereka.

Integrasi survei kesehatan nasional—yang kini menyatukan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) dan SSGI—memperkuat basis bukti bagi perumusan kebijakan. Meski demikian, kualitas implementasi di lapangan tetap memerlukan pengawasan ketat agar hasil tidak berhenti sebatas angka. Fakta ini menegaskan bahwa pemenuhan gizi adalah inti pembangunan manusia, bukan program pinggiran.

Dalam kerangka tersebut, MBG (Makan Bergizi Gratis) hadir bukan sekadar rutinitas distribusi makanan, melainkan strategi yang menghubungkan kebutuhan dasar anak dengan keberhasilan pendidikan. Namun, urgensi ini harus disikapi secara kritis. Mutu gizi, tata kelola yang bersih, dan keberlanjutan di luar siklus politik merupakan tantangan nyata yang tidak boleh diabaikan.

Anak memang membutuhkan jaminan gizi untuk bisa belajar sehat dan berpikir jernih. Tetapi keberhasilan program ini hanya bisa diukur jika ia benar-benar mempersempit ketimpangan sosial dan membuka akses setara bagi semua anak—bukan sekadar menambah daftar kebijakan populis.

MBG: Prioritas dan Pelajaran Regional

Pendidikan kerap dipuji sebagai tangga sosial yang memungkinkan anak dari berbagai latar belakang meniti jalan menuju kehidupan yang lebih baik. Namun, tangga itu sering kali tidak berdiri kokoh; bagi sebagian anak, ia rapuh, miring, bahkan patah. Jurang ekonomi membuat akses pendidikan tidak sama: anak dari keluarga berada lebih mudah memperoleh fasilitas lengkap, sementara anak dari keluarga miskin harus berjuang keras untuk sekadar bertahan. Dalam kondisi ini, MBG menjadi relevan bukan karena daya tarik politiknya, tetapi karena ia menyentuh akar ketidaksetaraan. Simbol kesetaraan terlihat sederhana—anak petani dan anak pejabat duduk bersama menikmati makanan bergizi—namun maknanya begitu dalam.

Urgensi MBG tak boleh dipahami secara dangkal. Gizi adalah syarat paling mendasar agar proses belajar berjalan efektif. Anak yang berangkat ke sekolah dengan perut kosong kehilangan konsentrasi, energi, bahkan kesempatan berkembang. Riset internasional konsisten menunjukkan bahwa program makan bergizi di sekolah meningkatkan kehadiran, memperbaiki capaian akademik, sekaligus mempersempit kesenjangan sosial. Keberhasilan pendidikan tidak bisa diukur hanya dari kurikulum atau metode pengajaran, tetapi juga dari sejauh mana sistem mampu memastikan anak datang ke kelas dengan tubuh sehat dan pikiran siap belajar.

- Advertisement -

Meski demikian, pengalaman Asia memberi pelajaran berharga. Mid-Day Meal Scheme berhasil menekan angka putus sekolah dan meningkatkan kehadiran siswa, namun kualitas gizi dan aspek kebersihan sering dipersoalkan. Bangladesh melalui School Feeding Programme mampu meningkatkan motivasi belajar dan mengurangi kelaparan, tetapi ketergantungan pada donor menjadikannya rentan. Di Filipina, School-Based Feeding Program memberi dampak positif terhadap status gizi anak, tetapi distribusi yang tidak merata dan keterbatasan anggaran membatasi efektivitasnya. Dari pengalaman ini, jelas bahwa keberhasilan program makan bergizi tidak bergantung pada slogan, melainkan pada konsistensi anggaran, pengawasan ketat, serta keberanian menempatkan kepentingan anak sebagai pusat kebijakan. Indonesia harus belajar dari sini agar MBG tidak terjebak sebagai proyek jangka pendek yang sibuk membangun citra, tetapi gagal mempersempit ketimpangan nyata.

Tata Kelola dan Mutu Gizi dalam MBG

Di atas kertas, MBG tampak menjanjikan, tetapi pelaksanaannya penuh tantangan. Skala program yang sangat besar melibatkan jutaan anak, ribuan sekolah, dan ratusan ribu tenaga pendukung setiap hari. Tata kelola yang rapi adalah syarat mutlak: distribusi harus transparan, dapur memenuhi standar higienis, rantai dingin terjaga, dan audit independen dilakukan rutin. Tanpa pengawasan ketat, potensi penyalahgunaan anggaran atau penurunan mutu makanan dapat mencederai tujuan program. Kasus keracunan pangan yang pernah terjadi di beberapa daerah menjadi peringatan serius: keselamatan anak adalah garis merah yang tidak boleh dilanggar. Insiden semacam itu seharusnya mendorong penguatan sistem pengawasan, deteksi dini, dan prosedur penarikan pangan bermasalah yang cepat, bukan melemahkan program itu sendiri.

Selain itu, kualitas gizi yang diberikan harus menjadi prioritas utama. MBG tidak boleh berhenti pada “makanan pengenyang” yang miskin nutrisi. Menu perlu disusun dengan melibatkan ahli gizi, sehingga sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang anak. Lebih dari itu, program ini sebaiknya disertai pendidikan gizi. Anak perlu memahami mengapa tubuh mereka membutuhkan protein, vitamin, mineral, dan karbohidrat. Dengan demikian, MBG bukan hanya mengisi perut, melainkan membentuk kesadaran kolektif tentang pentingnya pola makan sehat sebagai bagian dari pendidikan.

Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Politik MBG

Makna MBG melampaui urusan makan di sekolah. Program ini bisa menjadi simpul ekosistem pangan lokal yang saling menguatkan. Sayuran dari petani, ikan dari nelayan, dan telur dari peternak setempat dapat menjadi bahan utama menu harian. Rantai pasok yang dekat bukan hanya menjaga kesegaran gizi dan menekan biaya, tetapi juga menghidupkan ekonomi desa. Dengan demikian, manfaat program menjangkau lebih luas: anak-anak tumbuh sehat, sementara masyarakat sekitar ikut merasakan dampak ekonomi. Pada saat yang sama, kegiatan makan bersama menumbuhkan solidaritas, empati, dan gotong royong—nilai yang tak kalah penting dari capaian akademik.

Dari perspektif sosial, tubuh anak bisa dibaca sebagai cermin struktur masyarakat. Tubuh yang lapar mencerminkan ketidakadilan, sedangkan tubuh yang sehat merepresentasikan perlawanan terhadap kesenjangan. Pendidikan yang mengabaikan gizi sejatinya adalah pendidikan timpang: otak dipaksa bekerja sementara tubuh dibiarkan rapuh. MBG berupaya menghapus ketimpangan itu, menyatukan tubuh dan pikiran, sekaligus memperlihatkan bagaimana intervensi negara bisa menjadi sarana menegakkan keadilan sosial sejak dini.

Namun, program sebesar ini rentan politisasi. Slogan “makan gratis” mudah dipakai sebagai komoditas politik, sementara kualitas gizi, keselamatan, dan keberlanjutan anggaran kerap terpinggirkan. Karena itu, pengawasan publik menjadi kunci. Transparansi laporan, keterbukaan data mutu, hingga kanal pengaduan yang mudah diakses harus diperkuat. Keterlibatan masyarakat sipil dan akademisi sebagai pengawas independen sangat penting agar MBG tidak terjebak menjadi alat retorika politik, tetapi benar-benar berfungsi sebagai kebijakan berbasis bukti.

Lukis Alam
Lukis Alam
Merampungkan kuliah, dari jenjang Sarjana hingga Doktoral. Sesekali mengikuti shortcourse di luar negeri. Tulisan, pemikiran dan hasil riset sebagian dipublikasikan dalam berbagai jurnal dan media.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.