Siapa yang tak kenal Che Guevara? Tokoh revolusioner yang melegenda di daratan Kuba. Sebagai laki-laki yang lahir di Argentina, ia tidak langsung memahami makna realitas, termasuk dalam hal politik. Ia hanya memandang perubahan sebagai antitesis dari perdamaian. Pemikirannya berubah menjadi semangat dalam memahami dunia. Ia pun melintasi berbagai benua.
Che menyaksikan petani hidup di desa yang indah namun kesusahan. Che mengunjungi lokasi penambangan di Chili, yang didominasi oleh imperialisme Amerika Serikat (AS), lalu mempertanyakan jumlah korban akibat eksploitasi. Ia melewati Peru dan menemui wajah-wajah orang yang ketakutan, tersingkir, dan tertindas. Polisi berkeliaran membawa senapan. Kemiskinan menimpa wilayah itu.
Che juga sempat tiba di Venezuela yang sedang menghadapi kudeta militer (1953) oleh Gustavo Rojas. Tidak hanya itu, Che berhadapan dengan situasi revolusi dari proletariat di Bolivia. Pemikiran orang-orang yang ditemui Che, memperkuat rasa ingin tahunya dan menegaskan posisi barisan ia berada, apakah rakyat kecil atau diktator militer Fulgencio Batista.
Boleh dikata, Che memiliki kemampuan dalam pergerakan. Keistimewaan yang sama dimiliki tiap-tiap generasi untuk mengerti kebutuhan perubahan. Arahnya jelas, yaitu yang paling mendekati kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan. Sebuah ajang untuk memahami rezim bekerja. Rakyat mempertajam pemahaman konsep bernegara dan terlibat aktif dalam berpolitik.
Menyoalkan politik, ada tiga unsur yang disebut sistem, struktur, dan kultur. Sistem ada karena kebutuhan keteraturan. Rakyat menjadi basis. Kedaulatan berada di tangan mereka. Elite politik sebagai “pesuruh rakyat”. Dalam teori dan praktik, dominasi elite politik tidak diperbolehkan. Sebab Indonesia menganut sistem demokrasi, maka hal-hal yang meniadakan atau mengerdilkan landasan sistem bernegara itu, harus digugat. Kultur berkaitan dengan etika serta moral standing yang mengikat.
Paulo Freire dalam Pedagogy of The Oppressed mengingatkan seseorang agar menjadi intelektual otentik yang melawan godaan intelektual populis. Artinya, kejelasan posisi yang membebaskan diri dari penindasan, etika jahat, kesadaran palsu, bahkan “budaya diam”. Paulo Freire juga menolak sistem “pendidikan ala bank”. Konsep yang menganggap manusia mudah disesuaikan dan diatur sedemikian rupa. Jika elite politik kita membatasi otoritas berpikir dan tindakan dari rakyatnya, itu sama saja mereka menciptakan kelompok tertindas.
Tentu rakyat tidak ingin mengikuti jejak Napoleon di peternakan Manor. Sebuah kisah seekor babi dalam buku Animal Farm karya George Orwell. Mulanya, Napoleon dan Snowball bergerak bersama untuk membebaskan hewan dari tirani manusia. Semua hewan setara sampai akhirnya Napoleon menjadi diktator, menyingkirkan Snowball dan memanfaatkan anjing-anjing sebagai kekuatan militer. Mereka menggeram sehingga hewan-hewan lain takut dan menjadi kelompok subordinat, posisi yang hanya tunduk pada kepemimpinan. Tujuan bergerilya awal berganti arah menjadi kepentingan pribadi dan kelompok elite.
Lalu, bagaimana sipil mengambil peran? Pertama, sifat mendidik/membimbing (pedagogis) dalam berpikir harus kita pertahankan. Sekecil apapun bentuk partisipasi. Membaca, menulis, mendengarkan, melihat, menyiarkan, melaporkan, mendukung, menolak, dan lain-lain. Semuanya adalah bentuk-bentuk usaha yang bisa kita dimaksimalkan. Reaksi menjadi aksi. Aksi melahirkan kekuatan. Tidak ada kekuatan yang lebih besar jika tidak dimulai dari yang kecil.
Kedua, sama hal dengan kisah Che Guevara, gelombang kesadaran politik kita adalah pintu gerbang revolusi. Memperkuat eksistensi manusia yang lebih dari sekadar rutinitas. Tumbuh beriringan mengawal konstitusi. Sebuah negara, meski tidak selalu ideal, memihak pada kepentingan rakyatnya. Terdengar klise namun sulit dalam praktik, prinsip-prinsip itu sebenarnya telah tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, kita sering mendengarnya dengan istilah “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Ketiga, niat yang baik tidak pernah menjadi salah. Namun itu bisa menjadi kurang tepat jika tidak diikuti dengan tanggung jawab dan tindakan bijak. Dalam memproses situasi dan kondisi, niat itu jadi landasan utama. Seorang pelaku dalam persidangan, akan dipertimbangkan soal deliknya, ada atau tidak ada niat jahatnya (mens rea). Maka hukuman yang diberikan akan berbeda pula. Niat baik akan membawa rakyat lebih mawas diri. Mengencangkan standar kehati-hatian (duty of care) pada dirinya serta orang-orang sekitar.
Demikian, ini waktu yang tepat. Rakyat memihak kepada revolusi berpikir yang bebas dari dogma apapun. Tidak kepada perseorangan, kelompok, jabatan kekuasaan, maupun kelembagaan apalagi buzzer media sosial. Rakyat menuju kesadaran yang kritis (critical consciousness), idealisme mempertanyakan, tabayun, mengoreksi narasi dan tindakan, serta menjaga nilai luhur kebaikan.