Senin, Oktober 6, 2025

Plastik di Piring Kita: Ancaman yang Tak Kasat Mata

Muhamad Dio Fadilah
Muhamad Dio Fadilah
Mahasiswa Program Magister, Departemen Teknik Lingkungan, Universitas Andalas, Padang
- Advertisement -

Pernahkah terpikir bahwa saat menyantap ikan bakar atau kerang rebus, ada “bahan tambahan” tak terlihat yang ikut masuk ke tubuh kita? Bukan bumbu rahasia, melainkan butiran mikroplastik. Partikel kecil hasil pecahan plastik ini kini menjadi masalah serius, bukan hanya bagi laut, tapi juga bagi kesehatan manusia.

Sejak 1950-an, produksi plastik melonjak drastis dari 2 juta ton menjadi lebih dari 380 juta ton per tahun. Sayangnya, hanya sekitar 9% yang didaur ulang. Sisanya menumpuk di TPA, terbawa angin ke sungai, lalu hanyut ke laut. Diperkirakan 8 juta ton plastik masuk ke lautan setiap tahun (Cverenkárová et al., 2021). Seiring waktu, plastik-plastik itu pecah menjadi serpihan mikroskopis yang kita kenal sebagai mikroplastik.

Masalahnya, mikroplastik bukan sekadar “sampah kecil”. Mereka bisa menyerap zat berbahaya seperti logam berat, pestisida, hingga bakteri patogen. Begitu dimakan plankton, plastik itu masuk ke ikan kecil, lalu ke ikan besar, hingga akhirnya ke meja makan kita. Proses inilah yang disebut bioakumulasi. Singkatnya, plastik yang kita buang bisa kembali ke tubuh kita lewat makanan.

Kerang dan tiram adalah contoh paling nyata. Karena dimakan utuh, termasuk saluran pencernaannya, kita ikut menelan mikroplastik yang ada di dalamnya. Sebuah penelitian menemukan rata-rata 0,36 partikel mikroplastik per gram daging kerang biru (Mytilus edulis) dan 0,47 partikel per gram pada tiram Jepang (Crassostrea gigas), yang berarti orang Eropa bisa menelan hingga 11.000 partikel mikroplastik per tahun hanya dari seafood (Cverenkárová et al., 2021).

Yang mengejutkan, produk yang kita anggap steril pun tak luput. Studi internasional terhadap 259 sampel air mineral kemasan dari berbagai negara menemukan rata-rata 325 partikel mikroplastik per liter, dengan jumlah jauh lebih tinggi pada botol plastik dibandingkan botol kaca atau karton (Cverenkárová et al., 2021). Beberapa merek bir, madu, dan gula juga terbukti mengandung serat-serat plastik halus. Artinya, tanpa sadar, kita menelan plastik hampir setiap hari.

Lalu, apa dampaknya bagi kesehatan? Jawabannya masih diteliti. Tapi indikasi awal cukup mengkhawatirkan. Mikroplastik bisa menyebabkan peradangan usus, membawa bahan kimia berbahaya seperti bisfenol A, bahkan menjadi “kendaraan” bagi bakteri patogen. Partikel yang sangat kecil (nanoplastik) diduga mampu menembus dinding usus, masuk ke aliran darah, bahkan menembus plasenta ibu hamil. Pada 2021, untuk pertama kalinya ilmuwan menemukan fragmen mikroplastik berukuran 5–10 µm di dalam plasenta manusia (Cverenkárová et al., 2021). Fakta ini membuat pertanyaan sederhana: sampai kapan kita mau menunggu bukti yang lebih fatal?

Apakah solusinya berhenti makan ikan atau kerang? Tentu tidak sesederhana itu. Laut hanyalah salah satu sumber plastik yang kita konsumsi. Polusi udara, kemasan makanan, hingga air minum juga berperan. Masalah utamanya ada pada pola hidup dan sistem pengelolaan plastik yang masih buruk.

Sebagai masyarakat, kita bisa mulai dari langkah sederhana: mengurangi plastik sekali pakai. Membawa tas belanja sendiri, memakai botol minum isi ulang, atau memilih produk dengan kemasan ramah lingkungan. Tugas pemerintah dan industri lebih besar lagi, dari regulasi ketat soal produksi plastik, investasi teknologi daur ulang, hingga riset bahan pengganti yang lebih aman. Negara-negara maju sudah melarang microbeads di kosmetik, Indonesia pun harus berani melangkah lebih jauh.

Namun, kunci terpenting adalah kesadaran publik. Masalah mikroplastik ini sering dianggap sepele karena tak terlihat. Padahal, yang tak terlihat justru berbahaya. Sama seperti polusi udara, mikroplastik menyusup diam-diam ke tubuh kita. Jika dibiarkan, generasi mendatang bisa lahir dengan tubuh yang sudah tercemar sejak dalam kandungan. Bukankah ini alarm yang seharusnya membangunkan kita semua?

Kita memang tak bisa sepenuhnya lepas dari plastik. Tapi kita bisa memilih untuk tidak memperparah masalah. Setiap botol sekali pakai yang kita tolak, setiap kantong plastik yang kita ganti dengan tas kain, adalah langkah kecil menuju masa depan yang lebih sehat. Jadi, saat menatap ikan goreng di piring, ingatlah: mungkin ada “bumbu tak kasat mata” yang ikut tersaji. Pertanyaannya, apakah kita rela terus menelannya?

- Advertisement -

Catatan:

Artikel ini merujuk pada : Cverenkárová, K., Valachovičová, M., Mackul’ak, T., Žemlička, L., & Bírošová, L. (2021). Microplastics in the Food Chain. Life, 11(12), 1349. https://doi.org/10.3390/life11121349

Muhamad Dio Fadilah
Muhamad Dio Fadilah
Mahasiswa Program Magister, Departemen Teknik Lingkungan, Universitas Andalas, Padang
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.