Berdialog mengenai isu kesetaraan gender tentu masih sangat eksis hingga saat ini. Tak bisa dipungkiri, sebab biang keladi permasalahan memang seringkali ditemukan dan dirasakan secara universal tanpa memandang waktu. Hingga kini, kemajuan telah memicu banyak orang untuk semakin berani menentang norma ketidakadilan sosial.
Hitunglah sekian kali kita dijumpai oleh berbagai berita demonstrasi masyarakat tentang isu ini, terlebih di era modern layaknya sekarang yang membuat mudah budaya demokrasi. Diantara perdebatan dua sisi yang seakan tiada akhir, acapkali argumen kembali disangkut pautkan pada topik berbasis agama, salah satunya membahas Islam.
Memetik relasi Islam dan isu gender adalah seperti dua hal yang berkontradiksi, inilah stigma yang lahir dari ketidaktahuan sebagian pihak, sehingga menciptakan ruang yang sensitif sekaligus dipandang tabu untuk dibahas secara eksplisit oleh sebagian masyarakat Indonesia. Pernyataan tentang Islam sebagai agama patriarkis yang mengajarkan seni diskriminasi terus menghiasi media massa tanpa henti. Namun, yang sungguh jarang dan perlu ditemukan, justru adalah pertanyaan tentang mengapa dan bagaimana pernyataan itu dapat senantiasa terbentuk.
Jikalau hendak menemukan jawaban, maka perlu adanya analisis mengenai permasalahan yang telah disebutkan, yakni stigma kalau islam merupakan agama patriarkal. Pemikiran ini terwakil atas pertanyaan paling fundamental: Apakah laki-laki dan perempuan setara?
Dikutip dari Caplan dalam Prakoso (2024), ia menegaskan bahwa gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain dari struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses social dan cultural. Di sisi lain, jika melirik konteks biologis maka usai dipastikan bahwa laki-laki dan perempuan tentu memiliki perbedaan susunan fisik.
Pembagian dari perbedaan ini memperkenalkan supremasi peran laki-laki sebagai konsep awam yang tak bisa dibantahkan, konsep yang muncul dalam berbagai aspek kemanusiaan termasuk eksistensi agama itu sendiri. Seiring berjalannya waktu, konstruksi sosial inilah yang menjadi cikal bakal pemikiran patriarki di berbagai belahan dunia.
Akan tetapi, kita perlu meninjau kembali pertanyaan yang telah diutarakan, sebab pertanyaan tersebut bersifat sangat general dan kontekstual jika melirik keterangan sebelumnya. Supaya pertanyaan bisa berdiri lebih kokoh, penyusunan ulang akan berbunyi: Apakah laki-laki dan perempuan memiliki hak yang setara?
Kilas balik membahas agama, diskriminasi kaum perempuan tidak pernah tersirat dalam Islam, sebab Islam merupakan agama yang mutlak mempromosikan keadilan. Fakta ini berakar pada sifat dan firman Tuhan yang Ilahi, dan khususnya berangkat dari sejumlah besar ayat Al-Qur’an dan sabda Nabi (Al-Khatib, 2023). Lalu mengapa kata patriarki kadangkala diutarakan Bersama nama-Nya? pemikiran ini dipengaruhi atas beberapa problematika, contohnya:
1. Pernikahan Di Bawah Umur
Tak terkecuali, Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 32 bahwa menikah sangat dianjurkan bagi seorang Muslim. Akan tetapi pernikahan dalam islam juga kerap dijatuhkan kontroversi, umumnya mengenai usia perempuan dalam menikah. Padahal jika meninjau syariat islam, Nabi Muhammad SAW telah bersabda: “Jangan engkau nikahkan seorang perawan hingga ia mau (ridha)”
2. Poligami
Al Quran Surat An-Nisa Ayat 3 menyatakan: “Dan Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Berbanding terbalik dengan apa yang menjadi dugaan, poligami dalam Islam datang dari niat yang mulia. Dahulu, tidak ada batasan yang diterapkan mengenai kedudukan perempuan, itulah di mana kita dikenali budaya selir ataupun banyaknya jumlah istri seorang pria. Kemudian Islam hadir untuk memberikan arahan sekaligus syarat-syarat dalam mengatasi permasalahan tersebut, seperti: jumlah istri yang dibatasi dan perlakuan sang suami yang harus bijak seraya adil.
3. Hak Waris
Berkaca dalam surat An-Nisa’ ayat 11, 12, dan 176, telah diartikan bahwa harta warisan harus didistribusikan dengan adil sesuai dengan hubungan keluarga dan tingkat ketergantungan. Perempuan dalam hal ini mendapatkan warisan dengan jumlah yang lebih rendah, yang didasari oleh peran laki-laki sebagai pemimpin pernikahan yang memiliki kewajiban dalam menafkahi keluarga-nya.
Setelah membahas sekian problematika gender yang mengitari agama islam, telah dibuktikan bahwa agama Islam memang ditulis menyusun peran berdasarkan jenis kelamin. Namun kesalahpahaman rawan timbul, khususnya membahas pandangan Islam terhadap kedudukan Laki-laki; seakan lebih tinggi bahkan bersifat male-centered. Terlebih, pemikiran tersebut mampu disangkal ketika menilik peran laki-laki dan perempuan yang sepenuhnya diwakilkan melalui dinamika sebuah Keluarga.
Laki-laki ialah seorang pemimpin yang bertugas melindungi dan menghidupi keluarganya. Sedangkan perempuan adalah seorang pendamping yang setia membantu pemimpin (suaminya). Menurut Munir dalam Al-Khatib (2023), pembagian ini bersifat saling melengkapi, bukan preferensial. Kedua peran yang telah diberikan datang dari kebijaksanaan Allah SWT dan selaras dengan fitrah yang mengikutinya.
Kita usai mendapat bahwasanya Islam tidak pernah menolak kesetaraan, melainkan mengatur peran secara adil sesuai fitrah. Sehingga tantangan kita saat ini adalah untuk menerjemahkan prinsip itu dalam realitas sosial modern.
Guna menutupi pembahasan, adakala dibutuhkan refleksi dengan Al-Quran Surat An-Nisa Ayat 124, yang berbunyi “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal salih, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun”.