Salah satu dilema Negara Indonesia saat ini adalah pengeluaran APBN lebih besar dari pendapatan (defisit). Sri Mulyani mengumumkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai dengan Februari 2025 mengalami defisit Rp 31,2 triliun atau sebesar 0,13% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Adapun permasalahan ini menjadi tantangan Pemerintah untuk menemukan solusi anggaran APBN unutk menjadi sehat kembali. Defisitnya APBN 2025 ini seharusnya tidak terjadi karena akan menjadi isu yang kurang baik bagi perekonomian negara. Tentunya dengan defisitnya APBN 2025 akan semakin menambah beban utang negara, menurunkan kepercayaan investor, meningkatkan tekanan pada keberlanjutan fiskal, serta meningkatkan pendanaan bagi pemerintah di masa yang akan datang.
Berdasarkan permasalahan di atas, Pemerintah mulai mencari solusi untuk meningkatkan pendapatan negara, salah satunya menggunakan cara konvensional lagi, yaitu dengan cara pajak. Berdasarkan dokumen Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2026 bahwa Pemerintah akan mencari alternatif lain dari aktivitas ekonomi yang selama ini tidak tersentuh oleh pajak, atau yang lebih dikenal dengan shadow economy.
Bahkan Pemerintah telah memiliki komitmen untuk memajaki sektor usaha yang menjadi lumbung pekerja informal, seperti pegadang eceran, pedagang kaki lima, warung makan, serta makanan dan minuman yang tidak memberikan kontribusi pendapatan ke negara. Adapun upaya ini telah diutarakan oleh Sri Mulyani dalam kebijakannya untuk memajaki shadow economy, seperti telah menyusun kajian pengukuran dan pemetaan pekerja informal, dan penyusunan Comliance Improvement Program (CIP), serta analisis intelejen dalam upaya mendukung penegakan hukum terhadap wajib pajak yang berisiko tinggi. Hal ini dilakukannya untuk mengejar setoran pajak pada tahun 2026 sebesar Rp. 2.357,71 triliun tanpa harus menaikkan tarif pajak apapun, seperti dikutip dari lama cnbcindonesia.com pada tanggal 19 Agustus 2025 (Rachman, 2025).
Ekonomi bayangan atau yang biasa disebut dengan shadow economy, atau informal economy, memiliki definisi sebagai kegiatan ekonomi yang bukan hanya terkait kegiatan legal yang tidak terdaftar sebagai profesi dan diatur negara, melainkan juga pendapatan dari kegiatan legal yang tidak dilaporkan sehingga terhindar dari perhitungan pajak (Schneider & Enste, 2002).
Para ekonom sering menyebut shadow economy atau ekonomi bayangan sebagai “hantu”. Bagaimana tidak, para pelaku kegiatan ekonomi ini secara resmi tidak tersentuh oleh Pemerintah, namun mereka ada, nyata, besar, dan berada di sekitar kita. Aktivitas ekonomi ini dimulai dengan pedagang kaki lima, jasa informal, sampai transaksi online tanpa laporan. Di Indonesia sendiri, sektor usaha ini diperkirakan sangat besar, sehingga menjadi potensi penerimaan pajak yang luar biasa. Pertanyaannya, apakah dengan memajaki aktivitas ekonomi ini, akan meningkatkan pendapatan negara secara signifikan?
Secara logika, jawabannya adalah iya. Dengan memajaki jutaan pelaku ekonomi yang selama ini tidak tercatat tentu akan memperluas basis pajak. Pemasukan negara akan meningkat, mengingat rasio pajak Indonesia yang sempit dibandingkan dengan negara lain.
Namun, faktanya tidak sesimpel itu. Banyak masyarakat masuk ke ekonomi bayangan bukan untuk menghindari pajak, melainkan karena tidak ada pilihan lain untuk sumber pemasukan mereka. Sektor-sektor seperti usaha kecil tanpa izin, pekerja lepas, atau pedagang tradisonal membuat mereka tidak memiliki pilihan lain untuk menjadi pekerja informal. Apabila mereka dipaksa untuk membayar pajak terhadap aktivitas perekonomian yang mereka lakukan tanpa adanya insentif atau dukungan dari berbagai pihak, maka akan mematikan usaha kecil.
Oleh karena itu, kunci sebenarnya bukan sekedar “memajaki”, melainkan ada upaya-upaya tertentu untuk menginformasikan. Hal ini penting dilakukan Pemerintah dengan cara mempermudah akses untuk masuk ke sektor formal secara mudah dan menguntungkan. Adapun cara yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan izin usaha yang sederhana, akses pembiayaan, hingga insentif pajak bagi usaha kecil. Proses digitalisasi juga dapat dimanfaatkan, seperti pembayaran nontunai secara otomatis, sehingga memudahkan dalam pengawasan.
Jadi, ketika ditanya apakah efektif untuk memajaki shadow economy? Jawabannya bisa, asal dilakukan dengan prosedur yang tepat. Pendekatan ini harus dilakukan secara sosial dan bertahap, mengingat aktivitas ekonomi ini banyak didominasi oleh kelas menengah kebawah, sehingga sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan kehidupan mereka. Akhir kata, keberhasilan memajaki ekonomi banyangan bukan sekedar untuk menambah pemasukan negara, melainkan menciptakan perekonomian yang sehat, adil, dan melindungi semua pelaku usaha, termasuk usaha kecil.
Referensi
Rachman, A. (2025). Kejar Pajak Shadow Economy di 2026, Sri Mulyani Incar Pedagang Eceran. https://www.cnbcindonesia.com/news/20250819071838-4-659175/kejar-pajak-shadow-economy-di-2026-sri-mulyani-incar-pedagang-eceran
Schneider, F., & Enste, D. (2002). Hiding in the Shadows The Growth of the Underground Economy. International Monetary Fund (IMF).