Sabtu, September 6, 2025

‘Devil’s Advocate’ Arief Budimanta

Hamid Basyaib
Hamid Basyaib
Aktivis dan mantan wartawan; menerbitkan sejumlah buku tentang Islam, masalah-masalah sosial, dan politik internasional.
- Advertisement -

Kami merawat kelompok kecil dalam grup WhatsApp bentukan Almarhum Ichan Loulembah, seorang sahabat yang berjasa besar menjalin pertemanan yang terus meluas, yang dimulai dari grup WA, Blackberry (dan yahoogroups di era sebelumnya). Arief Budimanta adalah anggota aktif di grup selusinan orang itu.

Sering juga kami berkumpul, kebanyakan di rumah Tatat Rahmi Utami, sebuah simpul yang merekat kami semua. Tak jarang kami kedatangan “bintang tamu” yang menyegarkan acara dengan gosip-gosip politik mereka, atau penjelasan kenapa suatu kebijakan diambil, jika bintang tamu itu kebetulan menduduki jabatan tertentu. Pada acara meriung di rumah “Mami Tatat” di Jakarta Selatan itulah Arief hampir tak pernah absen.

Diam-diam kami berkomitmen untuk menjadikan kelompok kecil ini persaudaraan yang hangat, melampaui sekadar perkawanan. Dan karena ini pula jika Arief atau anggota lain terpaksa absen, ia akan sungguh-sungguh memohon maaf atas ketidakhadirannya.

Kehadiran Arief selalu kami tunggu. Sebab ia hampir tak pernah datang dengan tangan kosong — tidak seperti saya — tapi selalu beserta menu andalan dan favorit kami semua: jengkol balado istimewa, buatan Pradha Sony, isterinya yang terkadang ikut serta. (Tapi tanpa kehadirannya pun Arief tak jarang menenteng jengkol titipan Sony).

Tentu saja bukan hanya jengkol balado itu yang kami tunggu dari kehadiran Arief, tapi terutama ide dan info-info ekonomi nasional dan politik. Ia adalah orang yang tepat untuk diharapkan tentang hal itu.

Dalam seperempat abad terakhir ia selalu dekat dengan pusat kekuasaan. Mula-mula di lingkungan PDI Perjuangan — ia dekat dengan Ibu Megawati, Pak Taufiq Kiemas dan Puan Maharani. Lalu ia menduduki macam-macam jabatan di seputar penasihat kebijakan ekonomi.

Ia pernah bekerja di tingkat teras Kementerian Keuangan, di Komite Ekonomi Nasional, staf khusus Presiden bidang ekonomi, dan entah apalagi. Ia alumnus IPB, kampus tempat ia juga aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) — dari pendapa besar inilah kami semua dijalin oleh Ichan, praktis para alumni dari semua kampus besar-kecil di seluruh Indonesia. HMI, dengan caranya sendiri, memang turut mengukuhkan keindonesiaan.

*

Partisipasi Arief di grup WA sering tak menyenangkan. Untuk hampir semua diskusi, ia tampil sebagai “good guy”, selalu mementahkan kritik-kritik keras para anggota lain tentang kebijakan negara, tentang perilaku tak patut pejabat tinggi, dsb.

Kami semua sering heran dan jengkel dengan tendensi moderasinya; pada gayanya yang sering “sok bijak” dalam melunakkan kritik politik peserta yang kadang memang terasa terlalu keras.

- Advertisement -

Kadang kami bimbang untuk mengkualifikasi sikapnya: apakah opininya itu murni sesuai keyakinannya, atau ia sengaja berperan sebagai “devil’s advocate” untuk memancing argumen-argumen yang lebih baik (atau lebih “panas”).

Ataukah itu caranya mengingatkan bahwa duduk perkaranya bukanlah seperti yang dipotret oleh peserta lain — dengan kata lain: itu cara dia menyatakan bahwa kami semua cuma “sok tahu” tentang apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan pengambil keputusan.

Hal yang menambah kejengkelan: ia tak pernah mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, melalui postingan WA. Hanya dalam “temu darat” ia ada kalanya mengisahkan cerita balik-layar yang melatari suatu kebijakan. Rupanya ia memegang teguh etika jabatan; tak gampang membocorkan sesuatu, bahkan kepada lingkaran sahabatnya sendiri.

Mungkin juga karena ia sendiri punya kritik terhadap suatu kebijakan, tapi tak mungkin ia ungkapkan demi menjaga esprit de corps. Sebab bagaimanapun ia adalah bagian dari lingkaran itu. Menyatakan hal sebaliknya akan terkesan ia “cuci tangan” terhadap kebijakan yang kami anggap buruk.

Tapi kami semua tahu: di lubuk hatinya yang terdalam ia memendam keprihatinan besar tentang Indonesia dan masa depannya. Ia berusaha mematahkan prospek suram dengan menjaga spirit positifnya sebagai intelektual yang berada di lingkungan pengambil kebijakan ekonomi. Kami tahu hal ini dari percakapan-percakapan personal yang intensif, biasanya di larut malam.

Terhadap perkembangan situasi Indonesia dalam beberapa bulan terakhir, misalnya, ia, menurut dokter jantungnya, tampak jelas “stres dan banyak pikiran” — terlihat dari kondisi pembuluh darahnya.

*

Tampaknya ia sering merasa hanya menjadi sekrup kecil dalam proses pengambilan kebijakan negara, padahal ia ingin berperan lebih besar — dengan bekal grand theory “ekonomi konstitusi” yang ia coba kembangkan (untuk membedakannya dari “ekonomi Pancasila” yang gagal mekar, atau “ekonomi kerakyatan” yang hanya tersisa slogannya, atau “ekonomi gotong-royong”, yang tak pernah berhasil dibangun landasan teorinya yang kokoh).

Ketika praktik-praktik ekonomi dilihatnya semakin jauh dari semangat “ekonomi konstitusi”, ia tampaknya kelelahan sebagai pemikir, dan mungkin merasa ia sebaiknya berjalan memutar, bukan lagi mengandalkan jalur negara untuk mewujudkan gagasan besarnya itu.

Kepada sahabatnya ia menyatakan ingin fokus mengembangkan perekonomian di lingkungan Muhammadiyah (ia sejak beberapa tahun lalu menjabat Ketua Majelis Ekonomi persyarikatan itu).

Belum sebulan silam ia menggelar simposium untuk mempromosikan konsep ekonomi “Al Maun”, sebuah surah pendek Quran yang dijadikan battle cry oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Ia berusaha membangun rumusan akademis tentang pokok-pokok pemikiran ekonomi Muhammadiyah berdasarkan prinsip itu, ide yang telah terbukti mampu membuat Muhammadiyah menjadi ormas raksasa yang kaya.

Ia juga ingin mengabdikan diri untuk ikut membimbing Generasi-Z, mungkin dengan sejumlah metode baru yang sudah cukup ia pelajari; suatu isyarat bahwa ia merasa tak banyak yang bisa diharapkan dari generasinya dan generasi di bawahnya. Mungkin ia yakin kemajuan Indonesia hanya bisa disandarkan pada generasi terbaru itu, generasi ketiga anak laki-lakinya.

Tekad mulia itu terhalang dengan cara yang sangat getir. Jumat lewat tengah malam, atau Sabtu dini hari sekali, ia terdiam dalam usia 57 di sebuah rumah sakit. Saya terkesiap mendengar kabarnya, tersesak dengan mata berkaca-kaca; sebab sampai dua hari sebelumnya ia normal belaka seperti biasa.

Ia kadang memang mengeluhkan berat badannya, tapi dengan wajah yang selalu ceria dan segar, dengan kemeja lengan panjangnya yang selalu sangat putih, dan dengan saling ledek yang kocak setiap kami berjumpa, saya tak pernah menangkap sedikit pun indikasi negatif kesehatannya.

Dan saya tidak sanggup mengantar ke rumahnya yang terakhir. Kematian sahabat adalah hal yang paling saya benci. Saya tidak bisa menyaksikannya masuk suatu liang yang tak memungkinkannya keluar lagi selama-lamanya.

Arief Budimanta Sebayang, terima kasih atas pengabdianmu hingga detik terakhir hidupmu. Terima kasih atas persahabatan tiga dasawarsa yang hangat dan produktif. Saya hanya bisa menangisi kepergianmu yang terlalu cepat.

Hamid Basyaib
Hamid Basyaib
Aktivis dan mantan wartawan; menerbitkan sejumlah buku tentang Islam, masalah-masalah sosial, dan politik internasional.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.