Kamis, Agustus 7, 2025

Dilema Kekuasaan: Politik Internasional dan Kepentingan Nasional

Muhammad Ramadhan Giri Wardana
Muhammad Ramadhan Giri Wardana
Law Student of Nahdlatul Ulama University of Indonesia
- Advertisement -

Dalam politik internasional, kepentingan nasional terkadang dianggap sebagai hukum alam. Setiap negara, baik negara besar maupun negara kecil, cenderung bergerak berdasarkan kalkulasi untung rugi. Banyak kasus yang terjadi di belahan dunia sampai saat ini, misalnya konflik di Laut Cina Selatan (LCS).

Di atas kertas, ASEAN memiliki Code of Conduct (tata perilaku), seolah-olah semua negara di kawasan sepakat menahan diri dan bekerja sama. Namun, kenyataannya jauh lebih kompleks. Ketika masing-masing negara mulai menghitung kepentingannya sendiri, solidaritas kawasan pun terkikis. Negara-negara ASEAN akhirnya terpecah oleh perbedaan yang tidak selalu mudah didamaikan (Priyono &Yusgiantoro, 2017, hlm. 179).

Lalu,apa sebenarnya makna dari ilmu politik atau hubungan internasional, jika pada akhirnya semua keputusan kembali kepada urusan “national interest” (kepentingannasional)? Apakah akademisi hanya bicara teori tanpa relevansi di dunia nyata?

Jawabannya mungkin tidak sederhana. Ada baiknya diam sejenak dan menelaah hidup kita sebagai warga negara. Apa yang sebenarnya kita harapkan dari negara? Setidaknya ada lima nilai mendasar yang kita harapkan dari negara: keamanan, kebebasan,ketertiban dan keadilan, serta kesejahteraan. Lima hal ini bukan sekedar jargon normatif, tapi fondasi eksistensial yang membuat manusia butuh dengan institusi negara. Negara ada karena manusia ingin terjamin kebutuhannya—dengan segala resikonya.

Didunia ini, kita hidup dalam komunitas negara, masing-masing bersenjata, masing-masing bisa bertahan sekaligus mengancam. Disinilah muncul dilema klasik: paradoks keamanan. Negara hadir untuk melindungi rakyatnya, tapi eksistensinya sendiri kerap menjadi sumber ancaman bagi negara lain—bahkan warga negaranya sendiri. Negara, seperti organisasi manusia lainnya, menciptakan masalah sekaligus menawarkan solusi.

Sebagian negara mungkin bersahabat dan mengedepankan perdamaian. Sebagian lain mungkin agresif dan oportunis. Tidak ada pemerintahan dunia yang bisa memaksa mereka duduk manis bersama. Negara mengejar keseimbangan kekuatan, bukan karena mereka jahat, tapi kerena ingin mencegah dominasi sewenang-wanang oleh kekuatan besar.

Selain keamanan, manusia juga mengejar kebebasan—baik dalam skala individu maupun bangsa (kemerdekaan). Kita bisa lihat bagaimana bangsa-bangsa kecil di masa lalu dirampas kebebasannya oleh kekuatan besar seperti Nazi Jerman atau kolonialisme. Indonesia juga mengalami itu. Pun jika bangsa telah merdeka tidak berarti warga negara merdeka, setidaknya kemerdekaan sudah ditangan sendiri—selebihnya terserah.

Lalu, ada ketertiban dan keadilan, nilai yang diharapkan agar negara-negara bisa berinteraksi dengan kepastian dan tidak semata-mata tunduk pada hukum rimba. Maka,ada konvensi, perjanjian, dan tatanan hukum internasional. Walaupun tidak jarang dilanggar, keberadaan aturan itu tetap penting sebagai standar etik yang ideal setidaknya.

Dan terakhir adalah kesejahteraan. Kita ingin negara menjaga ekonomi tetap stabil, menciptakan lapangan kerja, menjaga inflasi, dan memastikan perdagangan berjalan. Inilah alasan mengapa sebagian besar manusia, walaupun mengeluh tentang negara, tetap lebih memilih hidup dalam sistem negara yang terorganisir ketimbang anarki tanpa negara.

Realitasnya, mungkin semua itu baru kita sadari kemudian ketika terjadi krisis. Orang-orang baru peduli dengan keamanan saat perang pecah, baru peduli kebebasan saat dibungkam atau dijajah, baru peduli keadilan saat diperlakukan sewenang-wenang (Sørensendkk., 2021, hlm. 6–8). Itulah mengapa politik terasa menjijikkan: karena berhadapan dengan kenyataan paling pahit dari kekuasaan.

- Advertisement -

Dalam PoliticalScience: An Introduction, dikatakan bahwa ilmu politik itu bukan politik praktis. Ia adalah alat analisis, bukan alat kekuasaan. Seorang ilmuan politik memandang politik seperti seorang ahli mikrobiologi memandang bakteri: ia tidak perlu menyukai politik, tapi mempelajari bagaimana ia bekerja, bagaimana ia menyebar, bagaimana ia bisa dikendalikan atau mininal dipahami agar manusia bisa hidup lebih baik (Roskindkk., 2017, hlm. 22–23).

Di sinilah letak dilema reflektifnya. Memang benar, teori sering kali gagal mewujudkan nilai idealnya dalam realitas praktik. Comsky, mengutip Morgenthau, mengingatkan kita agar tidak terjebak pada ilusi bahwa penyimpangan kenyataan adalah kenyataan itu sendiri. Jika para pemeluk agama banyak yang munafik, bukan berarti agama itu sendiri cacat (Chomsky, 2021, hlm. 45). Artinya, kesalahan pemeluknya tidak membatalkan nilai dari ajaran agama itu sendiri. Begitu pula dengan politik.

Morgenthau mengatakan bahwa “politics is governed by objective laws that have their roots in human nature”(Morgenthau& Thompson, 1997, hlm. 4–5). Morgenthau menegaskan bahwa politik tidak bisa dipahami sebagai arena idealisme semata, karena di balik semua tindakan politik, terdapat hukum objektif yang berkaitan langsung dengan sifat dasar manusia, yakni dorongan untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaan.

Maka, wajar jika negara akan selalu mengejar kepentingannya sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan dan kepentingan adalah variabel tetap dalam politik internasional. Tetapi, tugas ilmu politik bukan sekedar mencatat atau mengafirmasi fakta itu, melainkan berupaya menjaga ruang reflektif agar realitas kekuasaan tidak sepenuhnya lepas dari kontrol etik, hukum internasional, dan prinsip kemanusiaan.

Sebagai akademisi, kita memiliki tanggung jawab untuk terus mengembangkan pemikiran kritis, agar negara tetap dapat mengejar kepentingannya tanpa melupakan moralitas, keadilan global, dan kepentingan bersama umat manusia. Ini bukan sekedar soal realitas kekuasaan, tetapi soal bagaimana membangun praktik politik yang berimbang antara realitas dan nilai normatif. Dunia mungkin tidak ideal, tetapi membiarkan politik lepas seperti hewan buas akan mempercepat kehancuran sendiri.

Referensi

Chomsky, N. (2021). Who Rules The World. Bentang Pustaka.

Morgenthau, H. J., & Thompson, K. W. (1997). Politics AmongNations: The Struggle for Power and Peace (6th international ed).McGraw-Hill.

Priyono, J., & Yusgiantoro, P. (2017). Geopolitik,Geostrategi, Geoekonomi. Unhan Press.

Roskin, M., Cord, R. L., Medeiros, J. A., & Jones, W. S. (2017).Political Science: An Introduction (Fourteenth edition, globaledition). Pearson.

Sørensen, G., Møller, J., & Jackson, R. (2021). Introductionto International Relations: Theories and Approaches (8 ed.).Oxford University Press.https://doi.org/10.1093/hepl/9780198862208.001.0001

Muhammad Ramadhan Giri Wardana
Muhammad Ramadhan Giri Wardana
Law Student of Nahdlatul Ulama University of Indonesia
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.