Selasa, Agustus 5, 2025

Pesantren dan Kekerasan Seksual: Relasi Kuasa ala Foucault

Syukron Hidayat
Syukron Hidayat
Seorang mahasiswa biasa-biasa saja. Sesekali menggunakan tulisan sebagai media luapan over thinking, dengan ditemani kopi hitam sedikit pahit.
- Advertisement -

Agama seharusnya menjadi ruang yang suci dan aman, tempat orang-orang belajar tentang kasih sayang, keadilan, dan perlindungan terhadap sesama. Namun hari ini, wajah agama kerap tercoreng oleh perilaku sebagian penganutnya sendiri. Ruang-ruang keagamaan, termasuk pesantren, justru menjadi lokasi dari berbagai kasus kekerasan seksual. Sosok predator bersorban seperti yang digambarkan dalam film Walid ternyata tak hanya fiktif, tapi hadir nyata di hadapan kita.

Berdasarkan laporan Puslit DPR RI (Januari 2025), lebih dari 100 santri menjadi korban kekerasan seksual di berbagai pesantren. Kasus terbesar terjadi di Lombok Timur (41 korban), disusul Banjar dan Sulawesi Selatan (masing-masing 20 korban). Ironisnya, mayoritas pelaku adalah pengasuh atau pimpinan pesantren yang memanfaatkan kedudukan dan kekuasaannya.

Pada Juni 2025, seorang guru ngaji berinisial AF (43) di Tebet, Jakarta Selatan, mencabuli 10 santri berusia 10 -12 tahun dengan modus “pelajaran tambahan fiqih hadas.” Ia menggunakan iming-iming uang dan ancaman sebagai alat kontrol. Tidak berselang lama dari itu, di Sumenep, Jawa Timur, 13 santriwati mengaku menjadi korban kekerasan seksual oleh pengurus pesantren di Pulau Kangean. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak hanya berlangsung secara fisik, tetapi juga terjadi dalam ruang-ruang simbolik yang sarat kuasa.

Ruang keagamaan, yang seharusnya menjadi tempat berlindung, justru menjadi panggung bagi kekuasaan yang nyaris tak tersentuh. Sayangnya, banyak korban memilih diam, bukan karena tidak tahu bahwa mereka disakiti, tetapi karena takut pada relasi kuasa yang terlalu timpang dan stigma sosial yang memberatkan. Tokoh agama kerap ditempatkan dalam posisi sakral, tak hanya dihormati, tapi juga dianggap sebagai sosok yang suci, tak mungkin salah, bahkan tak boleh dipertanyakan.

Dalam situasi seperti inilah kita perlu memahami bahwa kekuasaan bekerja tidak hanya melalui kekerasan langsung, tetapi juga melalui cara berpikir, struktur sosial, dan sistem kepercayaan yang membentuk siapa yang dipercaya dan siapa yang diragukan. Maka, pendekatan pemikiran Michel Foucault menjadi relevan untuk membaca lebih dalam bagaimana kekuasaan bekerja secara halus namun sistematis di balik tafsir agama dan struktur lembaga keagamaan. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan tak hanya menekan, tetapi juga memproduksi, membentuk norma, bahasa, dan persepsi yang secara tidak sadar mengatur cara kita melihat otoritas, termasuk dalam konteks keagamaan.

Dalam kerangka pemikiran Michel Foucault, kuasa tidak hanya bersifat represif, tetapi juga produktif. Maksudnya adalah, kuasa tidak hanya melalui larangan atau hukuman, tetapi juga membentuk cara berpikir, norma, dan persepsi sosial. Kuasa bekerja lewat wacana, institusi, dan relasi sosial yang menentukan siapa yang dianggap layak dipercaya dan siapa yang patut dicurigai. Dalam konteks ini, tokoh agama ditempatkan sebagai figur absolut: pembawa kebenaran, penjaga moral, bahkan cerminan Tuhan. Ketika anak atau remaja mempertanyakan perilaku tak pantas guru agamanya, mereka justru sering dicap durhaka atau kurang iman, bukan dilihat sebagai korban yang perlu dilindungi.

Salah satu instrumen wacana yang paling kuat dalam membentuk kuasa tersebut adalah tafsir agama. Tafsir bukanlah sesuatu yang netral, melainkan lahir dari ruang sosial yang spesifik, dibentuk oleh konteks sejarah, politik, maupun relasi gender. Dalam banyak tradisi keagamaan, tafsir terhadap teks-teks suci masih didominasi oleh perspektif maskulin yang mempertahankan struktur hierarkis. Tafsir inilah yang sering memberi legitimasi moral bagi dominasi tokoh agama, menempatkan mereka sebagai “wakil Tuhan”, dan menjadikan kesalahan mereka sebagai bagian dari “rencana ilahi” atau “ujian spiritual”. Maka, ketika korban berbicara, suaranya kalah oleh legitimasi tafsir yang dibingkai sebagai suara Tuhan.

Melalui pendekatan genealogi kekuasaan, Foucault juga mengajak kita menelusuri bagaimana posisi dominan tokoh agama ini tidak terbentuk secara alami, tetapi merupakan hasil sejarah panjang dominasi wacana religius yang membungkus kuasa dengan moralitas dan kebenaran ilahiah. Kekuasaan dalam institusi agama terakumulasi secara historis melalui legitimasi simbolik dan spiritual yang diwariskan lintas generasi tanpa ada yang berani melontarkan kritikan. Maka, pelanggaran yang dilakukan tokoh agama tidak hanya sulit dibongkar, tapi juga seringkali tidak terbaca sebagai kejahatan, melainkan dibingkai sebagai “ujian iman” atau “kesalahan manusiawi” yang harus dimaafkan demi menjaga martabat institusi keagamaan itu sendiri.

Padahal, setiap agama sejatinya lahir memberikan sistem nilai yang menjunjung tinggi kemuliaan terhadap manusia, sehingga dengan sistem tersebut akan tercipta keharmonian antar manusia. Misalnya dalam ajaran Islam dengan rahmatan lil ‘alamin, memberikan pedoman untuk memberikan kasih sayang kepada semua orang, termasuk melindungi kelompok rentan kekerasan seksual.

Kemudian terdapat juga surah an-Nisa sebagai simbol kuat perempuan haruslah dijaga dan dimuliakan, bukan malah disakiti. Selain itu dalam ajaran Kristen juga terdapat ayat-ayat pembelaan terhadap mereka yang rentan atau korban kekerasan seksual. Mislanya dalam Ulangan 22:25-27, menunjukan bahwa al-Kitab tidak pernah menoleransi kekerasan terhadap tubuh dan martabat seseorang, khususnya perempuan, dan bahkan memperlakukan pelakunya sebagai pihak yang pantas dihukum mati.

- Advertisement -

Dalam konteks kekerasan seksual, kita juga tak bisa mengabaikan bahwa banyak tokoh agama justru memilih berpihak pada korban. Misalnya, Fatwa MUI No. 57 Tahun 2014 menegaskan bahwa kekerasan seksual pada anak hukumnya adalah haram, dan pelaku dikenakan hukuman ta’zir. Selain dalam bentuk regulasi, agama juga hadir melalui doa, ritual, dan keyakinan bahwa Tuhan berpihak pada yang tertindas: akan membantu korban pulih dari trauma dan bangkit kembali.

Agama tidak pernah membenarkan kekerasan. Yang salah bukanlah ajarannya, melainkan cara sebagian orang menafsirkan dan menggunakan agama sebagai alat kuasa. Maka solusi pertama adalah membebaskan tafsir dari bias kepentingan. Kita membutuhkan penafsiran ulang teks-teks suci dengan perspektif keadilan gender dan keberpihakan pada korban.

Kedua, institusi keagamaan, terutama pendidikan, harus dijalankan secara kritis dan transparan. Tokoh agama harus diposisikan kembali tidak lagi dilihat sebagai “wakil Tuhan” yang kebal kritik, melainkan sebagai penjaga nilai keadilan. Terakhir, perlu ada sinergi nyata antara hukum negara dan nilai-nilai agama agar tidak ada lagi normalisasi keburukan atas nama keyakinan.

Agama tidak pernah gagal melindungi, hanya saja disalahgunakan. Wajar jika Marx mengatakan agama itu opium, selain sama-sama menenangkan, ia juga sama-sama berbahaya jika disalahgunakan. Sudah saatnya kita meninjau ulang selubung kuasa yang kerap tersembunyi di balik simbol kesucian, agar ruang agama kembali menjadi tempat aman bagi semua, terutama bagi mereka yang rentan.

Syukron Hidayat
Syukron Hidayat
Seorang mahasiswa biasa-biasa saja. Sesekali menggunakan tulisan sebagai media luapan over thinking, dengan ditemani kopi hitam sedikit pahit.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.