Sabtu, Agustus 2, 2025

Gelar Sarjana yang Kehilangan Makna

Rafif Muhammad
Rafif Muhammad
saya merasa tertarik untuk mencurahkan keresahan saya terhadap fenomena sosial di sekitar saya dalam sebuah tulisan. mencoba menjadi individu yang lebih bijak dalam mengkritisi suatu hal di hidup saya
- Advertisement -

Pendidikan tinggi dahulu adalah jalur sunyi para pemikir. Mahasiswa dianggap calon intelektual yang memikirkan kebenaran, membangun argumen, dan menantang status quo melalui diskusi, riset, dan refleksi. Kini, gelar sarjana yang dulu sakral berubah menjadi tiket administratif — sekadar syarat melamar kerja, bukan cerminan intelektualitas.

Di bawah tekanan kapitalisme akademik, gelar sarjana mengalami inflasi simbolik: makin banyak jumlahnya, makin menurun nilai intelektualnya. Ia kini dijual layaknya produk e-commerce: “cepat lulus”, “biaya ringan”, “jaminan kerja”. Kampus menjadi pabrik, mahasiswa menjadi pelanggan, dosen jadi operator produksi. Hasil akhirnya? Ijazah, bukan pengetahuan.

Jika Karl Marx menyaksikan ini, ia mungkin akan berkata: gelar sarjana hari ini telah menjadi komoditas, bukan ekspresi pencapaian pengetahuan. Mahasiswa pun mengalami alienasi akademik — mereka belajar bukan untuk memahami, tapi sekadar memenuhi checklist CV: IPK tinggi, sertifikat, skripsi, selesai.

Sistem pendidikan saat ini juga dijalankan di atas mitos meritokrasi. Kita diajarkan bahwa kerja keras akan membawa kesuksesan. Tapi di balik itu, akses terhadap pendidikan masih sangat ditentukan oleh status ekonomi dan sosial. Mereka yang punya privilese sejak awal tetap diuntungkan, sementara yang lain harus berjuang ekstra hanya untuk bisa masuk ruang kelas.

Di sisi lain, pendidikan tinggi makin terseret dalam logika pasar kerja. Kampus membuka jurusan baru berdasarkan “apa yang dibutuhkan industri”, bukan apa yang dibutuhkan masyarakat untuk berpikir kritis. Rasionalitas instrumental, sebagaimana dikritik Adorno, mengubah pendidikan menjadi pelatihan tenaga kerja — bukan pembentuk manusia utuh.

Masalah ini tidak berhenti pada sistem. Kita juga harus menengok ke dalam diri. Jean-Paul Sartre mengingatkan bahwa kita bebas menentukan makna dari tindakan kita. Gelar adalah alat, bukan tujuan. Tanpa tanggung jawab dan kontribusi nyata, gelar hanyalah kertas kosong. Friedrich Nietzsche bahkan mendorong kita untuk melampaui kawanan — mencipta nilai sendiri, tak sekadar mengikuti arus.

Indonesia hari ini tidak kekurangan lulusan sarjana. Tapi kita kekurangan pemikir. Gelar menumpuk, tapi wacana stagnan. Pendidikan kita sibuk mencetak ijazah, tapi lupa membentuk manusia merdeka.

Kini saatnya kita bertanya ulang:

Apakah kita kuliah untuk menjadi manusia yang berpikir, atau sekadar mengejar gelar yang makin kehilangan makna?

Rafif Muhammad
Rafif Muhammad
saya merasa tertarik untuk mencurahkan keresahan saya terhadap fenomena sosial di sekitar saya dalam sebuah tulisan. mencoba menjadi individu yang lebih bijak dalam mengkritisi suatu hal di hidup saya
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.