Kadang kita nggak benar-benar jatuh cinta. Kita cuma jatuh ke dalam rasa sepi, jatuh ke dalam tekanan, atau jatuh ke ilusi bahwa kalau ada yang perhatian, berarti kita cukup. Nggak sedikit dari kita—anak muda zaman sekarang—yang pacaran bukan karena siap menjalin hubungan, tapi karena pengin merasa layak dicintai.
Di era sosial media, hubungan jadi semacam pameran. Yang jomblo dikasihani, yang punya pacar dipuja-puji. Kita jadi takut sendirian, bukan karena kesepian itu menyakitkan, tapi karena kita merasa nilai diri kita ditentukan dari ada tidaknya seseorang di samping kita.
Banyak yang akhirnya bertahan di hubungan yang nggak sehat, yang penuh manipulasi, penuh kode-kode yang sengaja dibiarkan abu-abu, hanya karena takut nggak punya siapa-siapa. Nggak sedikit juga yang panik kalau pasangannya tiba-tiba berubah, nggak semanis dulu, nggak seintens dulu, lalu mulai merasa: “apa aku yang salah? apa aku nggak cukup baik?”
Padahal, masalahnya bukan di situ. Masalahnya ada pada kita yang diam-diam menjadikan pasangan sebagai penentu harga diri. Kita yang lupa kalau kita tetap berharga bahkan saat nggak ada yang bilang ‘selamat pagi’ tiap hari.
Pacaran itu bukan cuma soal cinta. Sayangnya, banyak dari kita menjalaninya demi validasi. Biar ngerasa ‘dipilih’, ‘diinginkan’, dan ‘dianggap cukup’. Kita takut sendiri karena kita takut harus menghadapi diri sendiri. Kita takut hening karena kita terbiasa diisi oleh suara dari luar.
Kita posting story mesra, bukan buat dokumentasi, tapi buat nunjukin ke dunia: “Aku juga dicintai, kok.” Kita nunggu chat dari seseorang yang bahkan udah nggak sepeduli dulu, tapi kita terus maksa diri buat ngerti—karena saat dia nggak peduli, kita ikut merasa nggak layak.
Kita jadi candu atas perhatian yang sesungguhnya sementara. Dan saat perhatian itu pelan-pelan hilang, kita bukan cuma kehilangan hubungan, tapi juga kehilangan rasa berharga terhadap diri sendiri. Nggak sedikit dari kita yang sudah tahu bahwa hubungan itu menyakitkan, tapi tetap bertahan.
Bukan karena cinta, tapi karena takut kehilangan “tempat aman”, meskipun tempat itu sebenarnya sudah jadi sarang luka. Ada yang rela dighosting berkali-kali. Ada yang berkali-kali dibilang lebay saat mengungkapkan perasaan. Ada yang dibalas dengan silent treatment, tapi tetap bilang: “Mungkin dia capek.” Padahal diri kita sendiri sudah lebih dari capek.
Kita terlalu takut untuk jujur bahwa mungkin, selama ini kita menjadikan cinta sebagai tambalan untuk kekosongan di dalam diri. Kita pengin merasa penting. Kita pengin merasa cukup. Tapi kenapa kita nggak bisa memberi itu ke diri sendiri?
Banyak Gen Z yang tumbuh dengan luka-luka kecil yang dibiarkan menumpuk. Kita pura-pura bahagia. Kita bilang ke teman-teman, “Kami baik-baik saja, kok,” padahal hati lagi dibelah dua tiap hari. Dan ironisnya, kita merasa itu wajar. Karena katanya, “kalau sayang, ya harus sabar.” Padahal bukan begitu caranya cinta bekerja.
Punya pasangan itu bukan bukti bahwa kita berharga. Tapi merasa berharga duluan—dengan atau tanpa pacar—adalah bentuk cinta diri yang paling sehat. Validasi itu perlu, tapi jangan sampai membuat kita kehilangan logika, harga diri, dan batasan emosi.
Kalau kamu merasa harus selalu membuktikan bahwa kamu pantas dicintai, mungkin itu tanda bahwa yang perlu kamu peluk dulu adalah dirimu sendiri.