Pemilu 2024 telah usai, tetapi aroma politik balas budi semakin kuat di dalam birokrasi. Di berbagai daerah, mutasi aparatur sipil negara (ASN) terjadi secara besar-besaran setelah pelantikan kepala daerah terpilih. Sayangnya, perpindahan jabatan dalam birokrasi sering kali tidak didasarkan pada kinerja atau kemampuan seseorang. Justru, faktor kedekatan pribadi dan kepentingan politik lebih sering menjadi penentu.
Birokrasi seharusnya berdiri di atas prinsip netralitas dan profesionalisme dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun kenyataannya, birokrasi kembali terseret ke dalam arus kepentingan politik. Situasi ini tidak hanya meresahkan, tetapi juga mengkhianati semangat reformasi birokrasi yang selama ini diperjuangkan dengan susah payah.
Setelah Pilkada 2024, terdapat berbagai laporan tentang rotasi jabatan besar-besaran di pemerintah daerah. Menurut laporan media investigasi ASKARA pada 18 Mei 2025, terjadi gelombang mutasi ASN setelah pelantikan kepala daerah. Banyak yang menduga ini dilakukan untuk balas jasa politik. Di Sumatera Utara dan Papua, puluhan ASN dimutasi hanya beberapa minggu setelah kepala daerah baru mulai menjabat. Bahkan, beberapa ASN dipindahkan ke daerah terpencil tanpa alasan yang jelas tentang kinerja mereka.
Fakta ini semakin menguatkan pandangan bahwa mutasi ASN kerap dimanfaatkan sebagai bentuk “balas budi” kepada tim sukses atau sebagai cara untuk menggeser ASN yang dianggap tidak sejalan secara politik. Praktik seperti ini menunjukkan bahwa budaya patronase masih sangat mengakar dalam birokrasi kita, di mana loyalitas politik sering kali lebih diutamakan daripada kemampuan dan rekam jejak kerja yang sebenarnya.
Selain melanggar prinsip meritokrasi, perubahan ini memiliki dampak langsung pada kualitas pelayanan publik. Karena pendekatan politik, ASN sering kali tidak memiliki kemampuan di bidang yang diberikan. Hal ini menyebabkan pelayanan menjadi lamban, tidak tepat sasaran, bahkan stagnan.
Selain itu, banyak ASN mulai enggan bersikap profesional karena merasa posisi mereka tidak lagi aman. Alih-alih fokus mengembangkan kemampuan dan kualitas layanan, mereka justru lebih sibuk menjaga loyalitas kepada atasan yang berkuasa secara politik. Kondisi ini membuat birokrasi kehilangan daya saing, miskin inovasi, dan semakin jauh dari semangat melayani masyarakat dengan tulus.
Reformasi birokrasi seharusnya memastikan bahwa ASN direkrut, dipromosikan, dan dimutasi berdasarkan prinsip merit yaitu, pengelolaan ASN dengan mengutamakan aspek kualifikasi, keahlian, dan hasil kerja, tanpa mempertimbangkan faktor hubungan personal, kepentingan politik, maupun kedekatan dengan penguasa. Sayangnya, sistem merit kita masih lemah.
Lebih lanjut, data dari situs resmi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat bahwa pada Pemilu 2024 terdapat 481 ASN yang dilaporkan atas dugaan pelanggaran netralitas, dengan 264 ASN (54,9 persen) terbukti melanggar mencatat ratusan laporan pelanggaran mutasi jabatan ASN. Namun, sebagian besar masih dalam tahap verifikasi tanpa sanksi tegas. KASN hanya berfungsi sebagai mediator dan tidak memiliki wewenang untuk membatalkan keputusan atasan. Hal Ini membuat ASN rentan terhadap keputusan yang tidak adil.
Perlu dicatat bahwa Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), yang selama ini berperan sebagai lembaga independen dalam mengawasi penerapan sistem merit dan menjaga netralitas ASN, resmi dibubarkan pada 2024 lewat revisi Undang-Undang ASN. Tugas pengawasan yang sebelumnya menjadi tanggung jawab KASN kini dialihkan ke Kementerian PANRB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Meski demikian, hingga kini pengalihan fungsi tersebut belum sepenuhnya mampu menggantikan peran KASN secara efektif.
Sementara itu, keputusan pembubaran KASN ini menuai banyak kritik. Para pengamat dan lembaga pengawas menilai langkah ini bisa melemahkan sistem pengawasan terhadap netralitas ASN, membuka celah politisasi birokrasi, dan berdampak pada penurunan kualitas pelayanan publik. Bahkan, sejumlah elemen masyarakat sipil mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, dengan alasan bahwa penghapusan lembaga independen ini bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan berpotensi merusak profesionalisme aparatur sipil negara.
Di sisi lain, revisi UU ASN yang tengah dibahas di DPR RI pada tahun 2025 sebenarnya memberikan secercah harapan. Salah satu tujuan utamanya adalah membangun sistem rotasi nasional serta menjadikan jabatan eselon II sebagai bagian dari ASN pusat. Namun, gagasan ini memicu perdebatan karena dinilai bisa mengurangi kewenangan daerah dan menimbulkan penolakan dari para kepala daerah. Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, menyatakan bahwa revisi tersebut memperbesar wewenang presiden dalam mengelola manajemen ASN, yang memicu kekhawatiran terkait konsentrasi kekuasaan di pusat serta kemungkinan berkurangnya pengawasan daerah terhadap birokrasi di wilayahnya.
Sayangnya, pelaksanaan aturan ini masih terhambat oleh regulasi teknis yang belum selesai disusun, sehingga dampak nyata terhadap praktik mutasi di tingkat daerah belum terlihat secara signifikan.
Langkah awal yang ideal untuk mengatasi masalah ini adalah pemerintah pusat meningkatkan pengawasan serta menegakkan aturan secara ketat terhadap pelanggaran prinsip meritokrasi, termasuk menjatuhkan sanksi yang tegas kepada kepala daerah yang memanfaatkan kewenangan mutasi ASN untuk kepentingan pribadi atau politik.
Selain itu, pelatihan bagi ASN perlu secara sistematis memasukkan nilai-nilai etika dan netralitas. Rekrutmen CPNS yang sudah mengedepankan kompetensi seharusnya dilanjutkan dengan pembentukan budaya organisasi yang menjunjung tinggi profesionalisme, bukan justru menanamkan loyalitas kepada kepentingan politik.
Lebih lanjut, peran masyarakat sipil, media, dan kalangan akademisi sangat krusial dalam mengawasi kinerja birokrasi di tingkat lokal. Pada awal 2025, Ombudsman RI menyoroti masih minimnya partisipasi publik dalam pengawasan layanan publik, termasuk proses mutasi ASN. Oleh karena itu, pemeriksaan atau peninjauan secara terbuka dan rutin terhadap proses promosi dan rotasi jabatan perlu dilakukan agar semuanya berjalan dengan transparan dan akuntabel.