Teknologi berkembang sangat cepat. Dahulu, robot hanya hidup dalam imajinasi film fiksi ilmiah yang kita tonton di layar kaca. Kini, teknologi itu perlahan menjadi kenyataan dan mulai hadir dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan di bidang-bidang yang sebelumnya dianggap terlalu sensitif untuk diotomatisasi, seperti sektor keamanan dan penegakan hukum, peran teknologi mulai terlihat nyata.
Saat ini, munculnya robot yang dilibatkan dalam pekerjaan kepolisian menjadi salah satu topik yang menarik perhatian masyarakat luas. Di beberapa negara maju, robot digunakan untuk patroli, membantu mengatur lalu lintas, hingga merespons keadaan darurat. Robot-robot ini dipandang sebagai jawaban atas keterbatasan tenaga manusia, sekaligus diyakini mampu meningkatkan efisiensi dan tingkat keamanan dalam pelaksanaan tugas kepolisian.
Wacana yang sama mulai muncul di Indonesia. Beberapa pihak menyebut bahwa robot polisi bisa menjadi bentuk modernisasi sistem keamanan nasional. Katanya, ini bisa menjadi langkah efisiensi, apalagi di tengah tuntutan untuk mengefisienkan anggaran negara. Namun sebagai mahasiswa di bidang administrasi publik, saya merasa penting untuk melihatnya dengan kepala dingin: Benarkah ini jawaban yang paling tepat untuk kebutuhan kita saat ini?
Ketika Anggaran Tidak Berpihak
Coba kita renungkan pertanyaan mendasar ini: Seberapa besar anggaran yang dibutuhkan untuk merealisasikan kehadiran robot polisi di Indonesia? Tentu saja tidak murah. Pengadaan robot bukan cuma soal membeli unitnya, tetapi juga soal pelatihan, pemeliharaan, pembaruan sistem, dan integrasi dengan sistem hukum serta birokrasi yang sudah ada. Anggaran yang diperlukan bisa menembus angka miliaran hingga triliunan rupiah jika diterapkan secara nasional. Ironisnya, pada saat yang sama, banyak daerah di Indonesia masih berusaha keras mengatasi berbagai persoalan mendasar yang belum tertangani secara optimal. Di berbagai desa, anak-anak masih harus menempuh perjalanan panjang untuk bisa bersekolah, sementara sarana pendidikannya sendiri sering kali belum memadai. Di bidang kesehatan, banyak puskesmas yang kekurangan tenaga medis atau alat yang kurang memadai.
Maka tak heran jika muncul kebingungan di tengah masyarakat, mengapa pemerintah justru mengalokasikan anggaran untuk teknologi canggih, sementara kebutuhan dasar warga masih banyak yang terabaikan? Kebijakan ini menimbulkan kesan bahwa negara lebih mementingkan pencitraan sebagai negara modern dan digital, daripada menyelesaikan masalah nyata yang dirasakan warga sehari-hari.
Dalam dunia kebijakan publik, ini berkaitan dengan prioritas anggaran. Pemerintah hanya punya sumber daya terbatas, jadi harus menentukan mana yang harus didahulukan. Melihat realita hari ini, jelas bahwa yang paling mendesak adalah pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, mulai dari air bersih, pendidikan yang layak, layanan kesehatan, hingga kesejahteraan dasar.
Teknologi Tidak Menjamin Keadilan
Robot polisi memang terlihat menjanjikan. Mereka tidak lelah, tidak takut, dan bisa bekerja 24 jam. Tapi teknologi juga punya keterbatasan besar. Robot tidak bisa memahami emosi manusia. Tidak bisa merasakan empati. Tidak mampu membentuk ikatan kepercayaan sosial layaknya interaksi antar manusia.
Coba bayangkan sebuah situasi di mana korban kekerasan dalam rumah tangga harus menyampaikan laporannya kepada sebuah mesin, bukan manusia. Mampukah robot merasakan luka batin yang dialami oleh korban? Dapatkah ia menghadirkan rasa aman dan membuat korban merasa dipahami? Atau justru membuat mereka merasa seperti sedang berbicara dengan mesin dingin tanpa rasa?
Masalah lain adalah soal penilaian sosial dan konteks. Ada kalanya suatu pelanggaran terjadi bukan karena niat buruk, melainkan akibat situasi atau ketidaktahuan. Ada yang terpaksa mencuri karena lapar. Ada yang tidak tahu aturan karena minim edukasi. Dalam praktiknya, penegakan hukum sering kali memerlukan kepekaan dan kebijaksanaan yang hanya dimiliki manusia bukan sekadar keputusan berdasarkan logika kaku yang dimiliki mesin. Tanpa pengaturan yang tepat, penggunaan teknologi justru bisa menciptakan jarak emosional dan sosial antara negara dan rakyatnya. Masyarakat bisa merasa diawasi terus-menerus, bahkan dikendalikan oleh sistem yang tak mereka pahami. Bukannya melindungi, robot justru bisa membuat rasa takut dan curiga tumbuh.
Kebijakan Bukan Hanya Soal Canggih
Dalam kajian administrasi publik, sebuah kebijakan tidak cukup dinilai dari sisi kecanggihannya saja. Yang lebih penting adalah apakah kebijakan itu berpihak pada masyarakat, disusun secara partisipatif, dan berkeadilan. Kalau robot polisi dijadikan program nasional tanpa adanya uji coba terbuka, tanpa melibatkan publik, dan tanpa analisis kebutuhan yang kuat, maka bisa dibilang kebijakan ini elitis. Sekadar hasil keputusan di ruang rapat para pejabat, tanpa menyentuh langsung kenyataan hidup masyarakat di akar rumput.
Pemerintah seharusnya mulai dari pertanyaan mendasar, apa yang paling dibutuhkan rakyat saat ini? Bila yang paling dibutuhkan rakyat adalah air bersih, akses kesehatan, dan pendidikan yang layak, maka itulah yang seharusnya didahulukan dalam perencanaan anggaran negara. Bukan tidak mungkin robot akan dilibatkan dalam tugas-tugas kepolisian di masa depan, selama situasi sudah mendukung dan kebutuhannya memang nyata serta mendesak. Namun saat ini, yang paling penting adalah mengarahkan perhatian pada kebutuhan nyata yang benar-benar mendesak dan langsung berdampak bagi kehidupan masyarakat.
Kembali ke Esensi Pelayanan Publik
Saya tidak menolak teknologi. Saya meyakini bahwa teknologi dapat memberikan dampak positif yang besar apabila digunakan secara bijaksana dan disesuaikan dengan situasi yang ada. Tapi kita juga harus bijak. Teknologi idealnya berfungsi sebagai pendukung, bukan justru mengalihkan perhatian dari persoalan-persoalan utama. Di tengah berbagai persoalan mendasar yang masih dihadapi bangsa ini, penerapan robot polisi bisa menimbulkan persepsi bahwa negara lebih menomorsatukan kemajuan teknologi ketimbang kesejahteraan warganya, memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana kehadiran negara benar-benar dirasakan oleh rakyat.
Sebagai mahasiswa sekaligus bagian dari masyarakat, saya berharap pemerintah mampu merumuskan kebijakan yang lebih relevan dengan kondisi nyata, membumi, dan berpihak pada keadilan sosial. Mari kita dorong kebijakan publik yang benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat, bukan sekadar membangun citra yang terlihat keren di permukaan.