Ettore Schmitz, lebih dikenal dengan nama pena Italo Svevo, adalah seorang pengusaha berpendidikan Austria-Jerman yang menghabiskan hidupnya di Trieste namun menulis dalam bahasa Italia. Ia sering melontarkan komentar lucu tentang perjuangannya dengan bahasa, mengklaim bahwa “dengan setiap kata Tuscan kami, kami berbohong.” Di usia enam puluh dua, nasib baik berpihak padanya: Zeno’s Conscience (1923) diterbitkan dan langsung menjadi fenomena, mengubahnya dari seorang yang “tidak ambisius” menjadi seseorang yang “hidup hanya untuk mengelola kejayaan saya sendiri.”
Novel ini adalah jurnal seorang pria yang menjalani psikoanalisis, diterbitkan oleh analisnya untuk mempermalukannya. Zeno, sang narator, dengan lugas menceritakan lima babak kehidupannya yang saling terkait: pertarungan melawan rokok, duka atas kematian ayahnya, kemitraan bisnis dengan suami saudara perempuannya, dan gaya hidupnya yang sederhana.
Namun, seiring cerita bergulir, narasi Zeno yang awalnya tegas perlahan bergeser menjadi labirin keraguan. Ia mempertanyakan segala sesuatu, bahkan motif di balik usahanya untuk sembuh, dan dengan cerdik mencatat, “Saya percaya bahwa saya adalah satu-satunya di dunia ini yang, setelah mendengar saya ingin tidur dengan dua wanita cantik, akan bertanya: Sekarang mari kita lihat mengapa pria ini ingin tidur dengan mereka.”
Ironisnya, Zeno mengakui bahwa “Pengakuan dalam tulisan selalu merupakan kebohongan,” namun novelnya yang berbentuk pengakuan justru memukau. Hal ini karena suara Zeno berhasil menjadi menarik sekaligus membingungkan. Meskipun ia berniat sederhana — menjelaskan kejadian dan alasannya — karakter Zeno jauh dari lugu. Ia licik, bernafsu, iri, malas, dan mudah teralihkan.
Namun, justru kelemahan-kelemahan manusiawinya inilah yang membuat narasinya begitu menggugah. Zeno menampilkan kejujuran yang paradoks: ia tulus kepada dirinya sendiri dan pembaca, meskipun mungkin tidak kepada istri dan teman-temannya. Ia bahkan sering memuji teman-temannya meski menipu mereka. Daya tarik utamanya terletak pada erotisme seorang narator yang secara intim membicarakan dirinya sendiri.
Kisah-kisah Zeno penuh dengan liku-liku tak terduga. Salah satu yang paling menonjol adalah kisah pernikahannya. Zeno mulanya terpikat pada empat putri cantik seorang pengusaha, semuanya bernama “A”. Namun, setelah mengevaluasi kecocokan masing-masing (satu terlalu muda, satu “juling”, satu fokus karier, satu lagi paling tidak ideal), ia justru berakhir menikahi saudari perempuan yang tidak pernah ia bayangkan. Yang mengejutkan, setelah bertunangan, ia merasakan harapan yang tak terduga.
Pernikahan mereka berjalan memuaskan, setidaknya karena Zeno jujur tentang hampir segalanya (kecuali perselingkuhan) dan istrinya memercayainya. Meskipun mungkin terlihat tidak konvensional menurut standar tertentu, hubungan Zeno dan Augusta adalah contoh pernikahan yang menyenangkan dan saling menguntungkan dalam novel, membuat pembaca ikut menyetujui pilihan Augusta.
Salah satu aspek yang paling memikat dari Zeno adalah kontradiksi dalam karakternya. Meskipun ia jelas seorang individu yang tidak stabil, ia juga memiliki daya pikat yang luar biasa. Daya tarik utamanya terletak pada kemampuannya mengamati paradoks perilaku manusia, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain. Zeno memiliki kepekaan yang tajam terhadap absurditas dan kompleksitas emosi manusia.
Dalam satu momen, ketika ia diminta membantu seseorang yang ia tahu tidak akan bertanggung jawab atas urusannya sendiri, Zeno berkata, “Jika saya lebih tenang, saya akan berbicara kepadanya tentang ketidaklayakan saya untuk tugas yang dia berikan kepada saya, tetapi saya akan menghancurkan semua emosi yang tak terlupakan saat itu. Dalam kasus saya, saya sangat tergerak sehingga saya tidak merasa ketidaklayakan saya ada untuk siapa pun.”
Kutipan ini secara sempurna menggambarkan inti Zeno: ia selalu melakukan hal-hal yang tidak rasional, eksotis, bahkan merusak diri sendiri, karena ia menikmati besarnya perasaan yang terlibat. Baginya, intensitas emosi lebih penting daripada konsekuensi logis. Perilakunya yang impulsif dan seringkali tidak masuk akal justru menjadi cerminan jujur dari gejolak batin yang dialami banyak orang, sehingga membuatnya terasa sangat manusiawi dan mudah dihubungkan.
Retrospeksi Zeno dalam novel membawanya ke tahun 1915, di tengah gejolak Perang Dunia Pertama. Ia mengirim keluarganya ke Tuscany dan memilih untuk menghadapi perang di Trieste. Pada titik ini, Zeno telah dengan cermat menceritakan detail kehidupannya sekaligus merenungkan hakikat psikoanalisis itu sendiri.
Ia mendalami konsep introspeksi, ingatan, kesehatan, dan penyakit, menghasilkan pidato penutup yang luar biasa. Bagian penutup ini bukan hanya memberikan pandangan reflektif yang mendalam atas keseluruhan novel, tetapi juga berhasil mengubah materi-materi yang tampak sederhana menjadi sesuatu yang profound dan berarti.
Saya berpendapat bahwa Zeno’s Conscience bukan hanya dirayakan, tetapi juga membentuk trio mahakarya modernisme ortodoks bersama dengan The Trial dan Ulysses. Dalam ketiga karya ini, kesadaran akan perjalanan waktu dan penguraian kesadaran itu sendiri jauh lebih penting daripada cerita atau elemen plot konvensional. Zeno’s Conscience menyelami kehidupan Zeno—istri, selingkuhan, bisnis, spekulasi, tipu daya, dan seks—dengan cara yang seringkali lebih berani dan tak tahu malu dibandingkan, misalnya, The Trial.
Ini seolah tak terhindarkan bahwa Freud, dengan eksplorasi psikologisnya, pada akhirnya akan bertemu dengan narasi ala Boccaccio yang kaya akan intrik dan realisme manusia, dan pada akhirnya, seolah-olah narasi yang kuat dan manusiawi ala Boccaccio-lah yang menang. Kedalaman psikologis yang disajikan Svevo melalui Zeno, ditambah dengan gaya penceritaannya yang jujur dan seringkali satir, menjadikannya salah satu pilar sastra modernis yang tak lekang oleh waktu.s