Rabu, Mei 21, 2025

Gen Z di Dunia Kerja: Tantangan Baru bagi Manajemen SDM

Khansa ZHB
Khansa ZHB
Mahasiswa semester 2 Jurusan Manajemen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -

“Mau kerja tapi gak mau disuruh.” Kalimat ini sering beredar di media sosial sebagai sindiran terhadap perilaku generasi Z di dunia kerja. Banyak atasan atau senior yang mengeluhkan perilaku anak muda yang dianggap sulit diatur, tidak tahan tekanan, dan terlalu idealis. Di balik itu, tersimpan kenyataan bahwa dunia manajemen sumber daya manusia (SDM) sedang mengalami pergeseran besar. Perubahan ini bukan sekadar soal gaya komunikasi, tetapi menyangkut nilai-nilai kerja, ekspektasi, dan relasi kuasa antara atasan dan bawahan.

Siapa Gen Z, dan Apa yang Mereka Bawa ke Dunia Kerja?

Generasi Z—mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012—merupakan generasi pertama yang tumbuh dan berkembang bersama internet, media sosial, serta kemajuan teknologi digital. Kini mereka mulai memasuki dunia kerja dengan membawa karakteristik sebagai digital native, sangat vokal dalam menyuarakan isu kesehatan mental, serta menjunjung tinggi fleksibilitas dan makna dalam pekerjaan.

Perlahan, mereka menggantikan generasi milenial yang kini banyak menduduki posisi manajerial. Namun, Gen Z sering kali merasa bahwa sistem kerja konvensional terlalu kaku, tidak memberi cukup ruang untuk berekspresi, dan bahkan cenderung eksploitatif, sehingga memunculkan tuntutan akan perubahan budaya kerja yang lebih adaptif dan manusiawi.

Sebuah survei oleh McKinsey & Company (2022) mencatat bahwa 75% Gen Z lebih memilih pekerjaan yang sejalan dengan nilai-nilai pribadi mereka, ketimbang sekadar stabilitas finansial. Lebih dari 60% menyatakan pentingnya kesehatan mental dan keseimbangan hidup (work-life balance) sebagai faktor utama dalam memilih pekerjaan. Ini tentu bertabrakan dengan budaya kerja generasi sebelumnya yang menekankan loyalitas jangka panjang, hierarki tegas, dan kerja keras sebagai jalan menuju kesuksesan. Maka wajar, jika banyak organisasi merasa “kewalahan” menghadapi generasi baru ini.

Fenomena ini memunculkan tantangan besar bagi manajemen SDM: bagaimana mengelola karyawan yang menolak dikontrol, tetapi tetap ingin produktif dan dihargai?

Alih-alih menyebut Gen Z “manja” atau “malas”, pendekatan yang lebih produktif adalah memahami apa yang sebenarnya mereka cari. Survei Deloitte Global Gen Z and Millennial Survey 2023 menunjukkan bahwa 49% Gen Z menolak bekerja di tempat yang tidak sejalan dengan nilai pribadi mereka, dan lebih memilih perusahaan yang memberi perhatian pada isu sosial, lingkungan, dan kesehatan mental. Ini menunjukkan bahwa loyalitas generasi muda tidak lagi sekadar dibeli dengan gaji tinggi atau tunjangan mewah. Mereka mencari tempat kerja yang memberi makna dan penghargaan atas eksistensi mereka sebagai manusia, bukan sekadar alat produksi.

Manajemen SDM tidak bisa lagi sekadar mengandalkan struktur komando-top-down. Model kepemimpinan yang hanya fokus pada target tanpa memperhatikan kebutuhan psikologis karyawan akan ditinggalkan. Saat ini, manajer perlu menjadi coach, bukan hanya bos; menjadi fasilitator, bukan diktator. Model kepemimpinan partisipatif dan empatik menjadi lebih relevan. Dalam studi oleh Gallup (2023), disebutkan bahwa karyawan muda yang merasa didengarkan oleh atasannya 4 kali lebih mungkin untuk tetap bertahan di perusahaan dan 3 kali lebih mungkin merasa puas terhadap pekerjaan mereka.

Artinya, pendekatan manajerial perlu bergeser dari “mengatur” ke “memfasilitasi”. Pemimpin bukan lagi bos yang menginstruksikan, tapi coach yang membimbing. Struktur kerja juga harus mulai mengakomodasi kebutuhan akan otonomi, kolaborasi, dan kesempatan belajar yang berkelanjutan. Strategi seperti job crafting (karyawan diberi ruang mendesain pekerjaannya), fleksibilitas jam kerja, hingga partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan dapat menjadi solusi. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan keterlibatan karyawan, tetapi juga menciptakan rasa kepemilikan terhadap pekerjaan.

Mengapa Banyak Gen Z “Gampang Resign”?

Fenomena lain yang dikeluhkan perusahaan adalah kecenderungan Gen Z untuk berpindah-pindah pekerjaan. Istilah “quiet quitting” atau bahkan “quick quitting” mulai populer, menggambarkan kondisi di mana karyawan muda keluar dalam hitungan bulan sejak diterima. Namun penyebabnya bukan sekadar “tidak tahan banting”.

Menurut laporan LinkedIn Workforce Report (2023), alasan utama Gen Z resign adalah kurangnya kejelasan peran, tidak adanya kesempatan berkembang, serta lingkungan kerja yang toksik secara budaya atau emosional. Mereka menuntut transparansi, apresiasi, dan pengembangan diri. Perusahaan yang gagal menyediakan ruang itu akan ditinggalkan, tak peduli seberapa besar gaji yang ditawarkan.

- Advertisement -

Apa yang Bisa Dilakukan?

Perusahaan dan lembaga yang ingin tetap relevan harus melakukan beberapa hal berikut:

  1. Redesain Struktur KerjaBerikan fleksibilitas, kesempatan kerja jarak jauh, jam kerja yang adaptif, serta otonomi dalam menjalankan tugas.
  2. Bangun Budaya Kerja Inklusif dan TerbukaRuang diskusi antara karyawan dan manajemen harus dua arah, bukan sekadar formalitas.
  3. Fokus pada Pengembangan DiriProgram mentoring, pelatihan berkala, hingga jalur karier yang jelas menjadi daya tarik utama bagi Gen Z.
  4. Perhatikan Kesehatan MentalSediakan fasilitas seperti konseling kerja, cuti fleksibel, dan lingkungan kerja yang sehat secara psikologis.

Apakah Semua Perusahaan Siap?

Masalahnya, tidak semua organisasi siap berubah. Banyak perusahaan, terutama di sektor pemerintahan atau industri tradisional, masih mempertahankan struktur hierarkis kaku. Akibatnya, ketegangan antara atasan dan karyawan muda makin besar, berujung pada high turnover dan minimnya inovasi.

Perusahaan perlu menyadari bahwa regenerasi tenaga kerja bukan sekadar urusan rekrutmen, tapi juga perubahan pola pikir manajerial. SDM bukan hanya soal kompetensi, tapi juga relasi dan dinamika sosial di tempat kerja.

Saatnya Adaptasi, Bukan Menyalahkan

“Mau kerja tapi gak mau disuruh” bukan tanda kemalasan, tapi sinyal bahwa struktur lama tidak lagi memadai. Dunia kerja tidak sedang menghadapi generasi yang lemah, melainkan generasi yang menuntut cara kerja yang lebih manusiawi, adil, dan bermakna.

Adaptasi bukan pilihan, tapi keharusan. Jika manajemen SDM gagal menjawab tantangan ini, maka mereka bukan hanya akan kehilangan talenta terbaik, tetapi juga tertinggal dalam kompetisi global yang semakin kompetitif dan dinamis.

Khansa ZHB
Khansa ZHB
Mahasiswa semester 2 Jurusan Manajemen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.