Sabtu, Mei 10, 2025

Tarif Trump dan Sentimen Anti-Amerika

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Di tengah hiruk pikuk Perang Dunia Kedua, jauh dari medan tempur yang mencekam, para prajurit Amerika yang ditempatkan di Italia merindukan sentuhan familiar dari rumah—terutama secangkir kopi yang menghangatkan. Namun, espresso lokal yang disuguhkan terasa terlalu keras, pahit menusuk lidah yang terbiasa dengan cita rasa kopi Amerika yang lebih lembut.

Di sinilah, di tengah kerinduan dan kebutuhan, sebuah inovasi sederhana namun berdampak lahir. Para serdadu ini menemukan cara cerdik: menyiramkan air panas ke dalam espresso pekat. Lahirlah minuman baru yang lebih bersahabat di lidah, sebuah oase rasa yang mengingatkan mereka pada kopi kampung halaman. Minuman inilah yang kemudian kita kenal sebagai Cafe Americano, atau Americano, yang kini mendunia, sayangnya, kecuali di Kanada.

Namun, gelombang perubahan tak terduga menerjang lanskap perkopian Kanada pasca pemberlakuan tarif oleh pemerintahan Trump. Americano, yang dulunya diterima begitu saja, kini mendapatkan identitas baru, sebuah nama yang mencerminkan sentimen nasional: Canadiano.

Kisah secangkir kopi ini hanyalah permulaan dari efek domino tarif Trump. Awalnya, dampaknya terasa samar: sebuah toko kelontong di Denmark memasang papan bertuliskan “Beli produk lokal”; sebuah butik Prancis diam-diam mengganti koleksi celana jeans Levi’s; pasar-pasar di Kanada menarik botol-botol bourbon Amerika dari rak mereka, dan tentu saja, mengganti nama kopi Americano. Kemudian, gelombang protes digital mulai bergulir melalui tagar-tagar seperti #BoycottUSA, #boikotprodukamerika, #selamattinggalbuatanAmerika.

Tak lama berselang, boikot skala penuh pun terjadi, menyasar berbagai produk dan merek ikonik Amerika: mulai dari mobil listrik Tesla, minuman bersoda Coca-Cola, keripik kentang Pringles, restoran cepat saji McDonald’s, hingga layanan streaming Netflix yang mendunia. Produk-produk Amerika tiba-tiba menjadi barang tabu, menghilang dari rak-rak toko dan tercoret dari daftar belanja serta daftar keinginan konsumen.

Ironisnya, tahun sebelumnya, LCBO (Liquor Control Board of Ontario) mencatatkan penjualan hampir $1 miliar untuk anggur, bir, sari buah, seltzer, dan minuman beralkohol Amerika, termasuk lebih dari 3.600 produk dari 35 negara bagian AS. Namun, hari ini, setiap satu pun dari produk-produk tersebut telah lenyap dari peredaran.

Gelombang penolakan terhadap produk Amerika Serikat semakin meluas, dan Denmark menjadi negara terbaru yang turut serta. Dipicu oleh keinginan kontroversial Presiden Trump untuk mengakuisisi Greenland, wilayah otonom yang berada di bawah kedaulatan Denmark, kemarahan publik di negeri Skandinavia tersebut meluap. Sebagai respons, supermarket-supermarket di Denmark gencar mempromosikan produk-produk lokal sebagai alternatif. Sebuah ironi tersendiri muncul dengan adanya aplikasi—yang sebagian besar justru berasal dari Amerika—yang membantu konsumen mengidentifikasi asal-usul produk pertanian. Lebih jauh lagi, komunitas daring di Facebook bermunculan, menjadi wadah bagi para konsumen untuk berbagi tips dan trik dalam menghindari produk-produk buatan AS.

Fenomena boikot ini juga tercermin dalam tren daring. Di Google, sebuah perusahaan teknologi raksasa asal Amerika, frasa “boikot AS” menduduki puncak popularitas pencarian. Lima negara terdepan dalam tren ini adalah Denmark, Kanada, Prancis, Swiss, dan Swedia. Sebuah survei yang dilakukan di Kanada bulan lalu menunjukkan bahwa 85% responden berencana untuk mengganti produk-produk Amerika dengan alternatif lain, dan banyak di antaranya mengaku telah melakukannya.

Sentimen serupa tampaknya melanda berbagai belahan dunia, dan dampaknya mulai terasa signifikan pada penjualan produk dan merek Amerika, terutama Tesla. Perusahaan mobil listrik inovatif yang didirikan oleh teman dekat Trump, Elon Musk, ini menjadi salah satu target utama boikot. Menjelang rilis laporan keuangan triwulanannya, para investor bersiap menghadapi potensi penurunan angka penjualan. Proyeksi menunjukkan penjualan antara 355.000 hingga 360.000 unit, yang merupakan penurunan sebesar 7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Di Eropa, penurunan penjualan Tesla bahkan lebih mencolok, mencapai 49% dalam dua bulan pertama tahun ini. Ironisnya, penurunan ini terjadi di tengah pertumbuhan pasar kendaraan listrik secara keseluruhan. Lebih mengkhawatirkan lagi, toko-toko Tesla di berbagai negara juga menjadi sasaran vandalisme, semakin memperkuat indikasi sentimen negatif terhadap merek tersebut.

- Advertisement -

Situasi yang tergambar jelas menunjukkan arah yang kurang menggembirakan bagi produk-produk Amerika. Dan di jantung dari seluruh fenomena ini berdiri satu figur sentral: Donald Trump. Perang dagang yang ia lancarkan, yang seharusnya bertujuan untuk memperkokoh sektor manufaktur Amerika, justru berbalik arah, memicu gelombang tarif balasan dari berbagai negara dan menumbuhkan sentimen antipati internasional yang meluas. Meskipun demikian, Trump tampak tidak menunjukkan tanda-tanda gentar.

Namun, pertanyaan krusialnya adalah: mampukah perekonomian Amerika menanggung dampak dari perang dagang yang berkepanjangan ini? Sejarah mencatat bahwa dunia telah lama menggunakan kekuatan ekonomi sebagai senjata taktis. Boikot konsumen bukanlah fenomena baru; ia telah menjadi bukti bagaimana aktivisme masyarakat dapat mendorong perubahan yang signifikan. Akan tetapi, efektivitas dan daya tahan setiap boikot tidaklah sama.

Lalu, mampukah gerakan “Boikot AS” ini memaksa Trump untuk mengubah arah kebijakannya? Jawabannya sangat bergantung pada seberapa lama para konsumen dapat mempertahankan solidaritas dan komitmen mereka terhadap boikot tersebut. Yang pasti, saat ini, berbagai bisnis Amerika mulai merasakan tekanan ekonomi yang nyata. Tantangan yang mereka hadapi sangat jelas: mereka harus mampu beradaptasi dengan perubahan lanskap perdagangan global atau menanggung konsekuensi kerugian yang lebih besar. Beberapa perusahaan mungkin akan memilih untuk melakukan rebranding agar terlepas dari citra negatif produk Amerika, sementara yang lain akan fokus pada pasar domestik, berharap bahwa sentimen negatif internasional akan mereda seiring berjalannya waktu.

Kesimpulan yang paling penting dari fenomena ini adalah bahwa konsumen saat ini jauh lebih terlibat secara politik dibandingkan sebelumnya. Kita hidup di dunia di mana isi keranjang belanja seseorang dapat menjadi pernyataan politik yang kuat. Oleh karena itu, merek-merek dagang berada di bawah pengawasan publik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dan jika gerakan boikot ini terus mendapatkan momentum dan dukungan yang luas, bisnis-bisnis Amerika mungkin harus menghadapi kenyataan yang pahit dan menyadarkan. Terkadang, perang dagang terbesar tidak terjadi melalui penetapan tarif yang tinggi, melainkan melalui pilihan-pilihan yang dibuat oleh konsumen di jalur pembayaran.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.