Rabu, April 16, 2025

Ketika Dunia Medis Menjadi Tempat Pelecehan Seksual

Muhammad Husen
Muhammad Husen
International Relations Student, Tanjungpura University, Pontianak Reading and writing are part of my life. Have an interest in International Relations issues especially with regard to Geopolitics, Foreign Policy, and International Security. Instagram: oohseenn Email: huseinm022@gmail.com
- Advertisement -

Kasus pemerkosaan yang melibatkan Priguna Anugrah Pratama, seorang dokter dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi telah menjadi tamparan keras bagi dunia medis Indonesia. Tindakan keji ini tidak hanya mencoreng nama baik profesi kedokteran, tetapi juga mengguncang kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi masyarakat.

Profesi kedokteran yang seharusnya identik dengan nilai kemanusiaan justru tercoreng oleh tindakan amoral yang dilakukan oleh oknum dokter. Hal ini memunculkan kecurigaan di kalangan pasien bahwa mereka mungkin pernah menjadi korban pelecehan saat berada dalam kondisi tidak sadar, misalnya setelah dibius. Salah satu kasus yang mencuat adalah dugaan pemerkosaan oleh seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi dari Universitas Padjadjaran bernama Priguna Anugrah Pratama.

Kepolisian Daerah Jawa Barat mengungkap bahwa tersangka diduga memperkosa tiga orang korban dalam waktu berdekatan dengan menggunakan obat bius. Atas perbuatannya, ia dijerat dengan Pasal 64 KUHP dan diancam hukuman penjara maksimal 17 tahun. Kementerian Kesehatan merespons kasus ini dengan rencana mewajibkan tes kesehatan mental bagi seluruh peserta PPDS guna mencegah munculnya gangguan kejiwaan di kalangan calon dokter spesialis.

Kronologi kejadian bermula pada 18 Maret 2025, saat korban FA tengah menjaga ayahnya di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Tersangka meminta FA melakukan pemeriksaan kecocokan darah dengan alasan untuk keperluan transfusi. Korban kemudian dibawa ke ruang IGD di lantai 7 gedung MCHC dan diminta untuk berganti pakaian serta mengenakan baju operasi. Tanpa didampingi siapa pun korban disuntik dengan obat penenang midazolam hingga tidak sadarkan diri. Dalam kondisi itulah tersangka melakukan pemerkosaan.

FA tersadar sekitar pukul 04:00 WIB dan merasakan sakit pada kelaminnya ketika hendak buang air kecil. Ia kemudian menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya yang kemudian melapor ke pihak kepolisian. Tersangka akhirnya ditangkap pada 23 Maret 2025. Hasil penyelidikan lebih lanjut mengungkap bahwa pelaku tidak hanya melakukan pemerkosaan pada FA, tetapi juga dua korban lain pada 10 dan 16 Maret, yang juga merupakan pasien di RSHS.

Pihak kepolisian menyatakan adanya indikasi penyimpangan seksual dari tersangka dengan motif menyukai hubungan dengan korban yang tidak sadar. Oleh karena itu, pemeriksaan kejiwaan akan dilakukan terhadap pelaku. Kasus ini mengundang reaksi luas dari masyarakat termasuk mereka yang memiliki trauma serupa. Salah satunya adalah Rina (bukan nama sebenarnya) yang mengaku kembali mengalami kecemasan setelah membaca berita tersebut. Ia merasa terpicu karena pernah mengalami pelecehan oleh tenaga medis pada dua kesempatan berbeda.

Pelecehan pertama dialaminya pada tahun 2019 ketika berkonsultasi ke psikolog di puskesmas. Pada kunjungan pertama ia bertemu psikolog perempuan dan merasa nyaman. Namun pada kunjungan kedua, ia ditangani oleh dokter laki-laki yang mengaku sebagai pengganti psikolog. Pria tersebut kemudian menghubungi Rina secara pribadi lewat WhatsApp dan mencoba menjalin kedekatan tidak profesional bahkan mengajak ke rumah dan membicarakan hubungan seksual. Pengakuan bahwa ia bukan psikolog membuat Rina merasa tertipu dan trauma. Sejak itu, ia menghindari berkonsultasi dengan dokter laki-laki.

Kejadian kedua terjadi pada 2022 saat Rina dirawat karena TB paru. Dalam perawatan, seorang dokter pria kerap menyentuh bagian tubuhnya secara tidak pantas selama pemeriksaan. Rina merasa sangat terganggu dan akhirnya melaporkan kejadian tersebut kepada kepala perawat. Meski dijanjikan tindak lanjut tidak ada kabar lebih lanjut dari pihak rumah sakit. Ketika ia mencoba menanyakan kembali hanya dijawab bahwa dokter tersebut diberi peringatan keras tanpa bukti tertulis. Ketiadaan bukti membuat Rina enggan melapor ke polisi. Akibat berulangnya kejadian pelecehan, ia didiagnosa menderita PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Hingga kini, setiap kali menjalani pengobatan, Rina merasa cemas dan menghindari dokter laki-laki. Ia selalu meminta ditemani perawat perempuan atau mengusahakan diperiksa dokter perempuan.

Kasus kekerasan seksual oleh tenaga medis, seperti yang terjadi di RSHS Bandung, menggerus kepercayaan publik terhadap profesi kedokteran. Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Dedi Supratman, menyebut bahwa masyarakat menjadi lebih curiga terhadap dokter, terutama ketika mereka dalam kondisi tidak sadar atau sedang dibius. Pendapat serupa disampaikan oleh Diah Saminarsih dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), yang menyayangkan meluasnya rasa tidak percaya kepada dokter, mengingat jumlah dokter spesialis anestesi di Indonesia sangat terbatas. Ia juga menyoroti lemahnya sistem seleksi mahasiswa kedokteran, termasuk kemungkinan kebocoran dalam tes psikologis MMPI yang seharusnya mendeteksi gangguan mental.

Menurut Diah, pengawasan terhadap peserta PPDS seharusnya dilakukan oleh para dokter senior sejak awal pendidikan hingga masa praktik. Jika perilaku menyimpang tidak terpantau, hal ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan budaya permisif yang masih ada di dunia kedokteran. Oleh karena itu, perlu evaluasi menyeluruh terhadap proses pendidikan dan pengawasan tenaga medis agar kasus serupa tidak terulang di masa depan. Kasus ini juga menjadi peringatan penting bahwa ketimpangan relasi kuasa antara dokter dan pasien dapat menjadi celah terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual

- Advertisement -

Fenomena ini adalah tamparan keras bagi integritas profesi yang seharusnya menjadi tempat paling aman, terpercaya, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Dunia medis dibangun di atas fondasi etika dan sumpah untuk melindungi pasien, bukan justru menjadi ruang di mana kepercayaan dilanggar dan tubuh pasien menjadi objek eksploitasi.

Opini saya tegas, pelecehan seksual di dunia medis adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan tidak bisa ditoleransi dalam bentuk apapun. Profesi medis harus menjadi contoh tertinggi integritas, bukan berlindung di balik jas putih untuk melakukan kekerasan terselubung. Dalam menghadapi fenomena ini, masyarakat, institusi pendidikan, asosiasi profesi, dan pemerintah harus bergerak bersama untuk menciptakan sistem yang adil, transparan, dan berpihak pada korban.

Kini, masyarakat mulai mempertanyakan: Apakah rumah sakit masih bisa dipercaya? Apakah tenaga medis benar-benar menjalankan sumpah profesinya dengan etika dan empati? Tragedi ini memunculkan urgensi akan reformasi sistem pendidikan dan pengawasan dalam dunia kedokteran. Dunia medis tak lagi bisa bersembunyi di balik jas putih; sudah saatnya integritas menjadi bagian tak terpisahkan dari kompetensi.

Muhammad Husen
Muhammad Husen
International Relations Student, Tanjungpura University, Pontianak Reading and writing are part of my life. Have an interest in International Relations issues especially with regard to Geopolitics, Foreign Policy, and International Security. Instagram: oohseenn Email: huseinm022@gmail.com
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.