Kebijakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang akan menghidupkan kembali sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA mulai tahun ajaran 2025/2026 layak disambut sebagai koreksi strategis atas kebijakan kurikulum sebelumnya.
Penjurusan ini secara jelas mengoreksi arah dari Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 yang membuka ruang bagi pembelajaran lintas disiplin secara bebas tanpa batasan rumpun. Di tengah tantangan pendidikan yang menuntut kejelasan arah dan kedalaman akademik, kebijakan Prof. Abdul Mu’ti ini justru hadir sebagai rekonstruksi yang kontekstual, berbasis psikologi perkembangan, dan kompatibel dengan mekanisme seleksi pendidikan tinggi.
Argumentasi mendasar dari sistem penjurusan adalah kebutuhan akan struktur. Dalam teori perkembangan kognitif Jean Piaget, remaja usia SMA berada pada fase formal operasional, yakni mulai mampu berpikir abstrak, namun masih memerlukan kerangka dan batas yang jelas dalam pengambilan keputusan. Penjurusan di kelas X, XI, dan XII berfungsi sebagai struktur itu: membentuk disiplin akademik, mengorganisasi potensi, dan mengarahkan minat sesuai dengan kapasitas serta kecenderungan alami peserta didik.
Kebijakan ini juga akan terintegrasi dengan sistem Tes Kemampuan Akademik (TKA), sebagai pengganti Ujian Nasional. Siswa jurusan IPS hanya akan diuji dalam bahasa Indonesia, matematika, dan satu mata pelajaran rumpun sosial seperti geografi, ekonomi, sejarah, atau sosiologi. Sementara itu, siswa IPA cukup mengikuti TKA pada bahasa Indonesia, matematika, dan satu dari rumpun eksakta seperti fisika, kimia, atau biologi. Ini menghadirkan sistem evaluasi yang lebih relevan, terarah, dan minim beban yang tidak perlu.
Dari perspektif pedagogis, kebijakan ini memberi kejelasan orientasi akademik yang selama ini kabur akibat kurikulum yang terlalu bebas. Pembelajaran lintas rumpun yang terlalu terbuka justru memicu kebingungan identitas akademik siswa, dan pada akhirnya menghambat proses seleksi masuk perguruan tinggi yang mensyaratkan kekhususan bidang keilmuan. Penjurusan, dalam hal ini, bukanlah penyempitan, melainkan pematangan identitas akademik.
Sistem pendidikan ideal tidak hanya mendorong kebebasan, tetapi juga tanggung jawab. Penjurusan adalah bentuk konkret pembelajaran tanggung jawab akademik sejak dini. Siswa tidak sekadar mempelajari segala hal secara dangkal, tetapi diajak menekuni bidangnya secara lebih dalam dan bertahap. Prinsip deep learning akan lebih mudah terwujud dalam struktur kurikulum yang memiliki fokus dan kontinuitas.
Kritik yang menyatakan bahwa penjurusan membatasi kebebasan belajar perlu dibingkai ulang. Justru dengan adanya penjurusan, siswa dapat mengalami kebebasan yang lebih substantif, yakni kebebasan untuk berkembang dalam bidang yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Dalam psikologi pendidikan modern, intervensi diferensiasi semacam ini terbukti meningkatkan motivasi belajar, rasa percaya diri, dan kepuasan akademik siswa.
Dari sisi kesiapan perguruan tinggi, linearitas antara jurusan SMA dan TKA akan sangat membantu proses rekrutmen calon mahasiswa baru. Kampus akan menerima mahasiswa dengan profil akademik yang lebih solid, karena jalur belajar mereka sejak SMA sudah memperlihatkan fokus dan konsistensi. Ini penting untuk meningkatkan kualitas input mahasiswa dan efektivitas program pembinaan akademik di perguruan tinggi.
Dari sudut pandang manajemen sekolah, penjurusan memungkinkan distribusi sumber daya yang lebih tepat sasaran. Sekolah tidak harus memfasilitasi semua bidang secara merata, tetapi dapat mengalokasikan laboratorium, perpustakaan, dan tenaga pengajar secara lebih terfokus. Hasilnya adalah efisiensi anggaran dan peningkatan kualitas pembelajaran berbasis bidang.
Guru pun akan terbantu. Ketika mengajar siswa dalam satu rumpun minat, mereka dapat mendesain strategi pembelajaran yang lebih kontekstual, mendalam, dan menantang. Pembelajaran berbasis minat dan kecerdasan ini juga membuka ruang bagi pendekatan project-based learning yang lebih bermakna.
Sistem penjurusan juga memberi peluang besar bagi penguatan layanan bimbingan karier di sekolah. Sejak kelas X, siswa dapat dibimbing oleh guru BK untuk mengidentifikasi potensi, mengeksplorasi prospek karier akademik, dan menyusun portofolio belajar yang linier dengan aspirasi masa depannya.
Jika ingin mengantisipasi tantangan fleksibilitas, maka negara dapat menyediakan ruang lintas minat terbatas dalam bentuk mata pelajaran pilihan minor. Namun, itu tetap harus berada dalam kerangka penjurusan mayor yang dominan. Dengan demikian, kebijakan penjurusan tetap adaptif, tanpa kehilangan daya fokusnya.
Dalam kacamata global, Indonesia justru sedang menyelaraskan diri dengan praktik terbaik di negara-negara maju. Jerman, Belanda, Korea Selatan, dan Inggris telah lama menerapkan sistem penjurusan atau tracking di jenjang menengah. Perbedaan konteks sosial-budaya bukan alasan untuk menutup mata dari manfaat akademik yang nyata dari sistem ini.
Kebijakan Prof. Abdul Mu’ti bukan sekadar “kembali ke masa lalu,” melainkan langkah maju dengan pijakan ilmiah yang kuat. Yang diperlukan sekarang adalah eksekusi yang cermat: pelatihan guru, penguatan kapasitas guru BK, penyempurnaan asesmen diagnostik di awal SMA, serta komunikasi publik yang mendidik.
Pendidikan adalah jembatan antara masa kini dan masa depan. Penjurusan adalah kerangka yang membantu anak-anak kita menyeberanginya dengan arah yang jelas. Pendidikan yang baik bukan hanya memberi pilihan, tapi juga menunjukkan jalan.