Pada era ini, pendidikan tinggi merupakan salah satu pilar penting bagi pembangunan suatu bangsa. Kira-kira begitulah, mengapa pendidikan tinggi haruslah diuji dan dikembangkan dengan prinsip humanisme.
Sebab, pendidikan tinggi haruslah berperan dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Akan tetapi, gejolak kebijakan di dalam perguruan tinggi, terutama pada beberapa tahun terakhir, pendidikan tinggi Indonesia dihadapkan pada tantangan besar, yaitu paham neoliberal yang membunuh.
Henry Giroux, salah seorang pemikir pendidikan kritis asal Amerika, dalam bukunya Neoliberalism’s War on Higher Education (2016) sudah mewanti-wanti bahwa ideologi neoliberalisme akan terjadi di pendidikan tinggi.
Sederhananya, neoliberalisme adalah sebuah ideologi ekonomi yang menekankan pada peran pasar bebas dalam mengatur perekonomian. Jika dikontekstualisasikan di ranah pendidikan tinggi, neoliberalisme memicu terjadinya komersialisasi pendidikan. Singkatnya, pendidikan layaknya barang yang dapat diperjualbelikan.
Hal paling mentereng dari neoliberalisme di pendidikan tinggi adalah privatisasi pendidikan. Privatisasi pendidikan tinggi mencakup pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan tinggi dari pemerintah kepada pihak swasta. Perubahan pengalihan ini perlahan-lahan menciptakan pendidikan tinggi yang dehumanitatif, lantaran esensi pendidikan bukan tentang ilmu apa yang diperoleh, tetapi sebanyak apa uang yang dihasilkan.
Meningkatnya biaya pendidikan
Berkembangnya paham neoliberal di pendidikan tinggi secara halus dan bahkan tidak terlihat, pada dasarnya menyebabkan biaya pendidikan menjadi membengkak. Hal ini disebabkan oleh privatisasi pendidikan tinggi yang membuat pihak swasta bebas menentukan biaya pendidikan sesuai dengan mekanisme pasar.
Bahkan, menurut data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), biaya pendidikan di perguruan tinggi swasta (PTS) rata-rata lebih tinggi 40% daripada perguruan tinggi negeri (PTN). Hal ini tentu saja menjadi beban yang berat bagi masyarakat miskin dan rentan yang ingin mengenyam pendidikan tinggi.
Menurunnya akses pendidikan tinggi bagi masyarakat miskin dan rentan
Selain itu, meningkatnya biaya pendidikan menyebabkan akses pendidikan tinggi bagi masyarakat miskin dan rentan menjadi semakin menurun. Bayangkan saja, motto kampus sebagai pilar pembangunan bangsa sirna dan menghapus mimpi-mimpi besar anak-anak bangsa.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa hanya 26,7% penduduk usia 19-24 tahun di Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi. Padahal, dibandingkan Malaysia, Indonesia merupakan negara dengan jumlah perguruan tinggi paling banyak. Akan tetapi, akses pendidikan bagi putra dan putri bangsa sangat susah. Jika dilihat, angka di atas masih jauh dari target pemerintah sebesar 40% pada tahun 2024.
Berkurangnya peran pendidikan tinggi dalam mengembangkan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
Hasilnya, pengaruh neoliberalisme juga menyebabkan berkurangnya peran pendidikan tinggi dalam mengembangkan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Hal ini disebabkan oleh fokus pendidikan tinggi yang bergeser dari pengembangan kualitas sumber daya manusia menjadi pencapaian profit. Sebab, mahasiswa hanya dianggap sebagai klien dan konsumen. Perguruan tinggi tidak lebih dari perusahaan.
Pendidikan tinggi seharusnya berperan dalam mencetak lulusan yang memiliki kompetensi akademik dan keterampilan yang tinggi, serta memiliki nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang kuat. Namun, penerapan sistem neoliberal justru membuat pendidikan tinggi menjadi lebih individualistik dan kurang peduli terhadap masalah sosial dan kemanusiaan.
Dengan demikian, beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mereformasi pendidikan tinggi Indonesia, antara lain:
- Meningkatkan anggaran pendidikan tinggi dari pemerintah
Pemerintah perlu meningkatkan anggaran pendidikan tinggi agar dapat memberikan subsidi bagi masyarakat miskin dan rentan yang ingin mengenyam pendidikan tinggi.
- Menetapkan batas atas biaya pendidikan
Penetapan batas atas biaya pendidikan menjadi hal krusial agar biaya pendidikan tidak menjadi hambatan bagi anak-anak bangsa mengenyam pendidikan. Biaya pendidikan harus disesuaikan agat tidak terlalu mahal dan dapat dijangkau oleh masyarakat luas.
- Meningkatkan akses pendidikan tinggi bagi masyarakat miskin dan rentan
Akses pendidikan tinggi bagi masyarakat miskin dan rentan melalui berbagai program, seperti beasiswa, bantuan biaya pendidikan, dan pendirian perguruan tinggi negeri di daerah-daerah terpencil.
- Membangun sistem pendidikan tinggi yang lebih demokratis dan partisipatif
Sistem pendidikan tinggi yang demokratis dan partisipatif merupakan cita-cita utama dalam pendidikan. Pendidikan merupakan sarana yang penting bagi kehidupan. Sistem pendidikan tinggi yang lebih demokratis dan parsitipatif menciptakan agar semua pemangku kepentingan dapat terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Oleh karena itu, ancaman yang serius dari pengaruh neoliberlisme ke pendidikan tinggi Indonesia pada kenyataannya telah menimbulkan sejumlah dampak negatif. Perlu upaya untuk mereformasi pendidikan tinggi Indonesia agar dapat lebih inklusif, berkualitas, dan berdaya saing.
Sebab, reformasi pendidikan tinggi Indonesia merupakan tanggung jawab bersama untuk mewujudkan pembelajaran yang berbasis kemanusiaan. Dengan kerja keras dan komitmen bersama, kita dapat mewujudkan pendidikan tinggi yang berkualitas dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia.