Minggu, November 24, 2024

Penjelasan Sains Terkait Regulasi Stress

Susilawati
Susilawati
Mahasiswi Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -

Setiap orang pasti pernah mengalami stress, entah itu stress akibat masalah akademik, pertemanan, keluarga, atau yang lainnya. Bahkan, hal-hal kecil seperti suasana lingkungan yang bising pun dapat menyebabkan stress.

Segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya stress disebut dengan ‘stresor’. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2019, ada tiga macam stresor dalam kehidupan manusia, antara lain:

  1. Stresor fisik atau jasmaniah, dapat berupa rasa nyeri dan kelelahan fisik
  2. Stresor psikologi, dapat berupa kesepian, patah hati, serta iri hati.
  3. Stresor sosial budaya, dapat berupa PHK, perceraian, konflik, dan lain-lain.

Stresor-stresor tersebut akan menyebabkan beberapa perubahan pada otak kita. Adapun struktur pada otak yang berperan salah satunya adalah ‘Sistem Limbik’, dimana terdapat berbagai organ yang menyusun sistem tersebut, seperti amigdala, hipokampus, korteks limbik, hipotalamus, serta talamus.

Ketika kita terpapar oleh stresor (misalnya dimarahi oleh seseorang), amigdala, organ yang berfungsi dalam mengkoordinasikan emosi dan tingkah laku terutama pada kondisi terancam atau ketakutan, akan teraktivasi. Amigdala yang teraktivasi akan mengirimkan sinyal ke hipotalamus. Hipotalamus kemudian menghasilkan dua respon secara bersamaan.

Respon yang pertama, hipotalamus akan mengaktivasi sistem saraf simpatis yang berperan dalam respon melawan atau lari pada tubuh kita. Aktivasi sistem saraf simpatis ini akan memicu pelepasan hormon adrenalin dari kelenjar adrenal. Hormon adrenalin kemudian akan menyebabkan jantung berdebar-debar, nafas terengah-engah, pupil membesar, serta respon tubuh lainnya. Oleh karena itu, pada kondisi stress seperti sedang ketakutan atau terancam, seringkali jantung kita berdebar-debar. Hal ini merupakan reaksi yang normal pada tubuh kita.

Respon yang kedua, hipotalamus akan mengirimkan sinyal menuju kelenjar pituitari untuk memproduksi hormon adrenokortikotropik. Hormon ini selanjutnya akan mengirimkan sinyal kepada kelenjar adrenal untuk meningkatkan produksi hormon kortisol. Hormon kortisol kemudian akan menuju ke berbagai organ untuk menyediakan lebih banyak energi bagi tubuh, terutama jantung dan paru-paru karena pada saat kondisi stress yang terancam, jantung dan paru-paru kita bekerja lebih keras, seperti berdebar-debar dan nafas terengah-engah.

Selanjutnya, ketika stresor mulai berkurang dan kondisi stress menurun, tubuh akan melakukan feedback negatif berupa peningkatan aktivitas sistem saraf parasimpatis serta penurunan kadar kortisol sehingga tubuh kembali dalam kondisi tenang.

Akan tetapi, pada kondisi stress kronis, dimana stresor terus-menerus datang secara bergantian, amigdala akan terus teraktivasi sehingga akan terjadi disregulasi dan feedback negatif tidak lagi tercipta. Hal ini dapat mengarah kepada kondisi depresi pada seseorang.

Ketika seseorang berada dalam kondisi depresi, kadar kortisol dalam tubuh akan meningkat secara terus-menerus. Peningkatan kortisol ini dapat menyebabkan penurunan hormon dopamin dan serotonin yang berperan dalam emosi senang dan bahagia. Kondisi ini akan mempengaruhi bagian-bagian otak, seperti otak bagian depan yang berfungsi sebagai pusat motivasi dan berpikir. Hal ini dapat menjelaskan alasan mengapa orang depresi cenderung sedih, kehilangan minat, bahkan ada pikiran untuk mengakhiri hidupnya.

Ada salah satu pembahasan yang menarik mengenai alasan mengapa ada orang yang sensitif terhadap suatu stresor meskipun stresor yang diterima merupakan hal yang sepele. Hal ini disebabkan karena amigdala orang tersebut mudah teraktivasi, bisa jadi akibat adanya pengalaman-pengalaman masa lalu yang menyebabkan amigdala sering teraktivasi. Sehingga pada orang yang sensitif, amigdala akan lebih mudah teraktivasi yang kemudian akan menimbulkan reaksi-reaksi stress seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

- Advertisement -

Salah satu upaya yang bisa kita lakukan dalam mengatasi stress salah satunya adalah dengan cara relaksasi diri seperti mencium aromaterapi, aroma-aroma yang membuat kita rileks. Ternyata, rangsangan bau yang kita terima seperti bau dari aromaterapi akan mengaktifkan reseptor penghidu yang ada di dalam hidung kita.

Aroma ini kemudian akan diteruskan melalui saraf-saraf penghidu yang pada akhirnya dapat merangsang amigdala untuk mengirim sinyal tersebut ke hipotalamus. Hipotalamus kemudian akan melepaskan hormon bahagia seperti dopamin. Hal inilah yang menyebabkan kita merasa rileks dan senang ketika kita mencium aromaterapi.

Selain itu, meskipun kita sedang berada dalam kondisi stress, otak bagian depan kita yang berfungsi sebagai pusat berpikir masih dapat kita kendalikan. Hal ini dapat menjadi salah satu cara bagi kita dalam menangani serta mengelola stress, yaitu dengan mencoba untuk berpikir positif, mengalihkan pikiran kita ke hal-hal yang membuat kita senang, serta berusaha untuk kembali kepada spiritualitas kita seperti berdoa, dan lain-lain.

Daftar Pustaka

  1. Tortora GJ, Derrickson B. Principals Anatomy & Physiology 15th Ed. 2017.
  2. Kandel ER, et al. Principles of Neural Science 5th Ed. 2013.
  3. Bear MF, Connors BW, Paradiso MA. Neuroscience Exploring the Brain. 2015.
Susilawati
Susilawati
Mahasiswi Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.