Mary Shelley adalah istri Percy Bysshe Shelley (penyair era Romantis yang hebat) dan putri dari pasangan Mary Wollstonecraft (penulis A Vindication of the Rights of Women, yang meninggal beberapa hari setelah kelahiran Mary) dan William Godwin (seorang tukang polemik radikal dan penulis).
Frankenstein (1818) disusun dan ditulis ketika Mary berusia 19 tahun di bawah pengaruh suaminya dan Lord Byron. Saat itu mereka semua tinggal di tepi Danau Jenewa. Kedua penyair dan Mary, bersama rekan Byron, Dr. Polidori, telah membaca cerita hantu, dan memutuskan untuk mencoba menulis beberapa kisah.
Mereka lekas bosan dengan tugas yang mereka lakukan, namun Polidori dan Mary sukses berkarya. Novel Mary diterbitkan secara anonim dan sebagian besar pembaca menyangka Percylah yang menulisnya. Baru pada 1831, setelah kematian Percy dan kembalinya Mary ke Inggris, dia menerbitkan edisi atas namanya sendiri lengkap dengan penjelasan bahwa karya ini adalah tulisannya sendiri.
Frankenstein menantang para pembaca modern untuk menunda keraguan mereka karena Mary tidak merinci bagaimana Frankenstein sebenarnya menciptakan monster tersebut. Dia jauh lebih tertarik pada perasaan dan reaksi dibandingkan pada proses dan peristiwa. Dengan mengabaikan mekanismenya, Mary menggoda pembaca modern untuk mengabaikan aktualitas monster tersebut.
Kita tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan banyak penemu untuk melakukan eksperimentasi hingga inovasi, bahkan sesuatu yang relatif sederhana seperti membuat robot yang bisa berjalan menaiki tangga. Victor membutuhkan waktu dua tahun bekerja sendirian (bayangkan seorang mahasiswa pascasarjana merampok kuburan) untuk menciptakan makhluk yang bisa berpikir dan berkembang.
Namun kemustahilan sains bukanlah satu-satunya kesulitan. Reaksi Victor sendiri juga tidak masuk akal dan tidak disajikan dengan cukup hati-hati sehingga pembaca tertarik untuk berempati terhadap reaksi tersebut. Pengarang belum menemukan gaya prosa yang memberikan konteks obyektif pada perasaan para karakter—perasaan yang tinggi, rendah, agung, lembut, agung, tak tercampur. Dengan kata lain, ia adalah semacam sentimen-sentimen puitis yang diucapkan oleh karakter-karakter di dalamnya, yaitu ayah yang bijaksana, sahabat yang sempurna, remaja putri yang cantik dan berbudi luhur. Sebagian besar narasinya berbentuk dialog, namun itu lebih ideal daripada dialog dalam bahasa sehari-hari.
Bagi sebagian pembaca modern, novel ini dianggap gagal menggambarkan dan membangkitkan kengerian. Hal ini disebabkan oleh kegagalan gaya kepenulisan di satu sisi dan karena kegagalan teknik sebab pengarang terlalu sedikit membahas detail yang mengerikan di sisi lainnya. Ada yang menganggap suasana horor ini tidak penting. Meskipun secara obyektif kejadian-kejadian dalam novel ini sangat mengerikan—tiga pembunuhan, eksekusi yang salah, dan satu kematian lainnya. Karena alasan sensibilitas atau masa mudanya, pengarang memilih untuk tidak menjadikan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai tontonan.
Mengingat novel tersebut menjadi sensasi yang populer saat diterbitkan, ada kemungkinan bahwa kita sudah terbiasa dengan ide-ide tersebut dan membutuhkan sesuatu yang visual untuk mendapatkan reaksi. Sebagian besar cerita horor dari periode tersebut tidak tampak mengerikan bagi kita. Pengecualian agaknya berlaku untuk sejumlah lakon, semisal Titus Andronicus karya Shakespeare, The White Devil karya John Webster dan The Cenci karya Percy Bysshe Shelley. Ketiga drama ini terus terang menghasilkan rasa jijik bagi pembaca atau penonton.
Namun demikian, Frankenstein lebih maju dari Justine dalam pengertian bahwa Shelley (dan tokoh era Romantis lainnya) sedang berupaya agar berhasil menggambarkan ketakutan yang akan dirasakan dan diamati oleh pembaca. Para novelis realis abad ke-19 kemudian mengembangkan tulisan-tulisan Mary Shelley dan para penganut aliran Romantis lainnya untuk menerjemahkan pola pikir ini secara lebih rinci dan menempatkannya dalam konteks yang lebih biasa. Pendekatan ini membuat tulisan-tulisan itu lebih dapat dipercaya dan menghasilkan sensasi yang lebih besar.
Keberhasilan Frankenstein sebagai sebuah novel terletak pada kesederhanaan idenya. Manusia menciptakan makhluk mirip manusia, rangkaian peristiwa digerakkan dan narasi mengikutinya. Frankenstein adalah gagasan “konsep tinggi” pertama di era modern. Ide ini sebenarnya baru dan Mary serta teman-temannya menerimanya sebagai sebuah ilham atau produk intuisi. Itu bukan berarti gagasan novel ini tidak memiliki sumber.
Mary dan rekan-rekannya tersentuh dan terkesan oleh puisi panjang Coleridge “The Rime of the Ancient Mariner,” tentang teror orang-orang buangan. Mereka juga banyak dipengaruhi oleh gambaran hubungan antara Tuhan, Adam, dan Setan dalam The Lost Paradise karya Milton. Byron dan Shelley sama-sama menyatakan simpati terhadap Iblis dalam tulisan mereka. Mereka mengeksplorasi ide-ide Promethean yang mungkin secara tidak sengaja diisyaratkan oleh Milton.
Mary, bagaimanapun, tetap memihak atau berada di sisi Frankenstein dan keluarganya, meskipun dia membiarkan monster itu menyatakan pandangannya dan hasratnya yang tidak pernah terpenuhi. Meskipun Frankenstein berharap untuk bersatu kembali dengan orang-orang yang dicintainya setelah kematian mereka, namun masa depan monster itu adalah ketiadaan. Karena ia adalah ciptaan yang tidak alami, maka keadaannya yang terbuang tidak dapat diatasi dan diredakan.
Novel ini tidak mudah mengangkat subjek horor. Sebagian besar cerita hantu dan narasi horor muncul dalam waktu yang cukup cepat. Frankenstein bekerja dan hadir pada waktu yang pas di zamannya. Meskipun novel ini menyuguhkan tentang apa yang tidak boleh dilakukan jika Anda benar-benar ingin menakut-nakuti pembaca, Frankenstein adalah dokumen sosial luar biasa yang menggabungkan drama kehidupan Mary Shelley dengan ide-ide dan cara berekspresi saat dia menulis. Selain itu, Frankenstein menunjukkan kapasitas novel populer dalam mengubah cara masyarakat memandang sesuatu.
Salah satu aksioma tentang keberadaan manusia yang dikomentari monster itu, yang juga menentukan alur cerita novel, adalah gagasan bahwa “indra manusia adalah penghalang yang tidak dapat diatasi bagi persatuan kita” (the human senses are insurmountable barrier to our union).
Dengan kata lain, keanehan dan keburukan monster itu tidak bisa diatasi sehingga ia tidak mulus membentuk hubungannya dengan manusia. Ia hanya bisa hidup sendirian. Frankenstein barangkali merupakan novel pertama yang mengeksplorasi asumsi ini. Pembaca mau tak mau akan berempati dengan keadaan monster itu yang terisolasi, atau setidaknya merasakan simpati padanya. Pembaca didorong untuk bersekutu dengan Frankenstein melawan penciptanya.
Lewat gambaran suasana batin yang kental, novel ini tampil menentang pentingnya penampilan lewat cara-cara yang tidak dapat dilakukan oleh drama dan film. Frankenstein menggerakkan proses yang menciptakan dunia tempat kita hidup, di mana keburukan dan keanehan tidak menentukan keterasingan seseorang dan saat perlawanan terhadap penampilan yang tidak lazim dipandang sebagai sikap primitif yang dapat dikikis oleh pendidikan. Film Frankenstein edisi 1931 mendemonstrasikan efek serupa ketika pertama kali dirilis. Boris Karloff adalah monster sangat menakutkan, namun sifatnya yang penuh keakraban melahirkan kasih sayang.
Para penonton kontemporer hampir tidak melihat lagi gambaran dan kualitas yang menakutkan atau mengancam saat menyaksikan film Frankenstein. Hollywood sudah lama menggunakan kelainan wujud manusia sebagai hal menakutkan. Namun profil manusia yang menakutkan dalam film saat ini justru dianggap penuh pesona. Yang menakutkan bagi banyak orang sekarang adalah penampilan yang menipu, bukan penampilan yang mengungkapkan fakta. Kesuksesan sebuah novel hari ini terbuhul erat dengan empati, sebab ini mengubah cara pembaca merespons penampilan.