Tulisan ini ditujukan kepada individu-individu yang mengakui diri sebagai anggota setia keluarga besar Muhammadiyah. baik yang lahir dalam ikatan struktural atau kultural, tujuan akhir tulisan ini adalah merangkul mereka, membuka mata hati mereka, dan membangunkan kesadaran akan peran istimewa yang dimiliki.
Sebagai salah satu organisasi terbesar di Indonesia, Muhammadiyah selalu menunjukan peranan yang signifikan untuk masyarakat khususnya kader-kadernya. Bermula dari AUM nya, sampai Bidang Pendidikan pun memberikan kontribusi juga. Tanpa melihat latar belakang apapun, Muhammadiyah siap membantu masyarakat untuk keberlangsungan hidupnya.
Hal yang sangat sulit adalah ketika “kita” sebagai kader tidak melanjutkan kaderisasi di Muhammadiyah dalam hal ini ranting. Tidak kita pungkiri bahwa saat ini dakwah secara kultural adalah dakwah yang diperhitungkan, karena model dakwah ini dapat memobilisasi masyarakat akar rumput dalam proses doktrinisasi yang terjadi.
Revitalisasi sebagai Nilai Pembaharu
Era Kontemporer saat ini kita dituntut untuk selalu bisa beradaptif dengan berbagai pembaharuan yang datang. Begitupun dengan metode-metode dakwah yang ada, maka perlu adanya revitalisasi dakwah yang dalam hal ini adalah kultural.
Sebagai kader persyarikatan, kita juga dituntut untuk bisa bersaing atau beriringan dengan realitas yang ada. Tidak bisa dipungkiri dengan berbagai ideologi yang bermunculan menjadikan posisi Islam dipertanyakan, apakah tetap menjaga keotentikannya atau terbuka dengan ideologi yang ada? Penulis rasa kita perlu menggabungkan kedua hal itu dikarenakan Islam bersifat objektif (Kuntowijoyo, 2006).
Berangkat dari hal tersebut, penulis merasa perlu adanya revitalisasi yang dalam konteks ini adalah dakwah, baik kultural ataupun struktural. Karena dengan adanya perubahan kebutuhan, menjadikan revitalisasi ini penting dalam penerapan dakwah ke depannya. Sehingga ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita sebagai kader persyarikatan.
Metode pun demikian, menurut Nirwan Wahyudi AR (2020), perlu adanya sebuah perbedaan dalam menjalankannya. Dalam dakwah kultural perlu adanya perhatian terhadap kondisi dari target yang akan dituju secara objektif. Jikalau kita dakwah kepada Masyarakat yang sedang terhimpit ekonomi, maka pendekatan secara ekonomi lebih tepat.
Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto, bahwa Metode Dakwah Kultural sangat menghargai potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhuk budaya, sekaligus melakukan upaya dan usaha agar budaya tersebut membawa pada kemajuan dan pencerahan hidup sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Tak hanya metode, mediapun dalam menyampaikan dakwah adalah hal yang penting. Media adalah alat yang menjadi saluran untuk menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang sangat vital yang merupakan urat nadi dalam totalitas dakwah (Anshori, 2018).
Gaya Anakronis dalam dakwahpun harus menjadi modernis yang sebelumnya menggunakan pendekatan personal antara da’i dan mad’u diubah dengan diunggahnya dakwah melalui youtube (Santoso 2019). Hal seperti itu masih sulit dilakukan, mengingat, menurut Hamlan (2019), pengkaderan untuk memproduksi da’i tidak dilakukan secara masif dan kebanyakan hanya sekedar teori. Perlunya penguasaan dari berbagai ilmu-ilmu teknologi untuk menunjang keilmuan tabligh tersebut.
Kesadaran yang Tak Kunjung Usai
Muhammadiyah (Al-Hamdi 2020, Munfarida 2007), lahir atas dasar kesadaran dari penjajahan yang telah ada tiga abad sebelum Organisasi tersebut lahir. Tujuan KH. Ahmad Dahlan mendirikan persyarikatan ini salah satunya agar Islam dan kaum Muslim di Indonesia bisa bergerak maju melintasi modernitas Eropa dan tidak tertelan oleh zaman.
Jika pada akhirnya kesadaran tersebut telah usai, lantas akan dijajah oleh apalagi sehingga kesadaran tersebut muncul? Era Globalisasi saat ini telah membawa kita pada krisis identitas, yang dimana itu merupakan penjajahan di era saat ini. (Sukarwo 2017) dengan lahirnya berbagai ideologi baru, terciptalah bentuk-bentuk kebudayaan baru yang menuntut kita untuk merealisasikan proses pembumian Islam.
Problematika atas penjajahan tersebut juga akan memengaruhi dakwah kita juga, sebab pergeseran nilai-nilai Islam akibat kapitalisme, materialisme, dinamisme, dll sudah terjadi di depan mata kita (Santoso, 2019), permasalahan tersebut pada akhirnya akan menjadi tantangan kita jika kita memiliki kesadaran tersebut.
Tidak adanya kesadaran yang timbul akan berdampak kemudian hari. Saat ini dunia keilmuan sudah terdikotomis antara keilmuan barat dan timur. Sumber keilmuan dari masing-masing daerah seakan-akan mempunyai segmentasinya tersendiri. Padahal sebagaimana yang kita ketahui, perjumpaan produktif antara ilmu pengetahuan dan spiritual agama terjadi di era Rasul (Umar 2022).
Maka dari itu perlu adanya sebuah gerakan yang bersifat Ilmu Amaliah Amal Ilmiah (mengamalkan ilmu yang kita miliki dan amal yang kita lakukan berdasarkan ilmunya). Agar landasan dalam agama bisa diimplementasikan dalam setiap bentuk dakwah dalam Masyarakat.
Memasifkan GJDJ
Islam sebagai agama yang Rahmatal lil ‘alamin menjadikan umatnya senantiasa untuk berdakwah kepada siapapun, tak terkecuali kepada non muslim juga. Muhammadiyah senantiasa melakukan program-progam dakwah yang bersifat objektif, dalam arti tidak memandang latar belakang dari objek dakwah tersebut.
Mengutip Muhammadi et al. (2013), Muktamar ke-39 Muhammadiyah di Padang menghasilkan keputusan dengan adanya program persyarikatan jangka Panjang yaitu GJDJ (Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah). Program ini hadir dengan tujuan untuk menggalakkan kembali pembinaan kamaah dalam skup yang lebih kecil.
GJDJ ini merupakan tuntunan praktis bagaimana sikap atau langkah yang dilakukan ranting untuk bisa menyentuh Masyarakat akar rumput. Karena ranting sendiri merupakan garda terdepan persyarikatan dalam menyebarkan nilai-nilai amar ma’ruf nahi munkar, sehingga perlu dimasifkannya gerakan agar tujuan dari persyarikatan bisa dirasakan kebermanfaatnya kepada semua khalayak.
Dengan semua hal yang sudah dibahas dari awal sampai akhir, kita mau memilih yang mana? Antara mulai bergerak atau hanya diam seperti Laa Yamuutu wa la yahya.