Kita pasti sudah sering atau bahkan telah terbiasa mendengarkan seseorang menyebutkan kata “kosong” untuk angka atau nomor “0” atau nol. Misalnya, jika kita membeli pulsa di konter, penjual akan menanyakan nomor HP kita.
Misalkan nomor HP kita: 0813 2000 …. Dan kita akan mengeja atau menyebut: “nol delapan satu tiga dua nol nol nol ..”. Namun si penjual, untuk konfirmasi ulang, mengatakan: “kosong delapan satu tiga dua kosong kosong kosong”.
Contoh lain, seorang petugas puskesmas yang memanggil nomor antrian “003” menggunakan pengeras suara. Si petugas biasanya menyebutkan atau meneriakkan: “kosong kosong tiga”. Ini jelas salah, sebab yang betul adalah: “nol nol tiga”.
Kesalahan seperti ini sudah menjadi kebenaran, sebab di hampir setiap pemanggilan nomor urut atau penyebutan angka, di mana nomor “0” disebutkan sebagai “kosong”. Dan kesalahan semacam ini sudah merata di semua tempat, segala lini, bahkan di dalam acara-acara resmi pemerintahan/kenegaraan sekalipun.
Seperti ketika dalam acara pelantikan seorang pejabat di kantor pemerintahan, protokol atau sekretaris lebih dahulu membacakan surat pengangkatan atau surat keputusan (SK) yang pasti ada nomornya.
Misal SK pengangkatan pejabat di sebuah instansi dengan nomor: 302/PTK.02/2020, akan dibacakan oleh protokol sebagai: “tiga kosong dua garing PTK kosong dua”…dst. Si protokol sudah melakukan kesalahan yang fatal, dan semua hadirin tidak ada yang tahu, atau memang sudah tidak mau tahu? Padahal nomor 302 seharusnya dibaca dengan: “tiga nol dua”, malah dibaca: “tiga kosong dua”.
Syukurnya, angka tahun 2020, hingga sejauh ini masih dibaca dengan benar: “dua ribu dua puluh”. Tapi bukan tidak mungkin suatu saat nanti akan disebutkan dengan: “dua kosong dua kosong”.
Entah sejak kapan kesalahan dalam berbahasa ini terjadi, namun terus-menerus dibiarkan. Lembaga atau badan pemerintah yang berwenang mengawasi penggunaan bahasa mestinya dengan sigap meluruskan dan mengoreksi kesalahan-kesalahan berbahasa semacam ini, supaya tidak semakin berlarut-larut dan sulit untuk kembali ke kaidah berbahasa yang benar.
Nanti kalau presiden melantik pejabat tinggi setingkat menteri di Istana, ada baiknya kita memperhatikan bagaimana protokoler membacakan surat keputusan presiden tentang pengangkatan pejabat itu. Apakah dia tetap melakukan kesalahan dalam membaca angka “0” sebagai “kosong”? Jika iya, alangkah sangat memalukan ketika kesalahan ini bahkan terjadi di level tertinggi kenegaraan.
Padahal sejak dulu sudah ada jargon: “gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Tetapi sungguh mengherankan dan memalukan jika kesalahan mengucapkan angka 0 ini masih terjadi di mana-mana hingga saat ini.
Padahal “0” dan “kosong” itu adalah dua hal yang berbeda. Jika 0 (nol) adalah kata bilangan, maka “kosong” adalah adjektiva atau kata sifat. Maka ketika ada yang menyebut angka “0” dengan “kosong”, maka dia telah melakukan suatu kesalahan fatal yang bahkan bisa dikategorikan sebagai kebodohan.
Maka demi kehormatan bangsa dan negara, dalam hal ini bahasa persatuan kita, marilah membiasakan diri mengucapkan angka 0 sebagai “nol” – bukan “kosong”.
Dan mulailah kampanye ini ketika membeli pulsa di konter. Jika saat konfirmasi ulang si penjual menyebutkan angka “0” dengan “kosong”, jangan segan-segan mengoreksi dan menyuruhnya mengulangi menyebutkan dengan baik dan benar. Kalau dia tidak mau, batalkan saja membeli pulsa di konternya. Toh masih ada banyak konter penjual pulsa.