Kita sudah sering mendengar bahwa habib-habib yang hidup di Indonesia itu merupakan keturunan Rasulullah. Habib Bahar Smith mengatakan bahwa dirinya adalah keturunan Sayyidina Ali r.a. Tidak hanya Bahar Smith, namun habib-habib yang lain, dengan menggunakan panggilan habib, memastikan bahwa mereka memiliki nasab sampai ke Rasulullah. Karenanya beliau-beliau merupakan keturunan Rasulullah, maka sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia memuliakan mereka.
Kini klaim bahwa habib adalah turunan Rasulullah mendapat tantangan. Tantangan itu berasal dari seorang kyai yang bernama Imadudin Ustman al-Bantani dalam artikel hasil penelitiannya yang berjudul, Pengakuan Para Habib Sebagai Keturunan Nabi Belum Terbukti Secara Ilmiah.
Kyai Imaduddin Utsman sendiri adalah Ketua Fatwa Komisi MUI Banten dan Pengasih Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Cempaka Kresek Banten. Kyai Imad adalah kyai muda di lingkungan Nahdlatul Ulama yang produktif menulis kitab-kitab dalam bahasa Arab, salah satunya al-fikrah al-nahdliyyah fi usul wa al-furu’ Ahl Sunnah Wal-jamaah.
Dia berpendapat bahwa bahwa habib-habib di Indonesia mayoritas belum terbukti secara ilmiah memiliki jalur darah ke Rasulullah. Jelas, hasil penelitian Kyai Imaduddin Ustman ini akan menyengat banyak pihak sebab mendelegitimasi kaum habaib.
Tapi mengapa Kyai Imaduddin Utsman bisa berpendapat demikian? Mari kita lihat.
Para habib datang ke Indonesia pada tahun 1880an dan sejak itu mereka mengatakan bahwa mereka adalah kerutunan dari Rasulullah. Biasanya, mereka mengaitkan diri mereka dengan Ba’ Alawi, keturunan Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa al-Rumi bin Muhammad Naqib bin Ali al-Uraidli bin Imam Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Bakir bin Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Fatimah al-Zahra bin Nabi Muhammad.
Mereka ini, yang mengklaim dari arah Ba Alawi, menutu Kyai Imad, sebenarnya tidak melakukan assimilasi ke dalam penduduk pribumi, karenanya mereka dengan mudah dikenali publik.
Bagi Kyai Imad, keberadaan mereka di Indonesia tetap tidak mudah untuk dicarikan kaitannya secara keturunan dengan Rasulullah. Memang banyak kitab yang membahas Ba’ Alawi misalnya Nubzat Latifah fi Silsilati Nasabil Alawi karangan Zainal Abidin bin Alwi Jamalul Lail, Ittisalul Nasabil Alawiyyain wal Asyraf karangan Umar bin Salim al-Attas (abad 13) dan Syamsu al-dzahirah karangan Muhammad bin Husein al-Amasyhur (abad 13). Semua kitab ini menjadi sumber dan rujukan untuk ketersampaian nasab mereka ke Rasulullah.
Kata Kyai Imad, sayang sekali, kitab-kitab yang dijadikan rujukan dalam konteks mini adalah kitab-kitab yang ditulis pada abad 13 atau setelahnya. Bagaimana dengan kitab-kitab abad sebelumnya 10,11 dan 12 yang seharusnya mereka jadikan rujukan?
Kyai Imad menyatakan Alawi bin Ubaidillah adalah datuk Ba Alawi di Indonesia. Menurut Kyai Imad, beliau ini adalah urutan ke 12. Dari serangkaian nama ini, ada yang terputus. Menurut Kyai Imam, terputusnya nasab itu di rangkaian keturunan Ali al-Uraidli. Menurut penulusuran yang dilakukan Kyai Imad, kedudukan anak Ali al-Uraidli ini penting untuk menyambung pada Datuk para Habib di Indonesia, yaitu Alawi bin Ba Alawi.
Dari hasil penelitian Kyai Imad ini, atas hadis dan juga kitab-kitab nasab yang primer (utama), dia merasa kesulitan untuk mencari kesinambungan para habib di Indonesia untuk sampai pada Rasullulah karena tidak ditemukannya keterangan tentang rangkaian generasi yang sampai Ali al-Uraidhi.
Kyai Imad menyatakan bahwa keturunan Ali al-Uraidli tidak ditemukan pada sumber-sumber hadis dan pada abad 3 H di mana masa hidup Ali al-Uraidli kitab nasab belum tertulis. Kitab nasab baru ada sejak abad 5 dan menurut kitab ini memang Ali al-Uraidli memiliki keturunan empat, Muhammad bin Ali, al-Hasan bin Ali, Ja’far bin Ali dan Ahmad bin Ali (Tahdzhibul Ansab karya al-Ubaidili). Dalam berbagai kitab, meskipun berbeda soal jumlah anak, namun mereka berpendapat bahwa Ali al-Uraidli memang memiliki anak.
Anak Ali al-Uraidli yang menjadi perangkai habaib sampai Rasulullah, kata kyai Imad, ada pada Muhammad al-Naqib yang memiliki anak bernama Isa. Lalu Isa memiliki anak Ahmad Muhajir dan Ahmad Muhajir memiliki anak bernama Ubaidillah. Pada Ubaidillah inilah teka-teki terjadi apakah para habib kita memang benar-benar sampai pada Rasulullah atau tidak?
Kyai Imad lalu berpendapat bahwa berdasarkan Imam al-Fahrur Razi dalam kitabnya al-Syajarah al-mubarakah, Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa itu tidak terkonfirmasi. Lebih lanjut Kyai Imad mengatakan bahwa “penisbatan Ubadilillah sebagai anak Ahmad tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena kitab nasab tertua Tahdzib al-ansab (abad 5) dan al-Syajarah al-mubarakah (abad 6) tidak menceritakan Ahmad memiliki anak bernama Ubaidillah.
Memang ada kitab-kitab nasab yang menyebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa, namun menurut kyai Imad, itu tidak kuat karena adanya keperputusan riwayat. Nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa baru muncul pada abad 10 dan tak tersebut dalam kitab-kitab sebelumnya.
Apa yang dilakukan oleh Kyai Imad ini sangat menarik karena keberaniannya mengungkapkan hasil penelitiannya untuk dibaca oleh banyak kalangan termasuk kalangan Selain itu, topik yang dibahas juga merupakan topik yang sensitif.
Konstruksi tentang habib sebagai keturunan Rasullah yang sudah berabad-abad terbangun di Indonesia oleh kyai Imad berusaha untuk dipatahkan.
Sudah barang tentu akan banyak orang dan juga habib sendiri yang merasa bahwa penelitian kyai Imad ini mengada-ada dan ditujukan secara tendensius untuk menyerang pada habaib melalui penulusuran sejarah. Dan jika itu terjadi, maka bantahan pada Kyai Imad harus dituangkan pula dalam bentuk penelitian sejarah kerutunan Rasulullah di Nusantara ini.
Bagi saya, penelitian Kyai Imad ini bisa dikatakan sebagai model bagaimana santri atau kyai mempelopori model kerja ilmiah yang didasarkan pada data-data sejarah yang konkrit, bukan mitologis.
Bagaimana jika penelitian kyai Imad terbukti salah? Jika terbukti salah dan bukti salahnya juga menggunakan prosedur riset ilmiah, maka itu sangat wajar dan biasa terjadi. Tinggal nanti data dan argumen sejarahnya yang diadu di antara pelbagai temuan yang ada.
Namun jika penolakan atas penelitian Kyai Imad ini dilakukan dengan cara yang tidak ilmiah, misalnya, kecaman dan kekerasan, maka itu tidak bisa diterima. Penelitian harus dibalas dengan penelitian, itu pakemnya.
Sebagai catatan, konstruksi sejarah yang keliatannya mapan –termasuk tentang habib–pada dasarnya adalah bahan sejarah yang terus menerus terbuka. Mereka yang berminat akan mendalami dan meneliti dan hasilnya bisa saja berbeda dari sejarah yang mapan.