Tidak dapat disangkal bahwa vinyl dan piringan hitam adalah salah satu rilisan fisik yang bernilai lebih dari sekadar media untuk menyimpan lagu. Dalam beberapa tahun terakhir, tren koleksi rekaman Indonesia telah membantu memberikan ruang bagi musisi Indonesia untuk mempresentasikan karya mereka dalam format ini, karena hal ini memberikan dapat memberikan pengalaman yang berbeda dalam mendengarkan musik.
Benar atau tidaknya asumsi ini, piringan hitam memiliki nilai yang menarik. Terutama dari bagian sejarah format piringan hitam sebagai media penyimpanan lagu sudah dikenal dari generasi sebelumnya. Piringan hitam juga dikatakan memiliki daya tahan yang baik.
Piringan hitam dalam sejarah dunia tidak terlepas dari adanya sebuah popularitas yang dimulai ketika Thomas Alva Edison mengenalkan salah satu alat pemutar piringan hitam yang diberinama Phonograph.
Akan tetapi, dalam sejarah disebutkan bahwa orang yang pertama kali memberikan jasanya terhadap terciptanya piringan hitam yaitu Alexander Graham Bell. Dengan adanya keinginan dari Alexander Graham Bell tersebut dalam menyusun sebuah desain terkait piringan hitam ini dilandasi oleh adanya pengaruh pekerjaan ayahnya yang merupakan salah seorang ahli dalam bidang fisiologi vokal. Dengan pemahaman mengenai suara, hal tersebut menjadi sebuah aset penting yang dapat memberikan manfaat untuk masa depat, disisi lain Alexander juga tidak ada henti – hentinya dalam mencari cara untuk menciptakan sebuah medium perekam audio.
Selanjutnya, piringan hitam juga tidak luput masuk ke Indonesia. Pada saat itu, piringan hitam menjadi teknologi terbaru dalam perekaman audio. Seiring waktu, kaset muncul, diikuti oleh cakram optik padat atau CD. Keberadaan piringan hitam telah tergerus oleh era musik digital. Sangat sedikit orang yang suka mendengarkan musik pada piringan hitam. Bagi mereka itu adalah artefak yang dihormati waktu. Seiring roda waktu berputar sekarang piringan hitam kembali dalam fase tren lagi.
Tapi mungkin tidak banyak yang tahu kapan sisa-sisa industri rekaman dimulai di Nusantara. Pengamat musik Denny Sakrie menjelaskan bahwa industri musik sudah ada sejak zaman penjajahan, terutama sejak tahun 1905. Dari gedung-gedung di kawasan Passer Baroe atau Pasar Baru, Tio Tek Hong adalah seorang pria dari berbagai genre saat itu keroncong, gambus dan kasidah. Lagu ini direkam pada piringan hitam berukuran 10 inci. Ia kemudian mendistribusikan piringan hitamnya ke seluruh nusantara.
Setelah Indonesia merdeka, muncul beberapa industri musik rekaman. Pada tahun 1954, ia mendirikan Irama Records di Jakarta. Perusahaan ini didirikan oleh pensiunan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara bernama Suyono Carsono. Piringan hitam pertama yang dirilis di Irama Records adalah album Sarinande (1956) oleh The Progressif, sebuah band jazz yang dipimpin oleh Nick Mamahit (piano).
Pada tahun 1961 Irama Records merilis Last Night in Malaya dari Orkes Studio Djakarta. Rilisan ini merupakan piringan hitam stereo pertama di Indonesia. Musisi ternama saat itu seperti Bing Slamet dan Sam Saimun tak luput dari kerjasama Irama Records. Sayangnya, pada tahun 1967 Irama Records harus menghentikan produksinya. Setelah itu, Suyono Carsono mendirikan Radio Amatir dan menjadi operator dan pemancar. Dia memberi radio itu nama yang sama dengan putrinya El shinta.
Jejak industri rekaman Indonesia tidak terlepas dari peran Lokananta Studios di Kota Solo. Didirikan pada tanggal 29 Oktober 1956, Lokananta adalah bagian dari Radio Djawatan Republik Indonesia yang bertanggung jawab untuk memproduksi piringan hitam sebagai bahan materi siaran RRI di seluruh Indonesia.
Pada tahun 1959 Locananta akhirnya mendapat izin untuk menjual piringan hitamnya kepada publik. Lokananta terutama memproduksi rekaman lagu-lagu tradisional dari berbagai daerah seperti Gamelan, Klenengan Solo dan Yogyakarta serta Gending Bali.
Tidak hanya itu, karena Lokananta adalah perusahaan milik negara, pidato Presiden Sukarno juga direkam di sana. Bahkan, rekaman lagu kebangsaan Indonesia versi tiga bait yang kontroversial baru-baru ini, dikatakan disimpan di Lokananta. Nama-nama besar seperti Gesang dan Waldjinah merekam lagu mereka di sana.
Pada tahun 1961 Lokananta berubah status dari perusahaan jasa menjadi perusahaan negara. Pada tahun 2004 Lokananta berada di ambang kebangkrutan dan kepemilikan Lokananta dialihkan ke Percetakan Nasional Republik Indonesia (PNRI) cabang Surakarta. Bahkan hingga saat ini, gedung Lokananta berdiri sebagai saksi industri rekaman Indonesia. Namun selain mengembangkan industri musik digital, ia tidak banyak melakukan pekerjaan produksi.