Postkolonialisme muncul sekitar tahun 1960-an berdasar pada peristiwa sejarah dimana masa penjajahan pernah terjadi terhadap suatu negara. Postkolonialisme dapat dikatakan sebagai teori yang “melawan” teori-teori yang sudah mainstream. Mereka menyajikan sudut pandang baru, yaitu negara-negara yang termarginalkan karena efek dari kolonialisasi yang pernah meluas di dunia ini. Menurut mereka, teori-teori yang sudah ada di studi Hubungan Internasional terlalu Western-centric. Dengan ini, postkolonialisme melihat permasalahan dan isu-isu dalam hubungan internasional dari kacamata timur atau bangsa yang terjajah.
Postkolonialisme, dari akar kata post- + kolonial + –isme, secara harfiah berarti paham mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonial. Dasar semantik istilah postkolonial tampaknya hanya berkaitan dengan kebudayaan-kebudayaan nasional setelah runtuhnya kekuasaan imperial. Istilah postkolonial ini tak jarang juga digunakan untuk membedakan masa sebelum dan sesudah kemerdekaan (masa kolonial dan postkolonial). Secara umum, meski istilah kolonial telah digunakan untuk menyebut masa pra kemerdekaan. Istilah tersebut juga dipakai untuk menyebut masa setelah kemerdekaan.
Postkolonialisme berasal dari kata post yang artinya sesudah dan colonia yang artinya tanah pertanian atau pemukiman. Tonggak kelahiran teori postkolonial ditandai dengan terbitnya buku Edward W. Said (1978), Orientalism. Tesis utama buku karya Said tersebut menggunakan pendekatan hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan.
Teori postkolonial berupaya untuk merombak stereotip dunia Timur yang dikonstruksi Barat. Timur dalam teks-teks sejarah dan berbagai literatur ilmiah selalu diposisikan sebagai kelompok yang inferior, terbelakang, bodoh, kurang beradab, tidak rasional, dan tidak berkembang; sementara Barat diposisikan dalam posisi sebaliknya: superior, maju, cerdas, beradab, rasional, dan berkembang secara cepat.
Secara umum teori postkolonialisme sangat relevan dalam kaitannya dengan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang dikaji sangat luas dan beragam, meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan, diantaranya politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, kesenian etnisitas, bahasa dan sastra, sekaligus dengan bentuk praktik di lapangan, seperti perbudakan, pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa, dan berbagai bentuk invasi kultural yang lain.
Postkolonialisme mempermasalahkan perilaku-perilaku penjajah yang dianggap melampaui batas ataupun nasionalisme berlebihan yang menyebabkan ekspansi ke negara-negara lain. Menurut mereka, kolonialisme hanya akan menghasilkan superioritas yang bersifat semu karena perasaan senang telah menduduki tanah milik orang lain. Postkolonialisme mencakup tiga pokok bahasan utama: kekuasaan atau pengetahuan, identitas, dan perlawanan.
Jika kita melihat iklan-iklan produk kecantikan Indonesia saat ini, rasanya dampak postkolonialisme sangat terasa powernya terhadap kita warga Indonesia. Seperti teori dehumanisme yang diungkapkan oleh Frantz Fanon bahwa warga Indonesia sangat mendapatkan dehumanisme dari orang-orang Belanja pada era penjajahan. Para Belanda merendahkan serta menghilangkan harkat para pribumi yang juga menjadi landasan mengapa kita sering kali merasa tidak lebih baik dari orang-orang luar negeri.
Sebagai contoh, iklan-iklan produk kecantikan sering sekali memberikan kampanye bahwa pembeli bisa menjadi putih jika menggunakan produk tertentu. Ditambah lagi produk kecantikan dalam negeri yang saat ini juga gencar menghadirkan artis Korea sebagai Brand Ambassador produk mereka bahkan Scarlett menambahkan embel-embel “Whitening” pada penamaan produk mereka “Scarlet Whitening”. Memberikan kesan bahwa cantik itu harus putih. Sedangkan wanita Indonesia pada dasarnya memiliki kulit coklat yang indah, dan sawo matang, bukan putih pucat. Lalu, dari mana standar kecantikan ini berasal? Apakah Korea?
Ini juga menjadi pengetahuan baru bagi penulis, bahwasanya bahkan warga Korea sendiri memiliki standar kecantikan sedemikian rupa terutama putih, merupakan standar kecantikan yang diberikan Amerika pada era penjajahan. Ini membuka tabir dan begitu banyak fenomena bagaimana negara-negara penjajah memberikan power dan pengaruh yang sangat kuat kepada kita terutama warga Indonesia setelah era penjajahan bahkan hingga saat ini. Dari mulai seringnya kita berpikir bahwa diri kita sendiri tidak lebih baik dari orang luar negeri baik itu dari segi kecantikan, kemampuan berpikir, inteligensi, bahkan identitas diri sekalipun, hingga masih banyak lagi. Sehingga membuat kita tanpa sadar merasa insecure saat tidak sengaja bertemu dengan bule dijalan.
Tidak bisa dipungkiri sampai sekarang masih sering sekali kita mendengar bahwa cantik itu harus putih. Itu merupakan stereotip yang sangat kontradiktif sekali mengingat kulit asli masyarakat Indonesia yaitu sawo matang dan cenderung kecoklatan. Inilah standar kecantikan luar negeri yang kita terima di era kolonialisme, dan dampaknya masih kita rasakan pada post kolonialisme hingga saat ini.
Barat telah menciptakan serangkaian stereotip negatif mengenai Timur. Kita sebagai bangsa Timur, telah dipaksa menerima ilmu pengetahuan dari Barat, yaitu pengetahuan bahwa cantik berarti memiliki kulit berwarna putih. Akibat penjajahan yang kita alami, sebagian warga kita harus kehilangan identitasnya sebagai sebuah bangsa. Sering kali wanita Indonesia yang tidak memiliki kulit putih harus mengalami penderitaan secara psikologis, mereka merasa diri mereka adalah tidak cantik, inferior dan tidak mampu untuk berkembang.
Akibat kolonisasi, kita bangsa Indonesia seolah mengalami proses mimikri, kita meniru budaya-budaya yang telah dibawa dan ditularkan bangsa penjajah, akibatnya budaya kita saat ini mengalami hibridasi. Namun jangan sampai budaya asli kita hilang secara perlahan akibat percampuran budaya kita dengan budaya penjajah. Oleh karena itu, penulis berharap kita terutama wanita Indonesia tetap bersyukur dengan apa yang sudah diberikan kepada kita. Jangan merubah diri kita dengan standar kecantikan yang telah dibawa oleh Amerika. Terus bangga karena telah terlahir sebagai wanita Indonesia dengan kulit coklat yang indah dan eksotik.
Cantik mesti putih, mata estetik, hidung seperti jembatan, rahang yang lancip, tulang muka yang tirus, itu semua hanya standar kecantikan yang Amerika minta pada warga Korea saat menjajah negara tersebut. Lantas, mengapa kita juga secara tanpa sadar ikut standar kecantikan mereka? Saya rasa sudah waktunya wanita Indonesia bangkit dari stereotip negatif seperti ini. Kita harus merubah pandangan tersebut, bukan merubah kulit kita menjadi putih.
Namun penulis bersyukur masih banyak wanita Indonesia yang saat ini sudah sadar betapa cantiknya kulit alami kita. Betapa indahnya rambut alami kita yang keriting, tidak perlu panjang lurus. Dan pengetahuan bahwa produk-produk dengan tujuan memutihkan perlahan mulai dikecam dan ditolak wanita Indonesia. Tidak seperti Korea yang justru semakin gencar mengejar standar kecantikan itu dengan melakukan plastic surgery. Terbukti dengan banyaknya rumah sakit-rumah sakit yang memang memberikan jasa operasi plastik disana.