Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat formil karena pembentukannya bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah juga menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Karena itu, MK memerintahkan pembentuk undang-undang melakukan perbaikan dalam tenggang waktu maksimal dua tahun sejak putusan dibacakan.
Jauh sebelum disahkan, UU Cipta Kerja atau Omnibus Law mengundang reaksi geram berbagai pihak. Salah satu reaksi penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja ini berasal dari pakar hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar menyerukan pembangkangan sipil. Hemat Zainal pengesaan undang-undang ini tidak hanya memiliki cacat formalitas karena draf UU Cipta Kerja tidak dibagikan pada anggota yang hadir tapi juga dibuat tanpa partisipasi publik.
Gagasan pembangkangan sipil ini mengingatkan saya dengan esai dengan judul yang persis sama, Civil Disobedience (Pembangkangan Sipil), ditulis oleh seorang sastrawan transendentalis Amerika pada 1848, Henry David Thoreau. Sebagai sastrawan, Thoreau tidak hanya menulis Walden, karya liris yang menjadi mahakaryanya tapi juga esai ringkas berjudul Civil Disobedience, yang menegaskan bahwa ketika seorang presiden Amerika Serikat mengambil jalan salah maka warga negara yang baik memiliki kewajiban untuk memprotes. Ini adalah keniscayaan demokrasi.
Kehendak mayoritas
Lewat esai ini, Thoreau menghantam apa yang menjadi sesat pikir Presiden Amerika Serikat di saat itu James Knox Polk. Karena mendapatkan suara mayoritas, menurut Polk dan juga pandangan umum yang berlaku saat itu, siapa pun yang menentang Polk harus diam. Warga negara yang baik perlu mengesampingkan keberatannya dan menghormati kehendak mayoritas.
Inilah yang ditentang oleh Thoreau. Menurutnya, para patriot sejati bukanlah mereka yang membabi-buta mematuhi pemerintah yang berkuasa tapi orang-orang yang mengikuti hati nurani (conscience) dan prinsip akal sehat (the principle of reason). Ia ingin mengembalikan martabat politik dari kepatuhan buta kepada pikiran merdeka. Atas dasar independensi pikiran ini, Thoreau mencela, di antaranya, Perang Amerika-Meksiko dan repatriasi budak-budak kepada para pemiliknya di kawasan Selatan.
Simbol dari perlawanannya terhadap Presiden Polk memuncak dengan penolakannya membayar pajak di Massachusetts. Sungguhpun dibui atas tindakannya ini, namun ini tak menggentarkannya. “Di bawah pemerintahan yang memenjarakan siapa pun secara tidak adil,” tegasnya, “tempat sebenarnya bagi orang yang adil (dan menginginkan keadilan) adalah juga penjara” (Under a government which imprisons any unjustly,” he asserted, “the true place for a just man is also a prison.”).
Resistensi Thoreau ini sangat relevan dengan atmosfer dan realitas politik di Tanah Air hari ini. Keegoan politik mayoritas di tubuh pemerintah berbuah redupnya asas keadilan dan transparansi yang demokratis, seperti yang nyata terlihat sejak pembahasan draf RUU Cipta Karya.
Dengan sokongan 60.69% kursi di DPR, pemerintah dan parlemen mengabaikan minimnya sosialisasi dan tertutupnya ruang kritik dan masukan mengakibatkan publik tak paham dengan substansi draf RUU Cipta Karya sebagai produk yang hendak dikritisi. Yang terlihat adalah sikap grabak-grubuk membuat kebijakan di tengah pandemi di saat maut mengancam nyawa.
Sungguh ironis, undang-undang yang diklaim sebagai terobosan legislatif terbesar sepanjang sejarah parlemen—karena mengubah 76 undang-undang yang berlaku dengan ketebalan mencapai 905 halaman (lalu bertambah menjadi 1035 halaman dan terakhir menyusut menjadi 812 halaman dengan alasan perubahan tata letak halaman) lebih dari 90 persen dirancang untuk merangsang investasi dalam dan luar negeri dengan menghilangkan inefisiensi birokrasi, persyaratan perizinan yang berlebihan serta peraturan yang tumpang tindih dan kontradiktif sehingga menghambat daya saing—berhadapan dengan minimnya partisipasi publik dan kadar kredibilitas yang rendah dari sisi penyerapan aspirasi pihak terkait.
Lajunya gerak pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah juga didorong oleh kegagalan pemerintah untuk melaksanakan hampir 20 paket reformasi yang diluncurkan sejak 2015 hingga 2019. Ini akibat dari tumpang tindihnya peraturan dari sekitar 80 undang-undang serta ribuan keputusan presiden dan menteri.
Namun demikian, bukan bermakna bahwa draf UU Cipta Kerja punya legitimasi untuk disahkan secara mulus dengan mengabaikan pertimbangan akal sehat. Tak terhitung lagi kritikan Komnas HAM, aktivis pro-demokrasi, hak-hak pekerja dan lingkungan hidup yang menguliti substansi pasal demi pasal dari undang-undang yang kontroversial ini. NU dan Muhammadiyah juga sudah menyatakan tidak sepakat dengan undang-undang ini.
Yang terlihat hari ini hanyalah sikap DPR dan pemerintah yang menyalahkan para mahasiswa, buruh atau siapa saja yang berdemonstrasi. Mereka dianggap tak mengerti atau membaca UU Cipta Kerja sebelum melakukan aksi parlemen jalanan. Sementara sosialisasi undang-undang ini tak pernah dijalankan di kampus. Para politisi di DPR justru memanfaatkan masa pembatasan sosial berskala besar ini untuk diam-diam menggolkan UU Cipta Kerja.
Apatisme politik
Dalam Civil Disobedience, Thoreau menyatakan kebenciannya kepada apatisme politik (political apathism). Secara sarkastis ia menulis, “There are thousands who are in opinion opposed to slavery and to the war, who yet in effect do nothing to put an end to them; who, esteeming themselves children of Washington and Franklin, sit down with their hands in their pockets, and say that they know not what to do, and do nothing….” (Ada ribuan yang berpendapat menentang perbudakan dan perang, yang pada dasarnya tidak melakukan apa pun untuk mengakhirinya; yang menganggap diri mereka sebagai anak-anak Washington dan Franklin, duduk dengan tangan di saku, dan mengatakan bahwa mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan tidak melakukan apa-apa …. ”)
Thoreau kecewa dengan sikap masyarakat Amerika yang tak berbuat apa-apa ketika presiden yang terpilih melakukan penyimpangan. Hematnya, pemilu memang menentukan siapa yang menjadi presiden tapi tidak menentukan bahwa segala yang dilakukan presiden adalah benar dan tak berbuat apa-apa hingga pemilu berikutnya.
Sejarah kembali berulang, lebih-lebih yang berkaitan dengan kekuasaan. Kemarahan Thoreau ini sangat relevan di Tanah Air ketika para pendukung Presiden Jokowi masih saja mendukung pemerintah tanpa reserve tatkala pengesahan UU Cipta Kerja memiliki cacat, baik dalam proses pembentukannya (formil) maupun isinya (materil). Ini bukan persoalan suka atau tidak suka dengan Presiden Jokowi. Ini adalah perkara keadilan.
Bagaimana mungkin UU Cipta Kerja dibilang adil dari aspek pendidikan bila forum rektor, penyelenggara pendidikan umum non-pemerintah dan para aktivis dunia pendidikan, misalnya, tidak dilibatkan dalam pembahasannya. Membiarkan cacat formil ini setali tiga uang dengan pelestarian kezaliman sebagai konsekuensi dari apatisme politik.
Mengapa undang-undang, yang diklaim pemerintah akan menciptakan banyak pekerjaan melalui penghapusan hambatan investasi yang sudah berlangsung lama, mendapat tentangan publik? Dengan tingkat pengangguran negara yang diperkirakan akan melebihi 10 juta karena sebagian karena resesi yang dipicu COVID-19, undang-undang tersebut seharusnya disambut sebagai obat mujarab.
Kurangnya transparansi mungkin telah memicu demonstrasi melawan hukum. Dalam merumuskan undang-undang, baik pemerintah maupun DPR enggan berbuat maksimal, apalagi mengakomodir masukan dari masyarakat, terutama yang terkena dampak undang-undang.
Semasa hidupnya James Knox Polk adalah presiden yang popular di Amerika. Ia dipuji karena wataknya yang energik. Ia berhasil mengantarkan Amerika Serikat memenangkan pertempuran dengan Meksiko, aneksasi Texas dan Oregon. Namun ini tidak menyurutkan Henry David Thoreau untuk meluruskan kebengkokan pemerintahan. Untuk itu, tegas Thoreau, warga negara yang baik tidak pernah menyerahkan nuraninya kepada/di bawah undang-undang (resign his conscience to legislation).