Ramai menjadi perbincangan publik saat video berdurasi 2 menit sekian memperlihatkan “brutal”-nya ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al Amanah, Jalan Kampung, Tanah Apit, RT 02 RW 09, Medan Satria, Kota Bekasi (27/4). Dalam video tersebut, pengurus masjid dengan lantang menolak jamaah yang salat di masjid menggunakan masker.
Menurut Kapolsek Medan Satria, pengusiran jamaah karena salat bermasker bukan terjadi kali ini saja. Sebelumnya, DKM atau pengurus masjid Al Amanah juga pernah melakukan penolakan terhadap jamaah bermasker ketika hendak salat di masjid tersebut. Meski sudah mendapat himbauan, aksi pelarangan salat menggunakan masker di saat pandemi Covid-19 kembali berulang dan viral karena sempat didokumentasikan serta tersebar di jagad maya.
Menariknya, ada beberapa argumen yang salah kaprah mengenai sikap pengurus masjid Al Amanah jika dilihat dari video yang beredar.
Salat Menggunakan Masker
Dalam prakteknya, ibadah salat tidak melarang pelakunya untuk mengenakan atribut apapun selama bersifat menutup aurat dan suci (bersih), termasuk masker. Meskipun di kalangan fuqoha mazhab Syafi’i menegaskan salah satu yang kesunahan ketika sujud adalah terbukanya bagian hidung secara sempurna. Namun jika dalam situasi darurat, misalnya untuk mencegah penularan penyakit yang mewabah seperti Covid-19, mengenakan masker malah menjadi anjuran untuk kemaslahatan umat (jamaah).
Dua organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga mengamini bahwa hukum menggunakan masker ketika salat adalah makruh ketika tidak ada udzur syar’i dan menjadi mubah ketika ada udzur syar’i, namun hakikatnya salat bermasker tetap sah. Bahkan salat jamaah di Masjidil Haram masa pandemi juga menggunakan masker ketika salat jamaah.
Menaati protokol kesehatan dengan menggunakan masker ketika salat bertujuan untuk meminimalisir atau bahkan menghentikan penularan Covid-19. Kemuliaan melindungi diri sendiri dan orang lain agar sama-sama merasa aman meskipun sedang salat di masjid. Virus Korona tidak memilih status sosial, kekayaan, bahkan tingkat iman seseorang.
Kasus munculnya kluster Covid-19 saat salat tarawih di Banyumas setidaknya dijadikan pelajaran bahwa virus itu mengancam di berbagai ruang, masjid atau musala sekalipun. Bermasker ketika salat adalah sikap kewaspadaan agar tidak tertular dan menulari virus jamaah lain.
Dalil Surat Ali Imron Ayat 96
Argumen atau dalil dari DKM Al Amanah yang dijadikan rujukan bahwa masjid bebas dari “penyakit” dengan menolak penggunaan masker saat salat adalah surat Ali Imron ayat 96.
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imron:96)
Konteks ayat tersebut adalah penjelasan mengenai arah kiblat atas jawaban terhadap orang Yahudi tentang pemindahan kiblat dari Baitulmakdis ke Kabah. Sebelumnya orang Yahudi menganggap bahwa para nabi membenarkan tentang arah kiblat ke Baitulmakdis.
Mekah beserta kakbahnya merupakan pusat rohani pertama umat manusia. Beberapa ratus tahun kemudian Nabi Sulaiman membangun Masjidi Al Aqsa di Baitulmakdis. Nabi Muhammad mengikuti Nabi Ibrahim yang membangun kakbah pertama kali serta menjadikannya arah kiblat umat muslim seluruh dunia.
Quraish Shihab dalam kitab Al Misbah juga menjelaskan tafsir Surat Ali Imron ayat 96 bahwa Allah menitipkan keberkahan-Nya kepada rumah itu yang merupakan tempat hidayah bagi umat manusia dengan mendatanginya dan menghadap kepadanya saat melakukan salat. Kakbah yang berada di kota Mekah adalah rumah pertama yang dibangun di muka bumi sebagai tempat peribadatan kepada Allah.
Tidak ada tafsir yang menjelaskan tentang “mukjizat” masjid yang steril dari virus dalam ayat tersebut. Apalagi dijadikan dalih untuk melarang orang salat di masjid menggunakan masker.
Ulama Lebih Tinggi dari Pemerintah
Pernyataan bahwa ulama lebih tinggi dari pemerintah tentu menimbulkan pro-kontra di kalangan umat muslim. Menjadi rancu ketika Indonesia menganut sistem demokrasi yang menyatakan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, bukan ulama. Pancasila sebagai dasar negara menegaskan bahwa fatwa ulama tidak mengikat seperti, misalkan negara Islam (sistem khilafah). Jadi kedudukan konstitusi dan undang-undang lebih tinggi daripada ulama jika dilihat dari sudut padang politis dan kebijakan yang bersifat mengikat.
Meskipun mengutamakan fatwa ulama sebagai pewaris nabi, Ahlusunah Waljamaah tidak pernah membenturkan konsep kepemimpinan (pemerintah dan ulama). Ulama aswaja lebih mengedepankan sikap ijtihad dalam merumuskan kebijakan atau fatwa. Belum lagi masalah pelik mengenai penentuan kriteria ulama yang berbeda antara kelompok muslim satu dengan yang lain. Sedangkan di Indonesia (negara majemuk) sering terjadi perbedaan pandangan di antara kalangan ulama itu sendiri.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)
Anarkisme Pengurus Masjid
Sikap anarkis yang dilakukan pengurus masjid Al Amanah menunjukan perilaku yang jauh mencerminkan sikap seorang muslim. Label Islam dan masjid tercoreng karena perilaku pengusiran jamaah bermasker yang hendak melakukan salat dilakukan dengan tidak mengedepankan sikap welas asih atau kasih sayang seperti yang diajarkan oleh Rasulullah.
Citra Islam sebagai agama yang mengajarkan kedamaian tercoreng akibat ulah pengurus masjid Al Amanah. Apalagi dilakukan di dalam masjid yang notabene adalah tempat suci untuk beribadah. Masjid diambil dari akar kata sajada yang artinya sujud atau tunduk. Tunduk untuk merendahkan diri, bukan malah sebaliknya.
Semoga kasus pengusiran jamaah bermasker di masjid Al Amanah menjadi pelajaran bahwa agama sejatinya mengajarkan sikap saling mengasihi, bukan saling menyalahkan. Menghargai adanya perbedaan dengan tetap mengedepankan nilai-nilai Islam yang diajarkan oleh Rasulullah.