Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely (sifat kekuasaan selalu memiliki kecenderungan yang disalahgunakan, kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan). Ungkapan oleh pakar politik Lord Action tersebut menjadikan setiap negara bertindak untuk membatasi kekuasaan dengan menciptakan suatu aturan atau menggunakan hukum yang telah berlaku.
Indonesia sebagai negara hukum memiliki tindakan berupa pengawasan atau controlling terhadap pemerintahan yang sedang berjalan. Hal tersebut bertujuan agar roda pemerintahan terus berjalan dengan baik. Dalam hukum administrasi, pengawasan diperlukan untuk menjamin agar pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan berjalan sesuai dengan norma hukum atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah merupakan organ yang menjalankan tugas pemerintahan. Namun, tidak jarang kita melihat perbuatan tercela dilakukan oleh pemerintah itu sendiri. Sebagai upaya negara dalam mengontrol tindakan pemerintah khususnya dalam hal korupsi, maka dengan dilandasi semangat untuk memberantas extra ordinary crime tersebut, lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sembilan belas tahun yang lalu lembaga ini lahir dengan mendapatkan sambutan yang sangat baik dari kalangan masyarakat.
Alasan dibentuknya KPK adalah berawal dari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas tindak pidana korupsi. Padahal kasus korupsi bertambah setiap tahunnya. Oleh karena itu, dalam rangka menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) maka KPK hadir untuk membantu menangani keresahan masyarakat terhadap tindak pidana korupsi tersebut. Peran besar yang dilakukan oleh KPK menggiring sebuah opini publik untuk melanggengkan eksistensi KPK.
Keadaan mulai berubah ketika akhir tahun 2019 lalu DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hasil revisi UU KPK yang menuai kritikan keras dari kalangan masyarakat, mahasiswa, akademisi, dan berbagai lembaga antikorupsi seolah tak didengar oleh pemerintah.
Upaya revisi ini merupakan langkah awal pelumpuhan KPK dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam revisi UU KPK yaitu penyadapan yang dilakukan oleh KPK dipersulit dan dibatasi, pembentukan Dewan Pengawas KPK yang dipilih oleh DPR, pegawai KPK akan mudah dikontrol dan tidak lagi bersifat independen karena status ASN yang dimilikinya, dan lain sebagainya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai lembaga antikorupsi melalui hasil kajiannya memberikan nilai E (sangat buruk) kepada KPK dalam hal pelaksanaan kinerja penindakan kasus korupsi selama tahun 2020 berlangsung. Rapor merah tersebut menunjukkan hanya sekitar 13 persen kasus yang ditangani dari target 120 kasus.
SP3 Kasus BLBI
Tepat pada tanggal 1 April lalu, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menyatakan kepada publik terkait penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada kasus dugaan korupsi surat keterangan lunas bantuan likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI). Dalam dugaan kasus korupsi tersebut telah menjerat Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim.
Ketentuan mengenai SP3 merupakan salah satu hasil revisi UU KPK. Pasal 40 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwasanya KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Maqdir Ismail selaku pengacara Sjamsul Nursalim menilai keputusan KPK untuk menerbitkan SP3 telah memberikan kepastian hukum yang diharapkan oleh masyarakat terutama dari dunia usaha. Berbeda dengan yang disampaikan oleh Mantan Ketua KPK, Busyro Muqoddas, beliau dengan tegas menyatakan bahwa penerbitan SP3 merupakan bentuk peredupan Pancasila dan adab dalam praktik politik legislasi dan penegakan hukum.
Pegawai KPK Seorang ASN
Pengertian KPK pasca diberlakukannya UU KPK yang baru menyatakan bahwa lembaga antikorupsi ini merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Padahal Gunawan A. Tauda dengan jelas menyebutkan bahwa salah satu syarat lembaga negara independen adalah adanya dasar hukum pembentukan yang menyatakan secara tegas kemandirian atau independensi dari lembaga negara independen tersebut.
Jika KPK termasuk ke dalam eksekutif, maka munculnya konflik kepentingan akan sulit dihindari. Selanjutnya, kedudukan KPK dalam rumpun eksekutif juga mengakibatkan berubahnya status pegawai KPK menjadi ASN. Ketentuan mengenai status ASN tersebut tertuang pada Pasal 24 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2019.
Zainal Arifin Mochtar secara tegas merespon hal tersebut dengan menyatakan bahwa jika seluruh pegawai diratakan menjadi ASN, maka sederhananya tidak akan ada lagi penyidik independen. Peralihan status pegawa tersebut juga akan membuka celah tergerusnya independensi personal KPK. Beliau dengan keyakinan sepenuh hati menginginkan pembubaran KPK dan menggantinya dengan lembaga antirasuah yang baru. Sebab dampak buruk revisi UU KPK ini akan terus mendorong matinya demokrasi.
Korupsi dalam Diri KPK
Dua hal yang telah disampaikan di atas merupakan cerminan buruk hasil revisi UU KPK. Namun, tidak berhenti sampai di sini. Problematik yang terjadi beberapa hari lalu justru muncul dari kalangan internal KPK itu sendiri. Pertemuan penyidik KPK dari unsur Polri bernama Stepanus Robin Pattuju dengan M. Syahrial seorang Wali Kota Tanjung Balai periode 2016 – 2021 menjadi sorotan publik.
Tindakan tidak senonoh ini dilakukan oleh Robin untuk membantu M. Syahrial dalam penyelidikan dugaan kasus korupsi di Pemerintah Kota Tanjung Balai dengan membayar uang sebesar Rp 1,5 miliar. Tindakan suap yang dilakukan oleh Stepanus Robin melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain itu, Robin juga dianggap melanggar kode etik pegawai KPK.
Judicial Review MK
Tiga poin permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya menjadi pengingat bagi masyarakat bahwa kejahatan korupsi belum benar-benar selesai. Dalam beberapa kesempatan, keberadaan kasus korupsi justru semakin merajalela. Tidak pandang bulu dalam kondisi dan situasi bagaimanapun, korupsi akan sangat mungkin untuk terjadi. Seperti halnya korupsi yang dilakukan pada bantuan sosial saat pandemi lalu juga sangat meresahkan masyarakat.
Salus populi suprema lex, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Tindakan korupsi tidak akan menyelamatkan rakyat, tetapi akan sangat merugikan dan mencerminkan keserakahan pada diri koruptor.
Ketika UU KPK dilemahkan, satu harapan yang tersisa adalah menunggu hasil judicial review oleh Mahkamah Konstitusi. Jalur konstitusional ini ditempuh oleh masyarakat dengan harapan pasal-pasal yang dinilai bermasalah di dalam UU No. 19 Tahun 2019 akan dibatalkan oleh MK. Masa depan KPK terletak di tangan Mahkamah. Jika Mahkamah membatalkan pasal kontroversi pada UU tersebut, maka KPK memiliki harapan baik untuk kedepannya.