Pemerintah melalui 6 pejabat tinggi negara akhirnya mengambil langkah tegas membubarkan Front Pembela Islam (FPI) yang sejak 20 Juni 2019 tak lagi mengantongi Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
Tindakan pemerintah ini dianggap penting dalam melawan pergerakan kelompok intoleransi dan anti NKRI atas kehadiran Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebagai pemegang kewenangan menerbitkan SKT serta membentengi paparan kelompok tersebut dalam institusi pemerintah, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang berwenang menangani urusan terkait hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate sebagai garda terdepan melawan gerakan intoleransi dan anti NKRI melalui media sosial, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis sebagai penegak hukum, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafly Amar.
Namun pembubaran sebuah ormas yang dianggap intoleransi dan anti NKRI saja tidak cukup, sebab anggota ormas tersebut masih mampu melakukan gerakan dan menjelma dalam berbagai bentuk, sehingga pembubaran bukanlah akhir dari ketegasan pemerintah melawan kelompok intoleransi dan anti NKRI. Maka dalam konferensi pers pembubaran FPI, pemerintah juga melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang juga mempunyai makna penting dalam langkah ini.
Melalui keterlibatan PPATK, pemerintah ingin memberi peringatan bagi siapa saja yang mengalirkan dana untuk kelompok intoleransi dan anti NKRI manapun. Dalam kerjanya PPATK pun Hingga 19 Januari 2021 telah membekukan 92 rekening FPI dan afiliasinya yang tentu membuat gentar para cukong yang selama ini mendanai FPI.
Namun pembubaran FPI sempat mendapat penilaian minor dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid yang menganggap pembubaran FPI bisa menggerus kebebasan sipil di Indonesia. Demikian juga penilaian minor dari Refly Harun dan Fadli Zon.
Sebaliknya, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masduki Baidlowi mengatakan langkah tegas pemerintah itu justru untuk melindungi masyarakat yang lebih luas, sebab menurutnya FPI selama ini kerap membuat kegaduhan. Senada dengan PBNU, Sekretaris Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menegaskan bahwa pembubaran ormas Islam Front Pembela Islam (FPI) tak bisa dimaknai sebagai tindakan pemerintah yang anti terhadap Islam. Karena itu, masyarakat diminta tak merespons pembubaran FPI secara berlebihan.
Afiliasi anggota FPI pada ISIS, narasi-narasi intoleransi pada ceramah-ceramah yang diadakan FPI, hingga video pasukan khusus FPI yang anti gorok hanyalah puncak gunung es dari kelompok-kelompok intoleransi yang nampak besar kerena peran media. Di balik itu Densus 88 Antiteror Polri mengungkap adanya pusat pelatihan jaringan teroris Jamaah Islamiyah atau JI di sejumlah daerah di Jawa Tengah, yakni Gintungan, Bandungan hingga Semarang. Demikian pula hasil pengungkapan Polisi atas 20.068 kotak amal yang diduga mendanai kelompok teroris JI yang tersebar di 12 daerah. Serta penemuan bunker milik salah satu jamaah JI di Lampung yang digunakan untuk merakit senjata.
Dengan adanya penggalangan dana, pelatihan militer, hingga perakitan senjata oleh kelompok teroris, kita tak bisa menganggap rangkaian peristiwa ini sebagai peristiwa kejahatan biasa. Peristiwa yang berhasil diungkap penegak hukum ini adalah embrio hancurnya negara karena peperangan brutal seperti yang terjadi di Suriah, di mana kelompok teroris berhadap-hadapan langsung dengan penegak hukum menggunakan senjata-senjata rakitan dan ilegal. Tentu saja, seperti yang kita saksikan, korbannya pun bukan hanya penegak hukum tetapi juga warga negara yang keluarganya mati akibat pertempuran.
Sehingga tidak berlebihan pula negara melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 menerbitkan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme tahun 2020 – 2024 atau RAN PE. Melalui RAN PE, pemerintah akan melakukan kerja kolaborasi lintas kementerian hingga pemerintah daerah melalui perogram-program yang terencana dan sistematis untuk mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada aksi teror yang juga bergerak secara terencana dan sistematis.
Kerja kolaborasi itu dilakukan karena selama ini materi pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme dirasa belum diadopsi serta belum digunakannya metodologi pembelajaran dengan cara berpikir kritis, dalam kurikulum pendidikan formal dan kegiatan kemahasiswaan mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi, sehingga paham ekstremisme mudah sekali masuk dalam institusi pendidikan dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi serta institusi pemerintahan.
Maka untuk mengatasi persoalan serius tersebut, pemerintah melalui RAN PE menyusun salah satu strategi dengan fokus pada peningkatan efektivitas kampanye pencegahan ekstremisme di kalangan kelompok rentan, seperti yang selama ini telah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terosisme (BNPT) melalui Duta Damai yang memproduksi konten-konten melawan isu-isu radikalisme di media sosial. Dalam peningkatan efektivitas kampanye ini pemerintah melibatkan sejumlah pihak, mulai dari tokoh pemuda, agama, adat, tokoh perempuan, media massa, hingga influencer media sosial.
Output dari strategi ini adalah produksi konten berbasis internet, hingga produk inovatif kampanye daring dan luring yang menyasar keluarga, guru, komunitas lokal, WNI di luar negeri, buruh migran, dan pelajar di luar negeri terkait pencegahan ekstremisme. Melalui keterlibatan pihak-pihak itu diharapkan mampu meningkatkan kesadaran terhadap masyarakat mengenai bahaya ekstremisme dan aksi terorisme dan berupaya melawannya bersama-sama demi keutuhan NKRI.
Oleh sebab itu penolakan terhadap RAN PE yang dilakukan oleh sebagian kelompok merupakan aksi yang mendukung ekstremisme dengan memanfaatkan narasi kebebasan demokrasi. Misalnya pendapat akan terjadi konflik horizontal akibat RAN PE karena masyarakat memiliki wewenang melaporkan masyarakat lain yang dianggap terlibat dalam kelompok terorisme.
Pendapat ini tak cukup kuat sebab sejak dulu siapapun berhak melapor pada penegak hukum jika di lingkungannya diduga terdapat kelompok terorisme, dan sekalipun ada laporan tentu saja masih perlu penyelidikan mendalam untuk membuktikan kebenarannya dan tidak akan menghukum yang terbukti tidak terafiliasi kelompok terorisme.
Aksi-aksi yang merupakan embrio terorisme itu mudah dibaca melalui kemunculan berita-berita bohong yang menyulut amarah pada yang beda suku, agama, dan ras. Juga mudah dideteksi keberadaannya melalui melalui aksi-aksi menolak perhelatan budaya, menolak pelaksanaan dan pendirian rumah ibadah, menolak yang berbeda agama, suku, dan ras untuk dapat tinggal di lingkungannya, membuat lingkungan eksklusif seperti perumahan khusus agama tertentu.
Tugas kita sebagai anak bangsa adalah melakukan sebaliknya, membagikan narasi positif melalui media sosial, menggelar kegiatan budaya dan tradisi, menjamin siapa saja menjalankan dan mendirikan rumah ibadahnya, menerima perbedaan agama, suku, dan ras sebagai kekayaan Indonesia.