Akhirnya MUI mengatakan jika vaksin Sinovac suci dan tayyib pada tanggal 8 Januari 2021. Pak Jokowi sendiri sudah divaksin sejak Rabu, 13 Januari 2021, dengan vaksin Sinovac. Suci maknanya bisa dikonsumsi alias halal dan tayyib maknanya baik, menyehatkan dan tidak merusak tubuh manusia. Demikian bahasa fiqih memaknai soal kandungan vaksin Sinovac yang ramai kita bicarakan akhir-akhir ini. Sudah barang tentu, hal ini sesuai dengan yang kita harapkan semua. Fatwa selengkapnya masih menunggu kajian aspek lain dari BPOM.
Namun, terus terang saya merasa kecewa dengan sikap MUI yang seolah-olah membuat social pressure tentang vaksin ini sebelum pengumuman resminya. Misalnya, dalam pernyataan salah satu tokoh teras MUI, pemerintah tidak akan melakukan vaksinasi selama belum ada fatwa kehalalan vaksin Sinovac? Pernyataan ini bisa ditafsirkan bahwa fatwa di atas kewajiban mendesak negara untuk melindungi warganya dari ancaman virus mematikan. Bagaimana jika vaksin yang sudah didatangkan ke Indonesia itu ternyata tidak halal.
Vaksin Sinovac memang sudah jelas halalnya sebagaimana diputuskan MUI, namun vaksin-vaksin lain yang sudah dipesan pemerintah bagaimana, apakah menunggu lagi fatwa dari MUI atau bagaimana untuk vaksinasi nanti? Dalam situasi di mana orang meninggal semakin banyak dan jumlah kasus baru semakin meningkat, menembus 10 ribuan, kenapa MUI mengeluarkan statemen yang seolah-olah menghambat vaksinasi.
Bukankah, MUI bisa mengatakan meskipun vaksin Sinovac dinyatakan haram, vaksinasi tetap dibolehkan dalam keadaan darurat. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Kyai Said Aqil Siradj, ketua umum PBNU. Beliau menyatakan baik halal atau haram vaksin itu tetap diboleh untuk digunakan karena keadaan darurat. Diktum hukum ini kan terkenal dan semua orang Islam kayaknya sudah mengetahui. Jika pernyataan demikian kan lebih membuat semuanya menjadi tidak gaduh. Saya kira kasus penentuan halal dan haram vaksin Sinovac kali ini tidak akan terulang lagi pada fatwa-fatwa MUI mendatang yang berkaitan dengan vaksin lainnya.
Soal sertifikasi halal ini memang menyimpan masalah terutama dengan hak-hak kewargaan yang inklusif. Saya pribadi bisa memahami jika pemerintah sekarang sedang giat-giatnya membentang ekonomi halal. Pemerintah ingin mendapatkan peluang ekonomi besar melalui bisnis halal ini. Pelbagai upaya menuju ke arah ini sudah dilakukan dan salah satunya adalah meresmikan peraturan pemerintah atas UU 33/2014, tentang Jaminan Produk Halal, sejak 2019 dimana sertifikat halal adalah mandat.
Ketika masalah ini baru diluncurkan banyak orang mengatakan bahwa ekonomi halal itu ekonomi inklusif. Tidak ada diskriminasi di dalamnya. Muslim dan non-Muslim memiliki pandangan yang sama bahwa mereka memang ingin makanan dan minuman itu halal dan baik. Bolehlah orang beragumentasi demikian, termasuk MUI dan para pejabat pemerintah yang membidangi masalah ini. Namun jika yang terjadi berkaitan dengan masalah hidup dan mati, maka pembicaraan halal dan tidak halal itu mestinya dihindarkan dulu. Hal paling utama diprioritaskan adalah menjaga orang dari kematiannya meskipun yang dengan vaksin haram.
Pernyataan bahwa pemerintah tidak akan melakukan vaksinasi tanpa fatwa halal MUI ini jelas merugikan bagi mereka yang menganggap bahwa konsep halal menurut Islam tidak dikenal bagi mereka. Katakanlah jika sebuah vaksin mengandung babi atau bahan lainnya yang menurut non-Muslim bukan haram pernyataan MUI di atas jelas merugikan mereka.
Mereka tidak usah menunggu fatwa MUI untuk vaksinasi. Jika mereka terlambat mendapatkan vaksinasi karena fatwa halal dan negara menurutinya maka jelas negara merugikan hak warga negaranya untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Apalagi jika negara menunda vaksin karena harus menunggu fatwa MUI. Sekali lagi fatwa MUI, bukan menunggu hal-hal Kesehatan yang harus dipenuhi oleh vaksin tersebut.
Pemerintah sendiri, menurut saya juga, tidak harus bisa begitu saja menuruti fatwa MUI untuk urusan pemenuhan mandat konstitusi yakni melindungi hidup warga negaranya. Syukur-syukur jika fatwa itu memang cepat keluar dan menyatakan Sinovac halal. Tapi masalah tidak berhenti di sini, soal halal dan haram vaksin ini. Mengapa?
Vaksin yang dibeli pemerintah tidak hanya Sinovac, namun masih ada Pfizer, Sinopham, Cansino, dan lain-lainnya. Bagaimana jika vaksin lain mengandung barang haram? Apakah pemerintah harus menunggu fatwa lagi untuk menyuntikkan vaksin-vaksin tersebut? Padahal warga negara yang butuh vaksin itu tidak semuanya mempersoalkan halal dan haram. Persoalan mereka adalah bagaimana mereka bisa mendapatkan perlindungan hidup dari negara melalui vaksinasi secepatnya.
Saya kira, pemerintah untuk masa yang akan datang, tetap saja terus melakukan vaksinasi, baik dengan maupun tanpa fatwa halal dari MUI untuk vaksin-vaksin yang lain. Mengapa demikian? Karena pemerintah sebagai representasi negara, harus mengutamakan tugas utama yang dimandatkan oleh konstitusi kita untuk menyelamatkan kehidupan warganya. Ini adalah kewajiban negara yang paling asasi pada warganya. Dalam menjalankan tugas utama ini, negara yang diwakili oleh pemerintah tidak boleh ragu untuk menjalankannya. Tidak boleh mengabaikan hal utama untuk hal yang tidak terlalu utama dalam sistem ketatanegaraan kita.
Sebagai catatan, baik disertai maupun tidak disertai oleh fatwa kehalalan MUI, pemerintah tetap terus menjalankan vaksinasi. MUI memang akhirnya mengeluarkan fatwa bahwa vaksin Sinovac suci dan tayyib, dan itu pas dengan kebutuhan kita bersama. Jika, nanti untuk vaksin yang lain, dianggap tidak halal, mengingat pemerintah memesan banyak varian vaksin, maka tugas yang terbaik pemerintah adalah menjalankan vaksinasi.