Minggu, November 24, 2024

Menempatkan Perempuan dalam Gerakan Pluralisme [Untuk Mun’im Sirry]

Haryani Saptaningtyas
Haryani Saptaningtyas
Kandidat PhD di Fakultas Teologi, Filosofi, dan Studi Agama-Agama Radboud Neijmegen University, Belanda. Peneliti The Institute for Social Research, Democracy and Social Justice (PERCIK) dan Penggagas Gerakan Lintas Iman Katahawa, Salatiga, Jawa Tengah.
- Advertisement -
lintasagama
(Ilustrasi). Deklarasi Pluralisme bertajuk “Jumpa Hati Perempuan Lintas Agama” di halaman Gereja Kristus Raja dan Masjid Jami Istiqomah Ungaran. Foto Suaramerdeka.com

Saya tertarik menanggapi tulisan Profesor Mun’im Sirry yang membincangkan pluralisme agama dan mempertanyakan suara kaum feminis (Geotimes, 12 agustus 2016). Secara umum saya mengamini apa yang ditulis Mun’im Sirry bahwa ada persoalan serius dari keenganan kawan-kawan feminis untuk terlibat dalam gerakan pluralisme.

Hal ini sebenarnya tak hanya dipicu oleh watak patriarkis agama-agama, tetapi juga oleh pengalaman sulitnya menembus dinding pluralisme yang didominasi lelaki.

Didasari atas pengalaman reflektif saya dalam dialog lintas iman, tulisan ini bermaksud memberi gambaran, meski dalam skala lokal, bahwa ada keterlibatan perempuan feminis dalam gerakan pluralisme di Indonesia, hanya memang selama ini suara mereka belum cukup powerfull.

Saya ingin meyakinkan bahwa kemunculan gerakan Katahawa di Jawa Tengah, setidaknya menjadi sinyal positif bahwa ada warna feminis dalam gerakan pluralisme tersebut.

Dominasi Maskulinitas dalam Forum Lintas Agama
Sejak tahun 2000, saya aktif dalam gerakan lintas iman di tingkat lokal. Di situ saya merasa adanya hambatan besar yang harus ditembus oleh para perempuan jika ingin terlibat dalam gerakan pluralisme, yakni dominasi maskulinitas dalam forum-forum lintas agama.

Sifat maskulinitas dari gerakan pluralisme ini memang berkelindan dengan dominasi laki laki dalam institusi agama, karena selalu dalam setting kegiatan yang bernuansa pluralis, maka lelakilah yang lebih diutamakan mewakili institusi agamanya. Ini pada akhirnya memberi dampak pada proses membangun perdamaian itu sendiri.

Di atas kertas tercatat, di Provinsi Jawa Tengah, hanya ada satu perempuan di Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Provinsi, yakni Dr Ary Pradanawati. Sementara dari 32 FKUB kabupaten/kota se-Jawa Tengah, hanya ada satu kabupaten yang mewakilkan perempuan, di FKUB Kabupaten Banyumas, yakni Pdt Maria Puspitasari dari GKJ Purwokerto dan Ibu Rhani Kaniawati dari GBI Stadion Mini Purwokerto. Sementara kabupaten/kota yang lain FKUB hanya diisi oleh tokoh agama berjenis kelamin laki laki.

Kenyataan masih sedikitnya perempuan yang terlibat dalam forum lintas agama telah memicu munculnya forum-forum lintas iman perempuan. Bahkan akhir-akhir ini keterlibatan perempuan dalam FKUB telah difasilitasi melalui seminar/lokakarya perempuan lintas iman oleh FKUB Provinsi seperti terjadi di Medan, Surabaya, dan Ende (NTT). Namun yang perlu dicatat, umumnya forum-forum tersebut bersifat sporadis berupa seminar komunikasi satu arah, yang menempatkan perempuan sebagai pendengar saja.

test-4-2

Tentu forum semacam ini telah menggerus tujuan utama keterlibatan para feminis dalam gerakan pluralisme. Di sisi lain, peran strategis pengaturan hubungan antar-agama yang dimiliki oleh FKUB (provinsi/ kabupaten), seperti termaktub dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 terkait pendirian rumah ibadah, tidak/belum memberi tempat bagi suara perempuan. Padahal, banyak studi tentang peran perempuan di daerah konflik menyebutkan betapa efektif posisi perempuan dalam proses rekonsiliasi konflik dan sekaligus menjaga harmonitas kerukunan beragama.

- Advertisement -

Kalau harus menuduh, salah satu persoalan runyamnya polemik pendirian rumah ibadah saat ini adalah tidak diakomodasinya perempuan dalam proses–proses dialog. Padahal, berdasar pengalaman saya dalam gerakan perempuan lintas iman Katahawa, justru perasaan senasib sebagai seorang perempuan yang termarginalkan yang mendorong adanya kerjasama lintas iman perempuan dalam berbagai hal dengan mengenyampingkan perbedaan pandangan teologisnya.

Katahawa lahir di tahun 2006. Diinisiasi oleh tiga perempuan (Islam, Katolik, dan Protestan), yang terlibat dalam Sobat, yakni forum lintas iman yang digagas Sinode GKJ, PP Edi Mancoro Gedangan, dan Percik Salatiga.

Gerakan Katahawa bertujuan memperkuat persahabatan antar-perempuan lintas agama di Jawa Tengah. Keprihatinan akan sedikitnya perempuan yang terlibat di dalam gerakan Sobat menjadi motivasi utama para perempuan.

Katahawa kemudian melibatkan pendeta/istri pendeta, Nyai, Bikuni, dan aktivis perempuan dari berbagai organisasi keagamaan untuk mendiskusikan secara bersama persoalan perempuan, sosial, politik, dan lingkungan/bumi.

Di Gerakan Sobat, karena jumlah kami yang sedikit, justru mendorong perasaan lebih confindent being minority, tetapi ini menuntut kemampuan untuk adaptasi dalam ruang laki-laki yang ternyata tidak mudah. Sebagai “perempuan di sarang penyamun”, kami harus terbiasa dengan jam malam karena setting pertemuan Sobat adalah berdiskusi semalam suntuk.

Kami juga dibuat terbiasa dengan wacana yang didominasi perspektif lelaki seperti soal pemilu dan korupsi. Sementara isu-isu yang terkait perempuan, misalnya poligami dan gender, justru menjadi topik di luar ruangan yang di-setting sebagai candaan, yang berisiko menyudutkan posisi perempuan. Atmosfir seperti itu yang setidaknya menghambat keaktifan perempuan. Dalam kurun waktu enam tahun perjalanan Sobat, hanya kurang dari 10 persen perempuan yang pernah terlibat dalam gerakan tersebut.

Kondisi seperti ini menjadi motivasi para penggagas Katahawa untuk menginisiasi forum serupa Sobat tetapi bercitra rasa perempuan. Katahawa memberi fokus pada kegiatan lintas iman yang disesuaikan dengan aktivitas harian perempuan/ibu rumah tangga serta ramah terhadap anak. Meski kegiatan Katahawa tidak terjadwal secara rutin, pertemuan yang berulang telah menumbuhkan rasa persahabatan bagi para aktivisnya.

Hingga kini tercatat ada sekitar 100 orang lebih yang pernah terlibat dalam kegiatan Katahawa, yang tersebar di beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah.

Suara Perempuan dalam Gerakan Lintas Iman
Dengan ulasan di atas, saya merasa kini saatnya keterlibatan perempuan dalam gerakan lintas iman harus diperhitungkan. Melekatnya simbol-simbol keagamaan dalam tubuh perempuan menjadikan dialog lintas iman berjalan alamiah tanpa dibuat-buat. Seorang muslimah yang memakai hijab dan seorang suster Katolik yang berjalan bersama, misalnya, otomatis telah menyuarakan persahabatan di antara keduanya.

Menjamurnya pertemuan dan seminar-seminar lintas iman perempuan di berbagai tempat setidaknya juga telah melahirkan kontak-kontak baru antar-perempuan lintas agama yang berpotensi untuk lebih diberdayakan. Ini terjadi karena umumnya dalam sebuah seminar perempuan lintas iman, yang hadir adalah para aktivis dari berbagai institusi agama. Dengan demikian, kontak fisik harus ditingkatkan pada level “pertemanan” untuk lebih saling mengenal dan memungkinkan saling berkunjung.

Selanjutnya, membangun keterbukaan untuk menerima perbedaan, baik pendidikan, ekonomi, status sosial, dan pandangan keagamaan (teologis), dapat menjadi basis yang kuat untuk membangun kerjasama lintas iman dan kepercayaan. Sudah setahun ini beberapa aktivis perempuan lintas iman Katahawa di Salatiga bergiat dalam kegiatan Salatiga Cerdas Cegah Pikun.

Selain itu, ada pula yang berdiskusi secara rutin tentang persoalan air dan pemanfaatan teknologi. Tentu ini menjadi sinyal positif bahwa memperkuat gerakan perempuan lintas iman akan bermakna bagi peningkatan kualitas hidup itu sendiri.

Melihat pengalaman di atas, penting bagi para pihak untuk turut memberi ruang dan memperkuat suara perempuan dalam gerakan pluralisme. Saat ini yang justru dibutuhkan adalah campur tangan feminis untuk memperkuat wacana pluralisme sekaligus memberdayakan para perempuan.

Haryani Saptaningtyas
Haryani Saptaningtyas
Kandidat PhD di Fakultas Teologi, Filosofi, dan Studi Agama-Agama Radboud Neijmegen University, Belanda. Peneliti The Institute for Social Research, Democracy and Social Justice (PERCIK) dan Penggagas Gerakan Lintas Iman Katahawa, Salatiga, Jawa Tengah.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.