Selasa, April 30, 2024

Jokowi dan Kartel Daging Sapi

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)

sapiSeorang warga menggembalakan sapi miliknya di Ulapato, Kabupaten Gorontalo, Kamis (14/4). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha pekan lalu memvonis 32 perusahaan penggemukan sapi (feedloter) bersalah (22 April). Mereka terbukti melanggar Pasal 11 dan 19 huruf c UU No. 5/1999 tentang Persaingan Usaha. Mereka mengatur perjualan daging sapi yang hendak dijual.

Caranya, perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Feedloter Indonesia (Apfindo) itu menahan pasokan sapi ke rumah pemotongan hewan. Tujuannya agar pemerintahan Joko Widodo melonggarkan kebijakan kuota sapi impor triwulan III 2015 yang hanya 50 ribu. Akibatnya, harga daging sapi di Jabodetabek menembus di atas Rp 170 ribu/kg.

Total denda 32 perusahaan mencapai Rp 106 miliar, yang terendah Rp 71 juta dan yang tertinggi Rp 21 miliar. Denda ini tergolong besar karena denda maksimal yang diatur UU No. 5/1999 sebesar Rp 25 miliar. Besar-kecilnya denda disesuaikan keuntungan yang didapat oleh masing-masing perusahaan selama kenaikan harga daging sapi berlangsung.

Denda yang besar diharapkan bisa menimbulkan efek jera. Perusahaan memiliki waktu 14 hari untuk melakukan banding. Lalu, bagaimana kita memaknai keputusan KPPU ini?

Pertama, upaya KPPU yang tiada lelah menyeret pelaku terduga kartel ke meja hijau dan menghukumnya patut diapresiasi. Dalam bidang pangan, ini kali kedua KPPU memvonis pelaku usaha bertindak kartel. Vonis pertama terjadi pada 7 perusahaan kartel garam (12 Maret 2006), dengan denda masing-masing Rp 2 miliar.

Pada 2014, KPPU sebenarnya telah menghukum 19 perusahaan importir bawang putih karena terbukti berlaku kartel. Namun, keputusan KPPU dibatalkan di tingkat pengadilan negeri. Bukan tidak mungkin keputusan KPPU kali ini juga bakal dibatalkan jika feedloter banding.

Kedua, kartel sejumlah komoditas pangan di negeri ini diduga amat struktural dan tidak tersentuh, bagai tembok kedap air. Meskipun sudah dihukum di tahun 2006, praktik kartel garam kembali terulang di tahun 2015.

Pelaku ”jual-beli” kuota impor daging sapi sudah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dan telah dihukum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 2013. Namun, harga daging sapi sampai sekarang masih mahal. Praktik kartel daging sapi masih terjadi. Ini menandakan langkah penegakan hukum tidak cukup untuk meniadakan praktik kartel.

Jika ditelaah lebih dalam, langkah feedloter menahan pasokan sapi siap potong ke rumah pemotongan hewan sebetulnya bentuk going concern dan bagian dari merespons kebijakan pemerintah saat itu yang memotong kuota sapi impor secara drastis: dari rata-rata 250 ribu ekor pada dua triwulan sebelumnya tinggal 50 ribu.

Agar semua lini usaha—baik penggemukan, pemotongan maupun penjualan di pasar—tetap berjalan dalam tiga bulan, kuota impor yang tinggal seperlima harus disesuaikan. Jika tidak, usaha bisa tutup. Tentu tak adil pengusaha diadili dan didenda, sementara pembuat kebijakan dibiarkan.

Pangkal persoalan ini hanya satu: kemampuan produksi domestik yang belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi. Agar impor tidak disinsentif bagi peternak sapi domestik, impor (sapi dan daging) diatur lewat kuota. Dengan cara ini plus langkah-langkah promotif, pemerintah yakin swasembada daging sapi bisa dicapai.

Hasilnya, impor bukannya menurun, sebaliknya dari tahun ke tahun impor terus membesar, bahkan kian tidak terkendali. Tahun 2011, impor sapi dan daging baru 88,8 ribu ton setara daging. Jumlah ini terus melonjak menjadi 93,8 ribu ton daging (2012), 134,4 ribu ton (2013), dan 216,8 ribu ton (2014). Efektivitas kebijakan kuota patut dipertanyakan.

Ke depan, agar swasembada daging sapi tercapai pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi sebaiknya fokus mengatasi defisit induk sapi sekitar 1,3 juta ekor. Ada dua solusi: apakah diimpor atau mengembangkan indukan berbasis sejumlah breed lokal unggul? Cara pertama sifatnya instan dan hanya cocok untuk solusi jangka pendek. Dalam jangka panjang, cara kedua menjadi pilihan terbaik.

Namun, untuk bisa mengembangkan model breeding modern sejumlah syarat harus dipenuhi, yakni tersedianya sejumlah infrastruktur peternakan modern mulai dari industri pakan, pembesaran, pemotongan, cold storage untuk pelayuan hingga distribusi. Untuk mencapai itu perlu kebijakan komprehensif dan konsistensi.

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.