Saya tahu Presiden Jokowi sibuk. Sangat sibuk. Tapi, meluangkan waktu di akhir pekan membaca buku di bawah ini mungkin akan sangat bermanfaat untuk membuat lima tahun masa pemerintahannya jauh lebih bermakna. Apalagi jika Pak Jokowi ingin benar-benar menunaikan janji Nawa Cita.
Nawa Cita itu Small is Beautiful
Buku itu sudah berumur 35 tahun. Judulnya Kecil itu Indah. Saya pun sedang kembali membacanya setelah mencari dan membeli dari lapak buku loak Pasar Senen, Jakarta. Pak Jokowi mungkin bisa membacanya juga sambil minum kopi di beranda Istana Bogor yang nyaman dan senyap.
Ditulis oleh ekonom Ernst Friedrich Schumacher, edisi bahasa Indonesia terbit setahun setelah edisi aslinya, Small is Beautiful. Tapi, anak judul buku itu sebenarnya lebih penting dari judul besarnya: Kajian Ekonomi yang Memihak Rakyat Kecil (A Study of Economics As If People Mattered).
Meski tentang ekonomi, buku ini tidak berat dan tidak berisi angka-angka. Malah lebih banyak tentang gagasan, termasuk filsafat dan spiritualisme. Jika 286 halaman dirasa terlalu tebal, Pak Jokowi bisa menugasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan atau Menteri Koordinator Ekonomi Darmin Nasution untuk membuat ringkasan barang 10 halaman folio.
Buku yang saya beli sudah menguning kertasnya dan sobek di sana-sini. Tapi, menurut saya, justru makin relevan kandungan isinya sekarang ini. Sangat relevan di tengah riuhnya orang bicara pasar bebas, baik Asia Tenggara maupun Lintas Pasifik. Di tengah kesibukan para menteri menggenjot investasi dan membangun infrastruktur fisik demi mengejar pertumbuhan ekonomi.
Kesigapan “kerja, kerja, dan kerja” sangat diperlukan. Tapi, berhenti sejenak dan merenung juga sangat penting untuk menimbang apa sebenarnya tujuan paripurna dari kesigapan dan kecepatan kerja itu.
Apa yang sedang dicari dan ingin dicapai Pemerintahan Jokowi? Jika arahnya keliru, naik sedan Ferrari hanya akan mengantar kita lebih cepat masuk jurang.
Ada kecenderungan besar sekarang ini untuk menempatkan investasi dan ekonomi di atas segala-galanya. Juga kecenderungan memuja uang dan pasar, yang menurut Schumacher, tak lain adalah pelembagaan individualisme dan hilangnya rasa tanggung jawab. Di pasar, pembeli dan penjual tidak bertanggungjawab kecuali atas diri sendiri. Di pasar, segala hal diukur sama dengan semua hal lain, baik yang profan maupun yang sakral, seperti kelestarian alam dan hak asasi manusia.
Dari program-program reklamasi pantai, yang menggusur nelayan serta merusak lingkungan, sampai pembangunan waduk, jalur kereta cepat dan pabrik semen, yang menggusur petani, kita layak bertanya: untuk apa semua itu?
Perlombaan mengejar pertumbuhan ekonomi, mendongkrak konsumsi, dan memimpikan kesejahteraan material saja, bahkan jika dibungkus niat luhur seperti “mengentaskan kemiskinan”, bisa menyesatkan kita. Hasilnya adalah kerusakan lingkungan serta konflik sosial yang meluas.
Perdamaian, kata Schumacher, tak bisa didasarkan pada kemakmuran semua orang, terutama jika kemakmuran itu dicapai dengan cara mendorong sifat tamak dan iri dalam diri manusia yang akhirnya justru menghancurkan kecerdasan, kebahagiaan, dan ketenangan jiwa.
Kita dihadapkan pada ledakan penduduk, terutama di perkotaan, ketika ruang makin sempit dan daya dukung lingkungan (seperti air) kian tipis. Tapi, penggusuran di kota-kota tak hanya merusak jiwa orang kaya yang tamak, tapi juga orang miskin yang iri oleh kemakmuran lahiriah belaka.
Tujuan membangun kota seperti Jakarta bukanlah menjadikannya seperti Singapura, Hongkong atau Dubai. Tujuan membangun peradaban, menurut Schumacher seraya mengambil ajaran Buddhisme, adalah memurnikan watak manusia, menghormati alam, dan menghargai solidaritas sosial; bukan memperbanyak keinginan lahiriah (multiplication of wants).
Warga negara bukanlah binatang ekonomi belaka. Bukankah salah satu poin Nawa Cita berbunyi: melakukan revolusi karakter bangsa menjadi manusia seutuhnya?
Urbanisasi mungkin tak terelakkan. Tapi, kita tak perlu terlalu serius menempatkan kota sebagai segalanya. Kota-kota besar tidak bisa hidup sendiri. Bahkan tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Kesehatan kota-kota, menurut Schumacher, bergantung dari sehatnya kehidupan pedesaan. Dengan segala kemakmurannya, kota hanyalah produsen sekunder, sementara sentra produksi primer yang menjadi kebutuhan dasar manusia, seperti pangan, pakaian, dan papan, sebenarnya ada di pedesaan.
Pembangunan tidak dimulai dari benda-benda, tapi dari pendidikan manusia seutuhnya. Kunci pembangunan datang dari pikiran dan kearifan manusia. Tanpa itu, semua sumber daya alam hanya akan menjadi potensi dan kalaupun dimanfaatkan cenderung diabaikan kelestariannya.
Dalam konteks ini, Schumacher menyarankan pembangunan agro-industri pedesaan lewat pemberdayaan (pendidikan) petani dan pemanfaatan sains dan teknologi tepat guna, yang terjangkau dan ramah lingkungan.
Nawa Cita Pembangunan Indonesia dari Pinggiran
Sudah benar Pak Jokowi memasukkan prinsip “membangun Indonesia dari pinggiran” sebagai salah satu program Nawa Cita. Tapi, perlombaan membangun infrastruktur besar, memanjakan bisnis besar dan sektor “modern” tak hanya memperluas ketimpangan “pusat versus pinggiran” tapi bahkan makin merusak desa dan makin membenamkan mereka yang marginal. Baik desa maupun kota rusak bersama-sama.
Bahkan dalam bidang pertanian, Schumacher menolak praktek “produksi massal” (mass production) skala besar. Dia mendukung “produksi oleh massa (rakyat)”. Artinya memberdayakan petani kecil, bukan membangun pertanian skala besar seperti Merauke Food Estate yang padat modal, padat pupuk kimia, dan cenderung pada pertanian monokultur yang mengabaikan keragaman hayati.
Menjaga kelestarian alam dan keragaman hayati adalah tujuan spiritual keberlangsungan hidup manusia: segarnya hijau pepohonan, indahnya aneka warna bunga, dahsyatnya lanskap gunung dan laut. Pendapatan dari eco-tourism, jika ada, adalah hasil sampingan dari itu, bukan tujuan utama yang meminggirkan petani, nelayan, dan masyarakat adat.
Bagi saya sendiri, membaca kembali Kecil itu Indah seperti memandang oasis segar di tengah gempuran berita buruk bencana lingkungan dan konflik perebutan sumber daya yang makin panas.
Saya tahu Pak Jokowi sibuk. Sangat sibuk. Tapi, membaca Kecil itu Indah akan sangat bermanfaat, bahkan jika itu cuma rehat dan jeda yang memperkaya jiwa di tengah ketergesa-gesaan “kerja, kerja, dan kerja.”
Mulai tahun ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa kian serius mendorong pembangunan berkelanjutan dan mematok sasaran Sustainable Development Goals yang juga disepakati Indonesia. Kecil itu Indah adalah “kitab kuning” yang harus dibaca dalam konteks itu.
Kolom Terkait: