Panama Papers mulai makan korban. Perdana Menteri Islandia Sigmundur David Gunnlaugsson mengundurkan diri pada Selasa (5 April). Sigmundur dan istrinya pernah punya saham secara rahasia pada sebuah perusahaan cangkang (shell corporation) di British Virgin Island (BVI), yang mana perusahaan ini bertindak sebagai kreditor di beberapa bank di Islandia.
Hukum di Islandia memang mengharuskan anggota parlemen untuk membuka kepemilikan saham atau menjual kepemilikan saham pada perusahaan. Pada 2009 ketika masih menjabat sebagai anggota parlemen, Sigmundur memilih untuk menjual seluruh sahamnya kepada istrinya seharga 1 dolar. Namun demikian, hal ini tetap menjadi masalah. Sebab, ketika diangkat menjadi Perdana Menteri pada 2013, dirinya menentukan nasib bank-bank yang dalam kesulitan ekonomi di mana perusahaan istrinya bertindak sebagai kreditur.
Pelajaran dari Islandia adalah adanya potensi konflik kepentingan bagi pejabat publik.
Sigmundur mungkin sudah tidak punya saham lagi pada perusahaan cangkang di BVI itu. Tapi keluarganya, dalam hal ini istrinya, punya kepentingan untuk mendapatkan pembayaran kembali atas pinjaman bank-bank di sana. Dan sebagai Perdana Menteri, Sigmundur punya kuasa untuk mempengaruhi kebijakan tersebut.
Hal yang sama sedang terjadi di Inggris. Sejak 2013 Perdana Menteri David Cameron sangat getol untuk mendorong transparansi kepemilikan manfaat (beneficial ownership). Tahun lalu, Inggris melarang penggunaan saham atas unjuk (bearer share; perusahaan tidak mencatat nama pemilik, siapa saja yang memegang dokumen saham dianggap sebagai pemilik). Pada saat Panama Papers ini ramai dibicarakan, ayah David Cameron diketahui memiliki perusahaan cangkang yang didirkan di Bahama.
Pada saat tulisan ini dikeluarkan, Kantor Perdana Menteri Inggris menyatakan bahwa PM Inggris dan keluarganya tidak menerima keuntungan apa pun dari perusahaan cangkang di luar negeri.
Mengapa peranan perusahaan cangkang atau yayasan offshore–kebanyakan di British Overseas Territory–menjadi sorotan?
Tak ada salahnya membuat perusahaan dan/atau yayasan di luar negeri dan dijadikan sebagai cangkang saja (tanpa pegawai dan tanpa kegiatan operasional). Namun, yurisdiksi atau negara yang dipilih biasanya memberikan fasilitas-fasilitas sebagai berikut:
Pajak. Perusahaan cangkang biasanya didirikan di yurisdiksi di mana pajak korporasinya rendah (tax haven). Ahli pajak biasanya membedakan antara tax avoidance dan tax evasion. Yang disebut terakhir ini illegal, sedangkan yang pertama dianggap legal karena hanya mencari celah-celah hukum untuk meringankan beban pajak. Perusahaan cangkang bisa didirikan untuk kedua tujuan ini.
Bearer Shares. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, yurisdiksi yang mengenal bearer shares (saham atas unjuk) tidak memerlukan pencatatan identitas pemegang saham atau pemilik perusahaan. Bearer shares berlaku bagaikan kupon, siapa yang memegang sertifikat sahamnya (bearer), maka dianggap memiliki saham perusahaan. Dengan adanya bearer shares, seseorang bisa memiliki perusahaan secara rahasia.
Alternatif dari bearer share, misalnya, menggunakan struktur ganda di mana pemilik utama menjadi “protector” (tidak terdaftar) dari suatu yayasan (didirikan di Panama) dan kemudian yayasan ini bertindak sebagai pemilik perusahaan cangkang.
Corporate Directors. Saham boleh dipegang oleh manusia maupun badan hukum. Sedangkan direktur, lazimnya dipegang oleh manusia. Namun demikian, di beberapa yurisdiksi dibolehkan posisi direktur ini untuk dijabat oleh korporasi. Dengan adanya pembolehan corporate-directors, maka posisi kerahasiaan perusahaan cangkang menjadi sempurna karena benar- benar tidak ada manusia di dalamnya: baik pemegang saham maupun direkturnya adalah korporasi.
Foreign Judgement. Sisi lain yang tak kalah pentingnya dalam pemilihan yurisdiksi perusahaan cangkang adalah bahwa keputusan pengadilan negara lain tidak berlaku di situ. Aspek ini penting, karena apabila yurisdiksi tersebut mengakui keputusan pengadilan negara lain (misalnya memiliki traktat “mutual legal assistance”), seluruh rahasia perusahaan bisa dibongkar lewat keputusan pengadilan asing.
Kerahasiaan dan Privasi. Ini juga aspek penting. Yurisdiksi yang dipilih biasanya memiliki aturan kerahasiaan, di mana seseorang dapat dipidana karena membocorkan kepemilikan perusahaan yang terdaftar di yurisdiksi tersebut. Dengan aturan ini para pemegang saham bisa merasa tenang. Sebab, jika ada yang membocorkan informasi dirinya punya saham di perusahaan di yurisdiksi tersebut, orang yang membocorkan itu bisa dihukum.
Jadi, tak ada salahnya orang mendirikan perusahaan cangkang. Hanya saja apabila yurisdiksi yang dipilih menyediakan fasilitas-fasilitas di atas, apa motivasi sebenarnya? Ihwal pajak dan estate planning (pewarisan harta) adalah alasan yang sudah banyak dibahas, tapi alasan lain yang sangat penting adalah menyembunyikan kepemilikan perusahaan.
Apa gunanya menyembunyikan kepemilikan perusahaan?
Seperti diketahui, perusahaan bisa punya anak, cucu, dan cicit. Katakanlah seseorang memiliki perusahaan di salah satu tax haven yang memberikan berbagai fasilitas di atas, maka anak perusahaan cangkang itu bisa dibuat di Singapura, sedangkan cucu serta cicit perusahaannya di Indonesia.
Katakanlah peraturan sektoral di Indonesia, entah itu perbankan, pertambangan, perkebunan atau pertanahan, membatasi kepemilikan pada sektor-sektor tersebut. Untuk mengakalinya, bisa dibuat saja beberapa perusahaan cangkang dan kemudian setiap perusahaan cangkang ini membuat cucu dan cicitnya di Indonesia. Cucu dan cicit perusahaan inilah yang kemudian mendaftar dan memilki perizinan sektoral.
Di atas kertas, sektor-sektor tersebut dimiliki oleh berbagai macam perusahaan yang berbeda. Tapi di balik itu semua, perusahaan-perusahaan itu sahamnya dipegang oleh seseorang dan tidak ada yang tahu.
Lalu, karena orang tersebut sukses punya banyak perusahaan, maka ia punya modal untuk mencalonkan diri menjadi gubernur atau wali kota. Sebagai kepala daerah, dia punya kewenangan untuk mengeluarkan izin-izin, memiliki berbagai macam informasi atas peluang-peluang proyek besar dan berkuasa untuk menentukan prioritas pembangunan. Apabila dia adalah pemilik banyak perusahaan di belakang layar, tentu aturan dan kebijakan yang dibuat dapat cenderung menguntungkan perusahaan-perusahaan miliknya tersebut.
Jika kemudian sebagai kepala daerah dia korup, maka hasil korupsinya pun dapat diterbangkan keluar negeri untuk dikonversi menjadi saham pada perusahaan cangkang atau lewat struktur ganda dengan yayasan dan kemudian “diinvestasikan” kembali ke Indonesia. Katakanlah untuk membuat mal, universitas atau kegiatan amal, dengan cara yang sama seperti di atas. Kalaupun akhirnya dia dipenjara, asetnya tetap aman.
Dalam konteks ini kita melihat bahwa money buys power and in turn, power creates more money. Dengan cara ini orang bisa membuat keluarganya kaya raya dan menyimpan modal untuk keturunannya maju pilkada di tahun-tahun mendatang. Dengan kata lain, penyembunyian kepemilikan korporasi akan membantu pemusatan kekayaan dan kekuasaan dan melanggengkan dinasti-dinasti politik.
Maka dari itu, transparansi kepemilikan di ujung (ultimate owners) penting untuk menghindari hal di atas. Tidak cukup berhenti pada perusahaan cangkang saja, siapa sebenarnya manusia yang memiliki suatu perusahaan harus dibuka ke publik. Bagaimana caranya?
Caranya bisa dengan mewajibkan seluruh anak, cucu, dan cicit perusahaan yang akan berdiri di Indonesia untuk membuka dan memberikan data akta seluruh perusahaan induknya sampai kepada pemegang saham yang berwujud manusia.
Apakah ketika pemegang saham yang berwujud manusia dibuka, lantas masalah selesai?
Sayangnya tidak. Biasanya ada juga layanan “pinjam nama” alias nominee. Di Indonesia sendiri, walaupun dilarang dalam konteks Penanaman Modal Asing, praktik nominee masih banyak dijumpai. Misalnya ada orang asing mau punya saham di sektor tertentu yang seharusnya dikuasai orang Indonesia, maka dia akan berkontrak dengan yang akan menjadi pemegang saham (yang mana adalah orang Indonesia).
Contoh lain, misalnya, orang asing yang mau punya rumah di Indonesia. Dia memberi uang ke orang ber KTP Indonesia untuk membeli rumah untuk kemudian menjadi miliknya. Lalu rumah itu dikontrakkan lagi dari si pemilik ke orang asing tersebut untuk jangka waktu puluhan tahun.
Layanan offshore tadi juga mirip-mirip. Karena tidak mau namanya tertera sebagai pemegang saham, misalnya, investor bisa pinjam nama orang lain. Dengan orang lain ini investor membuat berbagai kontrak yang saling berhubungan, misanya perjanjian peminjaman, perjanjian gadai saham, perjanjian pengalihan dividen, kuasa untuk hadir di RUPS, pembayaran jasa nominee, dan berbagai kontrak lainnya.
Jadi, walaupun sahamnya atas nama orang lain, pemegang saham itu sebagai “wayang” saja, sementara hak-hak atas sahamnya itu, termasuk dividen-dividennya bahkan kehadirannya dalam rapat, tetap dikuasai sang investor.
Perjanjian nominee ini tidak didaftarkan ke register publik. Jadi, investor sebenarnya tetap bisa berada di balik layar. Kalaupun nanti ada bank yang meminta bukti ultimate ownership sebagai syarat pencairan dana, perusahaan tetap bisa memberikan nama manusia yang memegang sahamnya, walau sebenarnya di balik layar saham itu dikontrol orang lain.
Penyamaran kepemilikan dengan cara ini membawa kita pada pentingnya transparansi kepemilikan manfaat atau beneficial ownership. Konsep dasar kepemilikan manfaat adalah bahwa orang bisa “memiliki” sesuatu, bukan hanya lewat namanya yang tertera di atas kertas (sertifikat tanah atau saham misalnya), tapi bisa juga dilakukan lewat berbagai macam struktur dan kontrak.
Dalam hal kepemilikan manfaat ini, salah satu rencana aksi Inggris dalam Kemitraan Pemerintahan Terbuka (Open Government Partnership) 2013-2015 adalah untuk membuat suatu daftar terpusat yang dapat diakses publik atas kepemilikan manfaat dari suatu perusahaan. Pada Maret tahun lalu, Inggris sudah mewajibkan mewajibkan perusahaan untuk mendata nama orang yang memiliki pengaruh atau kontrol signifikan (person with significant influence or control atau “PSC”) atas perusahaan. Juni tahun ini, Inggris akan mulai membuka seluruh nama PSC tersebut lewat suatu register yang bisa diakses publik.
Istilah yang digunakan di Inggris cukup luas: pengaruh atau kontrol signifikan. Jadi, penekanannya bukan hanya pada kepemilikan saham, tapi juga berbagai macam pengaruh atau kontrol, baik itu atas hak suara (voting rights), kewenangan mengganti direksi maupun kontrol berbagai macam kontrak (trust, nominee joint interest, joint arrangement).
Lewat mekanisme ini, penyamaran kepemilikan menjadi sulit karena perusahaan di Inggris sekarang diharuskan membuat daftar PSC nya. Alangkah baiknya apabila Indonesia mulai menerapkan mekanisme ini.
Apakah cukup dengan membuka ultimate dan beneficial ownership? Kalau kita berbicara perusahaan pada umumnya, ya cukup. Tapi kalau kita berbicara jabatan publik, jelas tidak cukup. Pada kasus Perdana Menteri Eslandia Sigmundur di atas, sahamnya di perusahaan cangkang sebenarnya sudah dijual kepada istrinya sebelum dia menjabat sebagai anggota parlemen. Tetapi dia tetap dianggap memiliki konflik kepentingan, karena saat dia menjabat Perdana Menteri, perusahaan istrinya bertindak sebagai kreditur pada bank-bank di Eslandia yang kesulitan keuangan.
Karena itu, khusus bagi pejabat publik dan mereka yang mencalonkan sebagai pejabat publik seharusnya mendeklarasikan potensi konflik kepentingannya. Ini jauh lebih luas dibandingkan dengan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang hanya berfokus kepada deklarasi aset.
Isi dari deklarasi potensi konflik kepentingan adalah daftar serangkaian kepentingan di masa lalu, sekarang, dan akan datang. Ini bisa berupa kepemilikan perusahaan baik secara langsung (saham, obligasi) maupun tidak langsung (kontraktual), serangkaian jabatan yang pernah dipegang, kontrak-kontrak konsultasi dan kepentingan serupa pada keluarga dengan derajat tertentu. Daftar ini di yurisdiksi lain disebut dengan “Register of Disclosable Interest”. Daftar ini ditaruh di website resmi kementerian/lembaga dan bisa diakses oleh publik.
Dengan mekanisme ini, otomatis kepemilikan perusahaan istri atau keluarga terdekat diketahui publik. Tidak masalah apabila seorang pejabat, istri atau anaknya, memiliki perusahaan. Namun, ketika sang pejabat akan membuat kebijakan publik yang kebetulan menyangkut perusahaan istrinya itu, maka harus ada peraturan konflik kepentingan di mana pejabat tersebut dapat mundur dari proses pengambilan keputusan dan menyerahkan prosesnya kepada pihak lain yang netral.
Sebagai kesimpulan, tulisan ini mengusulkan tiga hal terkait dengan transparansi kepemilikan perusahaan di Indonesia. Pertama, harus ada mekanisme transparansi kepemilikan di ujung (ultimate ownership) alias identitas manusia yang memiliki saham pada anak perusahaan tersebut.
Kedua, harus ada mekanisme transparansi kepemilikan manfaat (beneficial ownership) yakni, transparansi yang tidak saja mencakup manusia yang memiliki saham, tetapi juga para pihak yang memiliki manfaat atas suatu perusahaan (nominee, trust, kuasa khusus dan sebagainya).
Ketiga, khusus untuk pejabat publik dan calon pejabat, harus ada deklarasi potensi konflik kepentingan yang diumumkan dalam website resmi pemerintah. Ketiga usulan di atas dapat dimasukkan kedalam Rencana Aksi Open Government Indonesia tahun 2016.